Pilkada dan Makelar Kebencian
Konsolidasi politik seperti itu adalah keniscayaan dalam demokrasi elektoral, sebab hanya dengan begitulah publik bisa
Mereka berusaha menginsistrumentalisasi khalayak agar mengahakmi seseorang melampaui prosedur hukum atuapun etika publik tertentu.
Senjata mereka -sekali lagi -adalah isu-isu sensitif lantas diracik dengan tesis-tesis demokrasi untuk kemudian memberikan kesimpulan sepihak bahwa tokoh yang mereka lawan itu layak dibenci, tidak boleh diberi kekuasaan.
Problemnya adalah isu yang mereka jadikan sebagai rujukan untuk menghakimi calon tertentu itu belum tentu benar. Kendatipun benar, cara barbarian ala Machiavelli seperti itu tidak dapat dibenarkan apalagi jika menjadi habitus dalam praksis perpolitikan kita.
Selain itu, tindakan mereka tentu saja membawa efek negatif bagi calon yang mereka serang dan juga bagi rakyat. Dikatakan demikian, karena calon itu dicitrakan sebagai seseorang yang tidak layak mendapat kekuasaan.
Dia "dipersekusi" dan dikeroyok secara masif lagi liar melalu media sosial. Dia dipersepsikan sedemikian negatif. Sementara itu, bagi calon bersangkutan, hal seperti ini juga jelas-jelas merugikan masyarakat sebagai pemilih.
Mengapa? Karena rakyat diperangkap dalam cara berpolitik "barbarian" yang mendiskreditkan seseorang tanpa acuan akal sehat.
Rakyat tidak diberi edukasi untuk memahami bahwa politik adalah matra suci, tetapi malah diajarkan untuk menjadikan politik itu setali tiga uang dengan kebencian.
Rakyat tidak diajarkan untuk menjadi pelaku aktif, otonom dan rasional dalam berpolitik, tetapi dikanalisasi agar memback-up hasrat politik destruktif.
Momentum elektoral yang diharapkan menjadi saat paling efektif untuk menciptakan proses elektoral demokratis yang sehat dan ugahari pun menjadi cita-cita yang sulit direalisasikan.
Rakyat yang sebenarnya menjadi aktor utama dalam berpolitik berubah menjadi hakim publik yang menilai, mendiskreditkan seseorang melampaui apa yang sebenarnya terjadi.
Momentum elektoral memang seringkali menjadi pengadilan politik bagi calon pemimpin yang tidak layak untuk diberi kekuasaan. Tetapi itu bukan berarti pengadilan publik kepadanya merujuk kepada hasrat-hasrat parsial dari sekelompok orang.
Selayaknyalah rakyat diberi ruang untuk mengelaborasi rekam jejak, kelebihan dan kekurangan, kapabilitas setiap calon untuk kemudian secara independen memutuskan untuk memberikan pilihan politik.
Bahwa dalam berpolitik, saling sikut itu lumrah. Namun demikian, "legalisasi" politik kebencian melalui ruang publik adalah sebuah penyangkalan terhadap esensi politik itu sendiri.
Sebab politik tidak pernah dan tidak boleh memproduksi kebencian, melainkan selalu berpilin erat dengan kebaikan, solidaritas, pluralisme dan cinta kasih. Kalau pun "saling mencela", maka basisnya adalah program dan bukannya serangan ad hominem. Program dan visi-misilah yang mesti dijual kepada publik.
Saya masih meyakini bahwa momentul elektoral merupakan saat yang paling efektif untuk memeberikan pencerdasan politik kepada rakyat. Jadi bukan hanya menjadi momentum untuk mendapatkan kekuasaan.