Waspadai Difteri di Nusa Tenggara Timur

Kasus tersebut terjadi di 95 kabupaten-kota di 20 provinsi. Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian

Editor: Dion DB Putra
ilustrasi

Oleh: Ermi Ndoen
Anggota Forum Academia NTT

POS KUPANG.COM - Bakteri dengan nama Corynebacterium diphteriae ini salah satu bakteri pembunuh yang paling ditakuti sejak zaman dahulu. Bakteri ini adalah penyebab penyakit difteri yang menjadi perhatian berbagai kalangan kesehatan di Indonesia.

Kementerian Kesesehatan RI mencatat sejak Januari hingga November 2017, tercatat 593 kasus difteri terjadi di Indonesia. Angka kematiannya mencapai 32 kasus.

Kasus tersebut terjadi di 95 kabupaten-kota di 20 provinsi. Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Dr. Muhammad Subuh, 66 persen kasus difteri terjadi pada kelompok masyarakat tidak ada imunisasi sama sekali.

Penyakit difteri ini mudah menyebar melalui udara dengan cara droplet (percikan) dan kontak langsung dengan penderita atau karrier. Difteri juga dapat ditularkan secara tidak langsung melalui barang-barang yang terkontaminasi misalnya mainan atau handuk, sentuhan langsung pada bisul akibat difteri di kulit penderita dan kontak langsung dengan hewan yang sudah terinfeksi.

Tanda klinis difteri antara lain demam + 38º C, pseudomembrane putih keabu-abuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck) dan sesak nafas disertai stridor.

Bakteri difteri di tenggorakan akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel sehat yang akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel yang mati inilah yang akan membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada tenggorokan. Di samping itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi menyebar dalam aliran darah dan merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf yang dapat menyebabkan kematian.

Namun terkadang, difteri bisa jadi tidak menunjukkan gejala apapun sehingga penderitanya tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi. Apabila tidak menjalani pengobatan dengan tepat, mereka berpotensi menularkan penyakit ini kepada orang di sekitarnya, terutama mereka yang belum mendapatkan imunisasi.

Data Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization -WHO, 2017) menunjukan difteri merupakan salah satu penyakit menular yang ditakuti secara global karena dapat menyebabkan epidemi (penyebaran yang luas) dengan angka kematian yang tinggi, terutama di kalangan anak-anak.

Angka kematian akibat difteri rata-rata 5 -10 % pada anak usia kurang 5 tahun. Walapun jumlah penderita lebih banyak pada anak-anak, pada dewasa (di atas 40 tahun) angka kematian dapat meningkat menjadi 20%.

Difteri sering menjadi masalah kesehatan yang signifikan terutama di negara atau daerah dengan cakupan vaksinasi rutin yang buruk atau pada kelompok-kelompok tertentu yang tidak diimunisasi.

Status imunisasi yang tidak lengkap inilah yang sering menjadi faktor risiko terbesar yang mendasari terjadinya infeksi difteri; akibat menurunnya imunitas masyarakat yang disebabkan karena imunisasi pada waktu bayi tidak lengkap, tidak mendapat imunisasi dan atau penurunan potensi vaksin.

Difteri termasuk salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan imunisasi terhadap difteri termasuk ke dalam program imunisasi wajib pemerintah Indonesia melalui vaksin DPT-HB-Hib.

Vaskin ini sering disebut vaksin pentavalen karena digunakan untuk pencegahan terhadap lima penyakit sekaligus yaitu difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), hepatitis B dan infeksi Haemophilus Influenzae tipe b dengan cara simultan.

Pada bayi baru lahir, si anak mempunyai kekebalan terhadap penyakit difteri yang diturunkan dari ibunya selama kurang lebih 2 bulan.

Setelah itu diperlukan pemberian imunisasi secara aktif untuk memberi perlindungan jangka panjang terhadap difteri melalui imunisasi DPT-HB-Hib diberikan pada bayi sebanyak 3 dosis pada bayi dimulai pada usia 2 bulan dengan interval minimal 4 minggu (usia dua bulan, tiga bulan dan empat bulan).

Selanjutnya perlu diberikan imunisasi lanjutan (booster) pada usia 18 bulan karena telah terjadi penurunan tingkat antibodi pada usia tersebut.

Imunisasi lanjutan (booster) juga perlu diberikan pada anak sekolah dasar, serta booster berikutnya setiap 10 tahun kemudian; termasuk pada saat dewasa. Karena itu orang dewasa juga disarankan mendapat vaksinasi Difteri setiap 10 tahun.

Kondisi di NTT

Sampai saat ini, belum dilaporkan adanya kasus difteri di NTT; namun kita semua harus bersiap dan berupaya keras agar kasus difteri ini tidak menyerang NTT.

Melihat data cakupan imunisasi di NTT, secara nasional tidak terlalu mengembirakan. Bayi dengan imunisasi lengkap di NTT tahun 2016 baru mencapai angka 68 persen. Dari total 97.654 bayi; masih ada 42,043 bayi yang tidak lengkap imunisasinya. Cakupan imunisasi DPT-HB-Hib III (dosis ketiga) baru mendekati angka 70 persen dari target 90 persen.

Kabupaten dengan angka imunisasi DPT-HB-Hib III tertinggi adalah Kota Kupang (108%); namun sebagian besar kabupaten angkanya di bawah rata-rata provinsi: Alor (27%); Nagekeo (42%); Rote Ndao (47%); Lembata (55%); Sabu (58%); SBD (58%) Ende (61%); Kab Kupang (61%); TTS (62%) Sumba Barat dan Timur (64%); Ngada dan Sumba Tengah (66%); Sikka (79%). Sementara Manggarai raya, Belu dan TTU antara 80-90%).

Keberhasilan program imunisasi bukan hanya faktor ketersediaan fasilitas, logistik dan ketenagaan. Di atas semua itu adalah keterlibatan dan partisipasi masyarakat untuk membawa anaknya untuk di imunisasi.

Jika di daerah lain; rendahnya cakupan imunisasi Karena adanya gerakan anti vaksin dan isu yang berhubungan dengan agama tertentu, di NTT, masalah akses dan partisipasi masyarakat masih menjadi kendala utama.

Dari beberapa hasil analis kondisi imunisasi di NTT (Riskesda, 2013) faktor yang berhubungan dengan rendahnya cakupan imunisasi di NTT; misalnya letak posyandu yang jangkauannya kurang dari 30 menit jalan kaki ke rumah penduduk sudah 93%; namun Masyarakat yang mengetahui letak posyandu hanya 42 persen. Jumlah bidan desa sudah mencakup 75.3% desa di NTT; namun bidan desa yang tinggal di desa hanya 61%.

Angka drop out yang menyebabkan anak tidak memiliki imunisasi yang lengkap juga tinggi. Misalnya saja di kabupaten Alor yang mencapai 63% atau 2630 dari 5725 anak DO imunisasi. Kabupaten lain yang DO tinggi yaitu Nagekeo dan Malaka (25%); Rote (20%); SBD (15%), Sumba Barat, TTS dan Sabu (10 -15%) serta kab Kupang (8.75%).

Ketersediaan listrik juga sangat menunjang keberhasilan program imunisasi. Fasilitas penyimpan vaksin sudah tersedia di hampir semua sarana pelayanan kesehatan; namun dari 384 sarana fasilitas yang ada fasilitas pengelolaan vaksin; masih sekitar 30% memiliki masalah dengan ketersediaan listrik.

Melihat beberapa data di atas; kita masih banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kinerja program imunisasi. Kita harus ingat bahwa kejadian difteri disebabkan oleh rendahnya cakupan imunisasi dan 66 persen kasus yang ditemukan adalah mereka yang belum pernah diimunisasi.

Semoga dengan adanya kasus difteri di Indonesia ini membangun kesadaran kolektif kita akan pentingnya imunisasi bagi masa depan anak-anak kita.

Kita harus ingat membawa anak untuk diimunisasi adalah bentuk tanggung jawab dan kasih sayang orangtua terhadap anaknya dan juga melindungi orang lain dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi termasuk difteri. Semoga.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved