Calon Pemimpin dan Agenda Anti Radikalisme

Tetapi sejauh ini, belum ada calon pemimpin yang secara tegas mengintegrasikan gerakan anti radikalisme ke dalam agenda politik.

Editor: Dion DB Putra
Pos Kupang/Oby Lewanmeru
Krans Bunga dukung Gubernur NTT tolak paham radikalisme 

Oleh: Inosentius Mansur
Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret, Maumere

POS KUPANG.COM - Tidak lama lagi, kita akan melaksanakan pesta demokrasi lokal. Bersamaan dengan itu, beberapa figur sudah mulai "mendekatkan" diri dengan rakyat. Berbagai program politik pun ditawarkan agar diberi kekuasaan.  Saya mengamati bahwa program politik mereka memang kontekstual dan solutif.

Tetapi sejauh ini, belum ada calon pemimpin yang secara tegas mengintegrasikan gerakan anti radikalisme ke dalam agenda politik. Kalaupun ada, itu masih "samar-samar", belum memiliki konsep serta tata penjabaran jelas. Padahal persoalan radikalisme merupakan ancaman bagi bangsa kita. Maka tidak heran, jika Presiden Jokowi, menyatakan bahwa jika ada ormas yang bertentangan dengan konstitusi, akan digebuk (Kompas, 18/05/2017).

Lalu bagaimana calon pemimpin "menterjemahkan" pernyataan Presiden tersebut? Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pikiran kepada para calon pemimpin itu agar memiliki konsep anti radikalisme.

Urgensi Agenda Anti Radikalisme

Walaupun di NTT belum ada gerakan radikal yang secara jelas mengancam kestabilan bersama, tetapi itu bukan berarti kita sudah aman. Harus diakui bahwa secara nasional eksistensi kelompok-kelompok organisasi masyarakat (ormas) yang melawan konstitusi itu amat mengganggu kestabilan bersama.

Hasrat untuk mengganti ideologi Pancasila yang didukung oleh politikus-politikus pragmatis, menyebabkan keberadaan mereka mendapat "legitimasi" politik. Hal seperti ini berdampak distortif karena mengancam integrasi sosial. Di tengah ancaman diisntegrasi seperti ini, kita memang harus mendukung Polri ataupun TNI sebagai institusi resmi yang diberi otoritas oleh negara untuk menjaga kestabilan sosial. Namun demikian, kita tidak cukup hanya memberi kepercayaan kepada kedua institusi tersebut.

Selain sinergisitas semua elemen sosial, adalah urgen bagi para elite politik -terutama lagi yang memiliki kemauan untuk menjadi pemimpin -merancang agenda sosial untuk mencegah "kerusakan kolektif" yang disebabkan oleh ideologi fundamentalis kelompok radikal yang bertentangan dengan konstitusi. Calon pemimpin bertanggung jawab untuk melindungi rakyat dari kaum (paham) radikal yang telah dan akan berusaha memprivatisasi ruang publik, politik dan hukum berdasarkan kepentingan mereka.

Untuk itu, kita berharap agar setiap calon pemimpin mendesain konsep antiradikalisme sebagai salah satu agenda politik unggulan. Jangan tunggu stabilitas sosial kita "dibombardir" oleh gerakan radikal baru mulai memikirkan agenda antiradikal. Meskipun sekarang kita merasa "aman-aman" saja, tetapi tidak ada otomatisme atau jaminan bahwa untuk selamanya kita akan menjadi daerah yang aman dan jauh dari pengaruh kelompok radikal.

Adalah lebih baik, kita menyiapkan langkah-langkah antisipatif dan memastikan bahwa daerah kita tetap kondusif. Ancaman gerakan-gerakan radikal bisa datang kapan saja. Budaya kita yang amat ramah terhadap setiap orang yang datang, bisa saja menjadi "pintu masuk" bagi gerakan-gerakan seperti itu. Selain itu, penyebaran paham radikal tidak hanya dilakukan melalui kontak fisik (berhadapan muka: ajaran-ajaran, agitasi-agitasi, kotbah-kotbah), tetapi juga melalui metode-metode canggih, entah melalui media sosial maupun lewat berbagai media lainnya.

Penyebaran ideologi melalui cara seperti itu memiliki efek yang mampu melampaui batas wilayah dan waktu. Hal-hal seperti inilah yang mesti "diakomodasi" oleh para calon pemimpin untuk dimasukan ke dalam program politik.

Kesadaran Kolektif
Agar hal seperti ini dapat direalisasikan, maka calon pemimpin mesti menyiapkan metode berkampanye yang berusaha membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya NKRI. Masyarakat, bukan hanya diberikan janji-janji politik, tetapi juga diberikan penyadaran agar menginternalisasikan paham-paham nasioanalisme.

Memang, kalau dilihat dari perspektif politik pragmatis, hal seperti ini kurang menguntungkan. Tetapi, harus disadari bahwa setiap calon pemimpin bertanggung jawab untuk memelihara kestabilan bangsa dan membentengi rakyat dari ideologi-ideologi radikal.

Calon pemimpin mesti mampu "mensosialisasikan" pilar-pilar kehidupan berbangsa sambil secara sistematis mengarahkan rakyat agar tidak terkontaminasi oleh ekses-ekses distortif paham-paham radikal.

Rakyat harus diberi edukasi politik agar berpatisipasi dalam usaha untuk mencegah masuknya ideologi yang merusak peradaban bersama. Agenda politik, betapapun itu berkaitan dengan konteks lokal, tidak boleh terlepas dari agenda nasional yaitu "memberangus" kelompok-kelompok inkonstitusional. Dengan demikian, gerakan anti radikal menjadi gerakan bersama yang mengabsolutkan sinergisitas antara pusat dan daerah. NKRI adalah harga mati! *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved