Belalang, Pangan dan Facebook, Inilah Catatan Kritis yang Perlu Anda Tahu
Nama yang salah bisa berakhir dengan tindakan pengendalian yang kurang tepat sasaran. Seperti menghadapi
Oleh: I Wayan Mudita
Dosen Minat Perlindungan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang
POS KUPANG.COM - Belalang yang saya maksudkan di sini adalah belalang kembara, tepatnya belalang kembara timur jauh (oriental migratory locust). Inilah sebenarnya nama umum lengkap belalang yang sekarang sedang merajalela di Kabupaten Sumba Timur. Nama ilmiah lengkapnya adalah Locusta migratoria manilensis.
"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet," tanya Juliet kepada Romeo dalam naskah drama buah karya William Shakespeare. Tetapi dalam perkara menghadapi organisme pengganggu yang harus dikendalikan, nama merupakan urusan penting.
Nama yang salah bisa berakhir dengan tindakan pengendalian yang kurang tepat sasaran. Seperti menghadapi pasukan musuh kira-kira, kita harus mengenal kekuatannya. Dan mengenal nama organisme pengganggu berkaitan dengan mengenal kekuatan organisme yang harus kita hadapi itu.
Belalang kembara yang serangannya kini sudah berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) itu tentu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itu adalah jumlahnya yang sangat banyak dan kemampuan terbangnya yang memunginkannya bergerak cepat. Belalang kembara yang belum dewasa memang belum bisa terbang, tetapi kekuatannya terletak pada gerombolannya yang sangat besar.
Begitu telah berkembang menjadi dewasa, belalang kembara yang semula bergerak hanya sebagai pasukan darat berubah menjadi pasukan udara gerak cepat, merusakkan tanaman dalam waktu singkat di mana pun ia singgah pada jalur lintasan pergerakannya. Bila daun dan bagian hijau tanaman di tempat singgahnya sudah tidak ada yang tersisa, dengan kemampuan navigasinya yang canggih, iapun kembali berpindah ke tempat baru yang tanamannya masih ada. Begitu seterusnya, seakan-akan ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain, padahal sesungguhnya bermigrasi mencari makanan.
Lalu dari mana sebenarnya belalang kembara datang? Dan, apa yang menyebabkan jumlahnya tiba-tiba saja bisa menjadi begitu banyak? Belalang kembara sebenarnya tidak datang dari mana. Ia ada di sekitar kita. Di mana ada padang savana dengan rumput menghijau, di situlah ia berkembang. Belalang kembara adalah bagian tidak terpisahkan dari ekosistem padang rumput savana. Hanya saja ia tidak muncul setiap tahun.
Belalang kembara dewasa betina bertelur di dalam tanah yang gembur di lahan setelah dibakar atau di hamparan sedimen tepi sungai yang airnya susut pada musim kemarau. Pada tahun-tahun dengan kemarau panjang, telur-telur itu tidak menetas, melainkan terus terakumulasi semakin banyak. Begitu terjadi perubahan ke tahun basah, kelembaban tanah yang cukup untuk menumbuhkan rumput akan memicu telur-telur yang menumpuk sekian lama untuk menetas serentak.
Di satu tempat jumlahnya mungkin tidak sangat banyak. Tetapi belalang belum dewasa yang mula-mula hidup menyendiri (soliter) kemudian saling bertemu satu sama lain (transien) dan pertemuan itu mendorong mereka untuk menggerombol (gregarius) dalam jumlah yang sangat banyak.
***
"VINI, vidi, vici", tulis Julius Caesar, jenderal dan konsul Romawi dalam pesannya kepada Senat untuk menggambarkan kemenangannya atas Pharnaces II, Raja Pontus, dalam pertempuran Zela pada tahun 47 SM (Sebelum Masehi). Belalang datang, belalang merusak, panenpun terancam gagal. Dan kalau panen benar-benar gagal, ancamannya adalah kita akan kehabisan bahan pangan. Bahasa kerennya, kita menghadapi ancaman mengalami kelaparan. Padahal yang datang adalah daging.
Ya, daging, daging belalang kembara memang bisa dimakan, sebagaimana daging belalang lainnya. Di banyak negara kini tumbuh gerakan mengonsumsi daging serangga sebagai sumber protein yang sehat.
Tapi kalau jumlahnya sudah begitu banyak, siapa yang sanggup lagi memakannya? Apalagi tanpa nasi atau pangan pengganti nasi lainnya, entah jagung, kacang-kacangan, atau umbi-umbian, yang semuanya sudah terlebih dahulu ludes disantap oleh belalang kembara yang tidak diundang ini. Jangankan kita, luwak, burung, kadal, dan satwa liar pemakan serangga pun sudah tidak lagi mampu menyantapnya. Mereka semua sudah menjadi langka akibat ulah kita juga yang suka menangkap dan menyantap daging mereka sebagai hidangan istimewa.
Maka kita tidak punya pilihan lain. Setidak-tidaknya itulah keputusan pengambil kebijakan yang ingin serba cepat. Dan, tidak punya pilihan lain itu berarti pilihannya adalah insektisida kimiawi yang mudah dibeli dengan menghubungi sales yang rutin datang menawarkan produk perusahaan yang dipromosikannya. Atau mungkin yang dibeli tahun-tahun sebelumnya masih tersimpan di gudang, sekaranglah waktunya digunakan supaya ada alasan untuk kembali membeli.
Bukankah kalau sudah terjadi ledakan populasi organisme pengganggu seperti ini insektisida boleh digunakan sebagai pilihan terakhir, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan tanaman? Katanya insektisida kimiawi bisa menimbulkan resistensi dan resurgensi hama sasaran? Katanya insektisida kimiawi bisa menyebabkan terjadinya ledakan hama bukan sasaran? Katanya insektisida kimiawi bisa menyebabkan jengkrik-jengkrik dan kunang-kunang juga mati sehingga malam akan menjadi gelap dan sunyi?
Setidaknya begitulah kira-kira yang ditulis oleh Rachel Carson, dalam bukunya, Silent Spring, yang terbit tahun 1962 dan menjadi sangat monumental itu.
Bukan tidak ada pilihan lain, tapi bukan itu masalahnya. Pilihan lain tentu saja ada, misalnya menggunakan bioinsektisida berbahan aktif jamur Metarhizium acridum (nama sebelumnya Metarhizium anisopliae var. acridum) atau Beauveria bassiana atau nematoda Paranosema (Nosema) locustae. Insektisida berbahan aktif jamur atau nematoda itu juga sudah dijual siap pakai, sama seperti insektisida kimiawi.
Hanya saja, pemasarannya harus bersaing dengan pemasaran insektisida kimiawi yang sudah lebih dahulu menguasai pasar. Akibatnya, insektisida kategori ini masih kurang dikenal. Padahal dari segi kemanjurannya membunuh belalang kembara, bioinsektisida ini sudah sangat teruji. Bukan hanya itu, bioinsektisida juga sangat selektif dalam membunuh karena mematikan hanya terhadap belalang kembata dan jenis-jenis belalang merusak lainnya. Dengan begitu maka burung, kadal, dan satwa pemakan belalang kembara pun aman, tidak ikut mati sebagaimana bila yang kita gunakan adalah insektisida kimiawi.
***
BELALANG kembara jumlahnya banyak, tapi apakah kita kalah banyak? Berapa jumlah belalang kembara yang sekarang menyerbu Sumba Timur? Sepuluh juta, lima puluh juta, seratus juta? Kita lupa, jumlah kita orang Indonesia saat ini sudah lebih dari 250 juta. Itulah sebabnya kita menjadi pengguna media sosial Facebook peringkat keempat terbanyak di dunia.
Menurut Statista, The Statistics Portal, jumlah pengguna Facebook di Indonesia pada tahun ini mencapai angka yang fantastis, 111 juta orang. Media sosial lainnya, Twitter, meskipun jumlah pengguanya tidak sebanyak jumlah pengguna Facebook, mencapai peringkat ketiga dunia dengan jumlah pengguna sebanyak 24,34 juta pada tahun lalu. Belum lagi kalau ditanya jumlah pengguna telepon seluler (ponsel).
Meski data mutakhir tidak tersedia, menurut data tahun 2013 Indonesia menduduki peringkat keenam dunia dalam jumlah penggunaan ponsel. Tapi tunggu dulu, apa hubungan Facebook, Twitter, dan ponsel dengan belalang kembara?
Menurut konsep ketahanan hayati (biosecurity), konsep yang kini dianut negara-negara maju dalam menghadapi bencana yang ditimbulkan oleh mahluk hidup perusak semacam belalang kembara, kunci dalam menghadapi ancaman hayati adalah deteksi dini dan tanggap cepat. Temukan belalang kembara sedini mungkin dan lakukan pengendalian secepatnya, begitu kira-kira landasan pikirnya. Lalu siapa yang bisa menemukan belalang kembara sedini mungkin di tengah hamparan savana Pulau Sumba yang mahaluas? Tentu petugas dinas yang bidang tugasnya mencakup pengendalian organisme pengganggu tidak akan mampu melakukannya.
Pakar universitas juga tidak akan mampu melakukannya, kecuali mungkin pakar di universitas negara-negara maju dengan teknologi super canggihnya. Tapi ada yang bisa melakukannya, siapa lagi kalau bukan para petani yang sehari-hari sangat akrab dengan hamparan padang savana. Mungkin belum ada petani yang mempunyai akun Facebook, tetapi petani yang mempunyai ponsel biasa sudah bisa mengirimkan pesan singkat, asalkan ada yang menerima pesannya, dan menghargai jerih payahnya.
Tugas selebihnya tentu saja di luar jangkauan petani pada umumnya. Ada pemerintah
kabupaten yang begitu bangga sudah mempunyai website, tentu berarti aparatnya sudah bisa mengakses Internet. Berarti pula pada dinas yang mempunyai tugas yang berkaitan dengan organisme pengganggu tanaman tersedia akses Internet.
Dan, karena itu bisa menggunakan layanan gratis FrontlineSMS untuk menerima pesan singkat dari dan mengirimkan pesan kembali kepada petani. Dan karena itu juga bisa menggunakan layanan Crowdmap gratis yang disediakan oleh Usahidi untuk memetakan kawasan sehingga dapat ditentukan dari mana saja pesan singkat mengenai keberadaan belalang kembara masuk paling banyak. Atas dasar itu pengambil keputusan dapat mengirimkan petugas untuk segera melakukan pengendalian.
Lalu Facebook dan Twitter untuk apa? Bukankah sekolah ada di banyak tempat dan murid zaman sekarang banyak yang menggunakan ponsel pintar yang dapat digunakan untuk mengambil foto yang kemudian dapat disebarkan melalui Facebook? Dan para petinggi di kabupaten tentunya mempunyai akun Twitter untuk membagikannya di kalangan para petinggi, di tingkat provinsi bahkan di tingkat pusat?
Tentu saja kuncinya bukanlah Facebook. Juga bukan Twitter dan bukan pesan singkat. Semua itu hanyalah sarana yang penggunaannya bergantung pada kita semua. Kita yang menggunakan itu semua untuk tujuan apa. Apakah sekedar untuk unjuk diri dengan membagikan foto selfie atau untuk tujuan lain yang bermanfaat bagi orang banyak.
Kuncinya adalah kita, khususnya kita yang diberikan wewenang dan tanggung jawab di bidang perlindungan tanaman untuk melakukan koordinasi lintas sektoral dan pendekatan masyarakat untuk mengajak semua pihak berkolaborasi. Tanpa kolaborasi dan partisipasi semua pihak, mustahil aparat dinas terkait dapat melakukan sendiri tugas yang mahaberat ini.
Kalau belalang kembara menjadi merusak karena jumlahnya yang banyak, mengapa kita tidak menggunakan orang banyak untuk bersama-sama menghadapinya? Itulah pilihan yang ada pada kita sekarang, dan kita harus memulai dengan apa yang ada pada kita, bukan terus menunggu bantuan orang lain. *