Pancasila sebagai Dasar atau Pilar Negara?

Penyanggaan melalui pilar-pilar itu memungkinkan negara dibangun. Dengan demikian bentuk

Editor: Dion DB Putra
zoom-inlihat foto Pancasila sebagai Dasar atau Pilar Negara?
(ANTARA FOTO/Andreas Atmoko)
Dokumentasi warga berdoa saat acara Peringatan Hari Lahir Pancasila 2017, di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Kamis (1/6/2017).

Oleh: Chris Boro Tokan
Warga Kelurahan Fatululi, Kota Kupang

POS KUPANG.COM - Pancasila sesunguhnya dasar (fundamen) bangsa Indonesia mendirikan negaranya. Di atas fundamen berbangsa didirikan pilar-pilar yang menyangga negara. Penyanggaan melalui pilar-pilar itu memungkinkan negara dibangun. Dengan demikian bentuk negara amat tergantung pilar-pilar yang didirikan (dipatok) di atas fundamen bangsa.

Jadi Pancasila itu nilai dasar yang kandungannya lima sila menjadikan sekomunitas manusia hidup berbangsa. Hidup berbangsa yang beridealismekan Pancasila, dalam motivasi religius dan berdedikasi kebangsaan.

Dengan dasar kandungan berbangsa itu, tumbuh, berdiri pilar-pilar negara dalam proses pembangunan negara sesuai kerangka (bentuk) pilar-pilar yang ada (bentuk negara). Keempat pilar: Kemuliaan (Utara), Kemanusian (Selatan), Kedamaian (Timur), Kesejahteraan (Barat). Pilar kelima menjadi poros yakni kebhinekaan dalam keadilan. UUD 1945 sebagai anyaman pilar yang menentukan bentuk negara dalam penegasan identitas kesatuan dan pernyataan eksistensi keanekaragaman.

Pancasila serta anyaman pilar-pilar membentuk kerangka dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945) disebut grund norm . Melalui grund norm ("kaidah dasar"), sebuah bangsa menegaskan identitasnya sekaligus menyatakan eksitensi melalui stufen bau ("kaidah bertingkat") yakni berbagai undang-undang organik. Kaidah bertingkat merupakan penjabaran dari kaidah dasar. Dalam bahasa akademik diistilahkan kultur hukum, kerangka dasar ("kaidah dasar, aturan dasar") dan substansi hukum ("kaidah bertingkat, aturan organik"), implementasinya dalam strukur hukum ("kaidah petunjuk, petunjuk teknis").

Kultur hukum, kerangka dasar yang menegaskan identitas sebagai negara kesatuan yang republik, sedangkan substansi hukum menjabarkan kaidah dasar untuk pernyataan eksistensi dalam keanekaragaman masyarakat bangsa dalam hidup bernegara. Hidup beranekaragam suku, golongan, agama, kepentingan dalam bernegara kesatuan republik secara adil, membutuhkan strukur hukum sebagai penjabaran substansi hukum. Iibarat anak manusia maka kultur hukum itu "roh", sedangkan substansi hukum itu jiwa", strukur hukum menjadi "raga".

Roh, Jiwa, Raga
Struktur hukum merupakan jelmaan nyata substansi hukum. Substansi hukum dan struktur hukum merupakan jiwa dan raga suatu bangsa dalam sosok negara hukum. Sebagai jiwa dan raga, hanya dapat bersatu untuk hidup berkemuliaan, berprikemanusiaan, berkedamaian, berkesejahteraan dalam kebhinekaanberkeadilan yang saling menghidupkan (dialektik). Supaya saling menghidupkan, maka yang menghidupkan adalah roh (kaidah dasar).

Apabila substansi dan struktur hukum dalam penyusunannya tidak sesuai kultur hukum maka indikasi awal bangsa itu mempunyai negara yang tidak mempunyai roh. Menular kepada warga negara yang tidak memahami landasan budaya hukum yang benar. Tergambarkan dalam setiap tutur dan tindakan para elite yang mencampuradukkan Pancasila sebagai dasar negara dengan pilar negara.

Negara yang jiwa dan raganya tidak dalam pendialektikaan roh yang sesungguhnya tergambarkan antara lain melalui sosok oknum-oknum elite negara dari pusat sampai daerah. Sosok-sosok yang belum memahami Pancasila sebagai dasar negara dengan menempatkan sekadar pilar negara dalam setiap ucapan dan tindakan. Kalau Pancasila dijadikan pilar negara, pertanyaannya muncul, "pilar-pilar negara itu didirikan di atas dasar apa?"

Apakah dipatok atas dasar mayoritas suku, agama, kelompok kepentingan atau atas dasar tirani minoritas! Berbagai jawaban demikian lalu menjadi aroma politik yang sering terkemas dalam berbagai gerakan sosial kemasyarakatan yang berkecendrungan radikal.

Apakah Pancasila itu dasar atau pilar negara? Dituntut kualitas pemahaman para elite terhadap Pancasila sebagai dasar negara secara benar supaya bertutur dan berperilaku benar dan baik, bertindak adil-bijaksana saat mengelola kehidupan masyarakat. Dengan demikian di saat tertentu (misalnya keadaan darurat daerah, negara dan antar negara), mungkin seperti dikatakan Antonio Gramsci bahwa para warga, termasuk mereka yang dirugikan, tetap percaya diperlakukan adil.

Karakter bernegara
Syarat sebuah negara menjadi kuat, menurut Antonio Gramsci ada tiga komponen, yakni militer, polisi, ideologi. Namun bagi Gramsci, apabila kekuatan ideolginya ampuh, maka kekuatan militer dan polisi tidak sepenuhnya digunakan untuk pertahankan negara. Negara yang hanya relatif berhasil menguasai rakyat melalui kekuatan militer, oleh Gramsci digelari negara hegemonic. Artinya dinamika kenegaraan didukung lembaga non pemerintahan seperti keluarga, keagamaan, pendidikan, pers (Bdk Perry Anderson, "The Antinomics of Antonio Gramsci" dalam New Left Review, November1976 -Januari 1977.

Kemandirian negara berideologi Pancasila didukung SDA yang berlimpah menjadi landasan kokoh kenetralan negara dalam setiap proses pengambilan kebijakan. Proses pengambilan keputusan yang dikatakan bijaksana, apakah sesungguhnya telah berproses secara demokratis? Karena tragedi dalam bernegara dan bahkan antar negara biasanya terjadi di ujung tidak tercapai keberhasilan dalam proses menata keharmonisan kepentingan individu (kaum kapitalis) di kalangan elite pemerintahan (terutama oknum militer dan sipil, politisi, penguasa dan pengusaha).

Konflik kepentingan di antara kaum kapitalis yang dilukiskan (dimanipulasi!) dalam selimut kepentingan individu, golongan, suku, agama/penguasa-pengusaha vs kepentingan umum/rakyat dipetakan sebagai kepentingan umum (kaum sosialis) dalam selimut nasib kaum miskin, para buruh, petani, nelayan.

Dalam arti kenetralan bernegara tercemari setiap kebijakan yang dihasilkan dalam berbagai produk hukum, dan dalam penerapannya di berbagai bidang kehidupan secara bijaksana. Penerapan kebijakan yang mampu melayani kepentingan bersama dalam bernegara dan bergelobalisasi, yakni mampu menserasi-selaraskan konflik kepentingan individu, kelompok elit negara dan antar negara. Karena sesungguhnya konflik di kalangan elit negara yang memunculkan manipulasi tragedi konflik kepentingan individu/penguasa-pengusaha-militer vs kepentingan umum/rakyat miskin, buruh, nelayan, petani di sebuah negara dan antar negara. Maka substansi hukum sebagai jiwa dan struktur hukum (petunjuk pelaksanaan/juklak-petunjuk teknis/juknis) sebagai raga harus saling serasi.

Karakter bernegara suatu bangsa, berbenih dari proses sejarah peradaban dan kebudayaan yang terus tumbuh dan berkembang dari awal mula penciptaan sampai kekinian dan akan datang. Bangsa yang berkarakter baik dan benar (bijaksana) merupakan bangsa yang telah mendapatkan jalan kesempurnaan dalam dialektika sejarah peradaban-kebudayaan kehidupan rohaniah-jasmaniah!

Mengharmoniskan setiap kepentingan individu, kelompok, suku, agama/oknum elite dengan kepentingan umum/rakyat yang sering saling kontradiktif, menjadi kepentingan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk dapat mandiri dan netral dalam berdesa-kelurahan, berkabupaten-kota dan berprovinsi.

Ideologi Keseimbangan

Sebagai nilai dan ideologi postmoderen, sesungguhnya Pancasila menganyam masyarakat yang penuh keseimbangan antar nilai dan keserasian antar ideologi melalui dekonstruksi (revolusi) selaras rekonstruksi (reformasi) sesuai konstruksi perubahan sosial yang kontekstual kekinian dan akan datang. Karena itu manusia dan masyarakat kemoderen-moderenan memang tidak moderen, juga ketradisionalan memang tidak moderen, apalagi mengabaikan aspek agama!!! Begitupun cahaya kereligiusan tetap mengakar ke tradisi yang wajib diteguhkan dalam keselarasan iman beragama dengan terang moderen, sehingga aspek kereligiusan menjadi keyakinan dan harapan manusia dan masyarakat dalam kegelapan tradisi dan kegulitaan moderen karena kemunafikan beragama di dalam berbangsa-bernegara dan bergelobalisasi.

Permasalahan berikut bahwa sejauh mana Pancasila yang menjadi dasar bernegara telah menjadi dasar pilar-pilar dan anyaman pilar-pilar ("kaidah dasar") sebagai kultur hukum ("Roh") demi penegasan identitas negara kesatuan yang republik? Kemudian terjabarkan ke substansi hukum ("jiwa") melalui rumus peraturan organik demi pernyataan eksistensi kebhinekaan/keanekaragaman.

Eksistensi ini dalam keberadaan hidup yang selaras, harmonis, adil maka diperlukan struktur hukum ("Raga") melalui rumusan aturan teknis pelaksanaan ("kaidah petunjuk, petunjuk teknis") sebagai penjabaran dari substansi hukum. Roh ("kaidah dasar") sebagai kultur hukum yang mendialektikan sehingga menselaraskan jiwa (substansi hukum)-raga (struktur hukum) dalam sebuah negara hukum perlu dirumuskan secara benar, baik, dialektik.

Perumusan Pancasila secara benar, baik, dialektik dalam kaidah dasar sebagai patokan pilar-pilar yakni Keempat pilar: Kemuliaan (Utara), Kemanusian (Selatan), Kedamaian (Timur), Kesejahteraan (Barat) dan Pilar kelima menjadi Poros yakni Kebhinekaan dalam Keadilan, teranyam melalui UUD 1945. Amandemen UUD 1945 yang sudah terjadi beberapa kali, dan barangkali sekarang dalam ancangan amandemen yang kelima (?). Pernah dalam suatu diskusi ancangan amandemen itu di Kupang, tepatnya di kampus Unkris.

Diskusi menghadirkan anggota DPD RI yang mewakili NTT. Ada sebuah pertanyaan filosofis terlontar saat itu yang ditunjukan kepada staf ahli yang membidani ancangan amandemen yang kelima itu. Bahwa telah beberapa kali amandemen UUD 1945, maka sekarang tolong tunjukan dan jelaskan dalam naskah rancangan amandemen telah menempatkan Pancasila sebagai kaidah dasar NKRI yang mendialektikan kepentingan di antara kaum kapitalis yang dilukiskan (dimanipulasi!) dalam selimut kepentingan individu, golongan, suku, agama/penguasa-pengusaha vs kepentingan umum/rakyat dipetakan sebagai kepentingan umum (kaum sosialis) dalam selimut nasib kaum miskin, para buruh, petani, nelayan.

Intinya mempertanyakan rumusan rancangan amandemen UUD 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai nilai dasar, ideologi NKRI yang mendialektikkan nilai, ideologi kapitalis dengan nilai,ideologi sosialis secara serasi, selaras, harmonis (adil). Karena sesungguhnya dalam spirit, semangat rumusan yang demikian telah memantulkan terang peran sesungguhnya dari anggota DPD RI sebagai penyeimbang (pendialektika) terhadap para wakil rakyat dari parpol di MPR RI. Juga tentunya di DPR RI yang diperjuangkan untuk terakomodir dalam rancangan amandemen itu. Demikianlah kekurangjelasan penempatan Pancasila sebagai kaidah dasar, dasar bernegara Indonesia dalam anyaman dasar, sehingga menyebutnya dan merumuskan juga sebagai pilar negara.

Sesungguhnya secara politik dan hukum telah terjadi upaya pengaburan dan pelemahan identitas Indonesia sebagai negara kesatuan oleh oknum elite negara. Berdampak kepada pernyataan eksistensi (keaneragaman) yang sering fenomenal, lalu menjadi aroma politik terkemas dalam berbagai gerakan sosial kemasyarakatan yang berkecendrungan radikal, tercium dari dulu hingga kekinian.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved