Waspadai Difteri di Nusa Tenggara Timur
Kasus tersebut terjadi di 95 kabupaten-kota di 20 provinsi. Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Setelah itu diperlukan pemberian imunisasi secara aktif untuk memberi perlindungan jangka panjang terhadap difteri melalui imunisasi DPT-HB-Hib diberikan pada bayi sebanyak 3 dosis pada bayi dimulai pada usia 2 bulan dengan interval minimal 4 minggu (usia dua bulan, tiga bulan dan empat bulan).
Selanjutnya perlu diberikan imunisasi lanjutan (booster) pada usia 18 bulan karena telah terjadi penurunan tingkat antibodi pada usia tersebut.
Imunisasi lanjutan (booster) juga perlu diberikan pada anak sekolah dasar, serta booster berikutnya setiap 10 tahun kemudian; termasuk pada saat dewasa. Karena itu orang dewasa juga disarankan mendapat vaksinasi Difteri setiap 10 tahun.
Kondisi di NTT
Sampai saat ini, belum dilaporkan adanya kasus difteri di NTT; namun kita semua harus bersiap dan berupaya keras agar kasus difteri ini tidak menyerang NTT.
Melihat data cakupan imunisasi di NTT, secara nasional tidak terlalu mengembirakan. Bayi dengan imunisasi lengkap di NTT tahun 2016 baru mencapai angka 68 persen. Dari total 97.654 bayi; masih ada 42,043 bayi yang tidak lengkap imunisasinya. Cakupan imunisasi DPT-HB-Hib III (dosis ketiga) baru mendekati angka 70 persen dari target 90 persen.
Kabupaten dengan angka imunisasi DPT-HB-Hib III tertinggi adalah Kota Kupang (108%); namun sebagian besar kabupaten angkanya di bawah rata-rata provinsi: Alor (27%); Nagekeo (42%); Rote Ndao (47%); Lembata (55%); Sabu (58%); SBD (58%) Ende (61%); Kab Kupang (61%); TTS (62%) Sumba Barat dan Timur (64%); Ngada dan Sumba Tengah (66%); Sikka (79%). Sementara Manggarai raya, Belu dan TTU antara 80-90%).
Keberhasilan program imunisasi bukan hanya faktor ketersediaan fasilitas, logistik dan ketenagaan. Di atas semua itu adalah keterlibatan dan partisipasi masyarakat untuk membawa anaknya untuk di imunisasi.
Jika di daerah lain; rendahnya cakupan imunisasi Karena adanya gerakan anti vaksin dan isu yang berhubungan dengan agama tertentu, di NTT, masalah akses dan partisipasi masyarakat masih menjadi kendala utama.
Dari beberapa hasil analis kondisi imunisasi di NTT (Riskesda, 2013) faktor yang berhubungan dengan rendahnya cakupan imunisasi di NTT; misalnya letak posyandu yang jangkauannya kurang dari 30 menit jalan kaki ke rumah penduduk sudah 93%; namun Masyarakat yang mengetahui letak posyandu hanya 42 persen. Jumlah bidan desa sudah mencakup 75.3% desa di NTT; namun bidan desa yang tinggal di desa hanya 61%.
Angka drop out yang menyebabkan anak tidak memiliki imunisasi yang lengkap juga tinggi. Misalnya saja di kabupaten Alor yang mencapai 63% atau 2630 dari 5725 anak DO imunisasi. Kabupaten lain yang DO tinggi yaitu Nagekeo dan Malaka (25%); Rote (20%); SBD (15%), Sumba Barat, TTS dan Sabu (10 -15%) serta kab Kupang (8.75%).
Ketersediaan listrik juga sangat menunjang keberhasilan program imunisasi. Fasilitas penyimpan vaksin sudah tersedia di hampir semua sarana pelayanan kesehatan; namun dari 384 sarana fasilitas yang ada fasilitas pengelolaan vaksin; masih sekitar 30% memiliki masalah dengan ketersediaan listrik.
Melihat beberapa data di atas; kita masih banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kinerja program imunisasi. Kita harus ingat bahwa kejadian difteri disebabkan oleh rendahnya cakupan imunisasi dan 66 persen kasus yang ditemukan adalah mereka yang belum pernah diimunisasi.
Semoga dengan adanya kasus difteri di Indonesia ini membangun kesadaran kolektif kita akan pentingnya imunisasi bagi masa depan anak-anak kita.
Kita harus ingat membawa anak untuk diimunisasi adalah bentuk tanggung jawab dan kasih sayang orangtua terhadap anaknya dan juga melindungi orang lain dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi termasuk difteri. Semoga.*