Revolusi Media Pembelajaran di NTT Tertinggal Jauh, Inilah Penyebabnya
Kalau masih mengandalkan kemampuan verbal sang guru untuk menjelaskan, maka pembelajaran mencangkok
Oleh: Theodorus Mario de Robert
Alumnus Pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya
POS KUPANG.COM -- Dunia pendidikan dewasa ini dirasuki berbagai inovasi akibat pesatnya perkembangan Iptek. Kondisi sekarang tentu berbeda jauh jika dibandingkan dengan kondisi 20 tahun lalu.
Contoh sederhana, pembelajaran sains untuk anak SD dengan materi mencangkok, kini cukup dipelajari dengan membukakan video tutorial di youtube.
Kalau masih mengandalkan kemampuan verbal sang guru untuk menjelaskan, maka pembelajaran mencangkok hanya menjadi hafalan siswa semata untuk kepentingan ulangan ataupun ujian. Setelah itu materi tersebut lenyap dari memori anak didik.
Secara teori, orang memang akan lebih mudah menangkap apa yang dilihat daripada apa yang didengar.
Teori Edgar Dale, yang sering dikenal dengan sebutan dale cone experience (Rusman, 2012: 165) mengatakan perbedaan pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol.
Kurang lebih 80% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang, 15% diperoleh melalui indera dengar dan 5% lagi dari indera lainnya.
Hal ini seharusnya menjadi pegangan penting bagi guru baik dalam mengembangkan maupun menggunakan media yang telah ada.
Artinya ketika orang menonton demonstrasi cara mencangkok dari video, pengetahuannya jauh lebih melekat dalam memori ketimbang hanya mendengar penjelasan dari guru.
Apa yang ingin saya katakan dengan ilustrasi di atas adalah bahwa kalau kita berbicara tentang upaya meningkatkan mutu pendidikan, maka harus ada kesadaran untuk melakukan revolusi terhadap media pembelajaran.
Cara mendidik harus berkembang, pendekatan kepada anak didik dituntut agar lebih adaptif, media yang digunakan pun mesti inovatif.
Kita tidak boleh fanatik dengan cara lama, tetapi harus selalu terbuka terhadap metode yang lebih efektif. Salah satu syarat mutlak untuk itu adalah melalui pemanfaatan dan pengembangan media pembelajaran secara maksimal.
Media pembelajaran dapat dibagi menjadi dua yaitu media by utilization (media jadi) dan media by design (media rancangan). Media jadi adalah media yang sudah siap pakai.
Sedangkan media rancangan adalah media yang perlu dirancang dan dipersiapkan secara khusus untuk maksud dan tujuan tertentu.
Keprihatinan banyak orang di Indonesia adalah bahwa banyak pendidik masih secara instan menggunakan media jadi dibandingkan media rancangan.
Akan tetapi, hemat saya, di NTT justru lebih memprihatinkan lagi. Memanfaatkan `media jadi' saja banyak orang masih gagap, apalagi membuat media pembelajaran secara mandiri.
Oleh karena itu, dalam konteks NTT, yang mesti dilakukan adalah revolusi media pembelajaran. Revoluasi itu pertama-tama dilakukan melalui `revolusi pemanfaatan'. Setelah itu baru diikuti dengan `revolusi pengembangan'.
Revoluasi pemanfaatan bukan hanya dalam arti memastikan pendidik terbiasa menggunakan media pembelajaran yang sudah ada, tetapi bahwa `media jadi' yang digunakan para guru didasarkan pada analisis terhadap kebutuhan siswa.
Dengan itu, maka media yang dipakai benar-benar mampu menjawab kebutuhan siswa.
Ketika orang sudah terbiasa memanfaatkan media yang ada, maka akan gampang melakukan intervensi agar melakukan pengembangan media. Mengembangkan media sendiri itu manfaatnya ganda.
Pertama, media yang dirancang diharapkan benar-benar sesuai apa yang terdapat pada rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP). Kedua, kreativitas guru itu sendiri bisa diasah.
Pada suatu kesempatan, dalam kunjungan saya di sebuah sekolah di pedalaman Manggarai Timur, saya dibuat tercengang oleh jawaban seorang guru yang cukup senior di sekolah tersebut.
Katanya mereka tidak bisa berbuat apa-apa dalam mengembangkan media pembelajaran karena belum ada listrik. Ia membayangkan media pembelajaran itu seperti projector, video compact disc (VCD) dan benda-benda lain yang termasuk dalam kategori barang elektronik. Saya terdiam.
Sekolah-sekolah kita rupaya masih menganut aliran behaviorisme klasik ataupun kognitivisme konvensional dengan metode ceramah sebagai andalan utamanya.
Padahal seperti contoh tadi, penjelasan mengenai pokok bahasan mencangkok dapat saja menggunakan media media grafis seperti poster (jika belum didukung fasilitas yang memadai). Bahkan lebih efektif lagi, pokok bahasan itu diberikan dengan praktik langsung di lapangan.
Berbeda sekali ketika sebagai mahasiswa saya mengunjungi beberapa sekolah di Jawa Timur, pengembangan media pembelajarannya sangat pesat.
Hampir tidak bisa dijangkau lagi oleh sekolah-sekolah di NTT karena sudah terlalu banyak variasi media pembelajaran yang dikembangkan, baik alat-alat peraga sederhana maupun media teknologi yang lebih kompleks semisal macromedia flash, prezi ataupun camtasia.
Macromedia Flash adalah program mutimedia dan animasi untuk berkreasi membuat aplikasi-aplikasi unik dan animasi-animasi interaktif.
Program ini sudah banyak digunakan dalam presentasi bisnis maupun kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Prezi adalah perangkat lunak untuk presentasi berbasis internet. Prezi juga dapat digunakan sebagai alat untuk melukis secara virtual.
Sementara camtasia adalah program untuk membuat video tutorial atau video presentasi. Dengan memakai program-program tersebut, maka penyampaian materi pembelajaran menjadi lebih efektif.
Selain itu, materi pembelajaran pun dengan gampang didistribusikan kepada anak didik melalui grup WhatsApp kelas.
Menyaksikan itu, saya benar-benar merasa kita sudah jauh ketinggalan.
Mereka berlari dan terus berlari, sementara kita masih berkubang dengan karut marut masalah lama tentang sarana dan prasarana pendidikan.
Kalau pendidik di NTT sudah merasa hebat kalau bisa menggunakan powerpoint (sebab masih ada yang belum bisa powerpoint), maka para pendidik di Jawa justru sudah meninggalkannya dan beralih pada media dan cara lain yang jauh lebih efektif.
Upaya intervensi agar memulai revolusi media pembelajaran dapat dilakukan dengan pelatihan-pelatihan kepada para guru di semua jenjang pendidikan.
Akan tetapi, untuk jangka panjang, hemat saya, intervensi di tingkat kampus adalah sebuah kebutuhan strategis. Belum banyak kampus (LPTK) di NTT yang mencurahkan perhatian serius pada produksi dan penggunaan media pembelajaran inovatif.
Alhasil output jurusan pendidikan dan keguruan di kampus-kampus kita pun kurang paham dan kurang terampil mengembangkan media pembelajaran.
Ketika sudah menjadi guru, mereka tidak bisa berbuat banyak, bahkan sulit membedakan media pembelajaran, alat dan bahan pembelajaran sebagaimana terlampir pada RPP, apalagi kalau RPP-nya diperoleh secara instan dari internet.
Ibarat sebuah jembatan yang menghubungkan suatu tempat dengan tempat lain, begitulah peran media pembelajaran dalam menghubungan materi pembelajaran dan tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran dapat tercapai jika penggunaan media pembelajaran benar-benar diperhatikan. Menurut Sudjana dan Rivai (2015) penggunaan media inovatif dalam pembelajaran membuat pelajaran menjadi lebih menarik, lebih gampang dimengerti dan situasi KBM pun lebih variatif.
Itulah yang menjadi alasan mengapa pengetahuan dan keterampilan tentang media pembelajaran bagi para pendidik maupun calon pendidik di NTT penting untuk diajarkan dan dibiasakan. Pendidikan NTT harus lebih cepat berbenah.
Revolusi besar harus dilakukan jika tidak ingin semakin jauh tertinggal. Kilauan inovasi pembelajaran yang biasa kita jumpai di Jawa harus bisa ditularkan ke dalam dunia pendidikan kita.
Kalau pemerintah, kampus-kampus dan sekolah-sekolah kita tidak segera memulai, lantas kapan NTT bisa mengejar ketertinggalan? *