Tak Ada Warga Negara Kelas Dua di Indonesia, Apa Benar?
Penegasan ini sebagai jaminan dari kepala negara bahwa setiap warga negara RI termasuk warga eks Timur Timor dan para
Penulis: PosKupang | Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG.COM -- Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan menyambut HUT ke-72 RI di gedung DPR Jakarta, Rabu (16/8/2017), menyinggung istilah masyarakat kelas dua dan kelas tiga. Menurutnya, hal itu tidak akan pernah terjadi jika pemerintah membangun ekonomi yang merata dan berkeadilan.
Penegasan ini sebagai jaminan dari kepala negara bahwa setiap warga negara RI termasuk warga eks Timur Timor dan para mantan pejuang integrasi. Namun, aksi demo yang terjadi Senin (25/9/2017), menorehkan berbagai pertanyaan.
Ratusan mantan pejuang integrasi Timtim merasa masih dianaktirikan selama 18 tahun menjawa WNI. Mereka menggelar aksi di dua lokasi sekaligus. Di kantor Gubernur NTT dan di kota perbatasan Atambua, Kabupaten Belu.
Seperti disampaikan Maria Margarita. Menurutnya, selama 18 tahun ini mereka tidak mendapatkan hak-hak seperti yang dirasakan warga Indonesia lainnya. Maria mengaku anaknya tak mendapatkan KIS dan KIP. Keluhan serupa disampaikan John Mendes, mantan komandan peleton di Manufahik. Ia merasa tak mendapatkan perhatian dari pemerintah RI meskipun berjuang agar Timtim tetap bagian NKRI.
Seorang teman pun bercerita pengalamannya di masa kelam itu, 18 tahun lalu pascajajak pendapat berlangsung. Kawan yang kala itu masih remaja harus ikut orangtuanya mengungsi ke Kupang, wilayah Indonesia. Lalu mereka diangkut dengan kapal laut. Ia bercerita, meski sudah diputuskan Timor Timur berubah menjadi negara Timor Leste, rakyat yang setia bergabung dengan Indonesia tetap menjadi warga NKRI.
Namun ada saja kendala hidup yang dia hadapi. Satu di antaranya, terkait sekolah. Ia tak bisa melanjutkan sekolah karena sekolah-sekolah menolak. Akhirnya, dia memutuskan merantau ke Jawa. Dia melanjutkan sekolah di sana hingga lulus. Tapi ia memahami penolakan sekolah-sekolah tersebut. Karena kondisi saat itu memang sangat tak menentu dan "kacau".
Di balik aksi para mantan pejuang integrasi dua hari lalu, sudah seyogianya pemerintah lebih serius mengurus masyarakatnya. Utamanya warga pinggiran. Warga yang ada di pelosok-pelosok dan perbatasan. Warga yang jauh dari hiruk pikuk Ibu Kota Negara, Jakarta.
Karena sejauh ini, meski sudah 72 tahun usia negeri ini, tetapi persoalan-persoalan dasar masih menjadi masalah serius di kawasan ini. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lainnya, termasuk air bersih belum juga terpecahkan.
Masih banyak sekolah yang bangunannya belum bertembok. Pun begitu dengan fasilitas sekolahnya. Sementara melalui televisi, setiap hari mereka disajikan dengan kemegahan-kemegahan, yang secara realitas jauh dari kondisi yang dihadapi warga ini.
Semoga pemerintah lebih serius mengelola pembangunan yang adil sehingga tak ada lagi protes dari WNI yang merasa didiskriminasi dan dianaktirikan. Tak ada lagi yang merasa sebagai warga negara kelas dua dan warga negara kelas tiga. *