Mempertimbangkan Neo Tribalisme

Pemikirannya diperkuat Scout (1999) yang menyebut bahwa era milenium baru dapat disebut sebagai the time of tribalism.

Editor: Dion DB Putra

(Catatan Kecil bagi Ormas dan Polda se-Nusantara)
Oleh: Dr.Watu Yohanes Vianey, M.Hum
Dosen Unwira Kupang

POS KUPANG.COM -- Isu tentang kemungkinan dan batas-batas berkembangnya "tribalisme" versus "nasionalisme" di berbagai negara di dunia telah dipotret oleh Daniel Bell pada tahun 1978 dalam kalimat: "from national society to tribal society". Pemikirannya diperkuat Scout (1999) yang menyebut bahwa era milenium baru dapat disebut sebagai the time of tribalism. Sebuah potret bandul kehidupan sosial politik yang berayun dari rasa nasionalisme ke tribalisme.

Dalam konteks NKRI teori Daniel Bell itu ada relevansinya. Khususnya dalam menjelaskan musim Pilgub dan Pilkada tahun 2018 dan musim Pilpres 2019. Demi memenangkan calon jagoan pemimpinnya untuk berkuasa di suatu daerah, sebagian anak bangsa memperlihatkan perbuatan dan perkataan yang mengindikasikan menguatnya rasa dan identitas tribalisme atau kesukuan primitifnya. Hal mana menjadi lebih sangar jika lengket dengan politisasi agama, modal, dan golongan, yang dipimpin langsung oleh para tokoh dan pengikutnya, yang bisa saja ramai-ramai mengalami pergeseran orientasi kebangsaan.

Karena itu ramalan tentang "the end of history" (berakhirnya negara bangsa) dari Fukuyama (1995) dan the end of ideology (akhir dari idelogi dominan, seperti ideologi kebangsaaan kita Pancasila) perlu dicermati. Konon kedua hal itu diawali oleh the death of socialism (matinya rasa sosialitas) seperti yang digagas oleh Giddens (1998). Fenomena pesimistis itu bukan tidak mungkin bakal terjadi di negeri ini, jika tidak diantisipasi dengan arif dan cantik.

Bukankah di negeri ini masih berkeliaran para penghina Pancasila dalam kata kebencian dan perbuatan KKN di seluruh penjuru negeri? Agen penghancur ideologi kebangsaan NKRI rasanya tidak ke mana-mana, tetapi sudah ada di mana-mana. Ada di kampung dan di kampus, ada di Rumah Tuhan dan Rumah Sakit. Penandanya terlihat dalam keberadaan dan keberpihakan orang per orang atau kelompok-kelompok besar maupun kecil, yang melakukan ujaran kebencian di berbagai tempat dan media sosial.

Ujaran kebencian itu adalah sesuatu yang faktual, entah dilontarkan untuk para penganut agama dan kepercayaan yang lain, entah dilontarkan untuk suku dan subetnik yang lain, yang jelas-jelas dijamin ekistensinya di Nusantara.

Inilah fenomena matinya sosialitas kebangsaan. Begitu pula hadirnya arogansi dan brutalitas gerombolan yang melarang umat beragama lain untuk beribadat dan tega membakar rumah ibadat mereka. Kelaparan untuk membunuh dan makan orang yang berbeda dengan mereka, adalah iota faktasitas tentang `matinya' karakter sosialitas kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pertanyaan refleksifnya adalah `kermana' (apa, bagaimana) derajat perwujudan visi gaudium et spes (kegembiraan dan harapan) dan misi dari berkat kemerdekaan dan rahmat Allah bagi manusia dan alam raya dari NKRI yang berbasis ideologi Pancasila dan UUD 45? Kermana peran strategis komunitas agama-agama dan adat istiadat Nusantara yang bersumber dari teks suci dan tuturan bertuah, jika tribalisme primitif maupun neo tribalisme yang licik, liar dan buas dibiarkan menyerang sesama ciptaan anak-anak

Ibu Pertiwi? Kermana perwujudan dari peran Polri yang menjamin ketertiban hidup berbangsa dan bernegara hic et nunc dalam mengantisipasi dan menghadapi secara ksatria, cerdas, adil dan disiplin, terhadap maraknya fenomena neo tribalisme tersebut?

Tribalisme Primitif dan Neo Tribalisme

Tribalisme primitif atau tribalisme purba ditandai oleh sukuisme yang berkutat dengan kegiatan perebutan lahan pangan. Militansinya berjangka pendek yang digerakkan oleh kepala suku dan lingkaran inti kekuasaannya. Kegiatan yang licik, buas brutal yang penuh kekerasan itu dibangun berdasarkan sentimen magis dan mitologis yang `mendaku' dan menghalalkan segala cara, dan karenanya cenderung non intelektual.

Pemimpin atau kepala sukunya adalah orang yang digambarkan dari keturunan sakti dan dilingkari oleh para dukun dan para jawara, yang juga dipersepsikan sebagai orang-orang sakti.

Sedangkan neo tribalisme (neo tribalism) seperti dipotret Waill (2000) dalam karyanya Primitive Millenium juga dibangun berdasarkan perebutan lahan SDA, namun telah disadari pula tentang penting dan betapa strategisnya penguasaan terhadap SDM untuk memperoleh kekuasaan. Militansi perjuangannya berjangka panjang, menggunakan bermacam media (media massa, media elektronik, virtual). Neo tribalisme juga mengzjinkan menggunakan segala cara yang licik untuk meraih tujuan kekuasaan yang digerakkan oleh sebuah kelas menengah (SDM) yang tangguh, yang memiliki rasa kesukuan yang mendalam dan keagamaan yang fanatik dan dikelola berdasarkan sikap intelektual yang tinggi.

Karena itu pemimpin neo tribalisme adalah seorang intelektual yang cerdas dan licik. Dia adalah `kepala suku' yang berdasi, dan oleh para pengikutnya, dia dianggap arif dan adil, apalagi dia berasal dari keturunan yang dipuja puji dan dilingkari bunga emas para agamawan despotisnya.

Maka, bagi saya, tribalisme maupun neo tribalisme seyogyanya serius dipertimbangkan keberadaannya. Apakah kita biarkan terus bertumbuh ibarat tumbuhnya ilalang di antara padi di NKRI yang berpilar "bhineka tunggal ika"? Jelas posisi negara kebangsaan Indonesia Raya telah berusia 71 tahun dan menjelang 72 tahun pada Agustus mendatang. Polri dan kita semua elemen bangsa, perlu jaga eksistensi NKRI. NKRI wajib dirawat dan ditumbuh suburkan agar menjadi NKRI yang hebat di dalam negeri dan disegani oleh luar negeri. Rasanya tidak ada yang sehat, yang datang dari semangat dan sikap hibup tribalisme (tribalisme purba dan neo tribalisme).

Harus diakui bahwa modernitas dan sistem demokarsi sebagai anak kandung reformasi 98, telah melahirkan sebagian masyarakat yang berkharakter personal individual yang menjunjung HAM. Salah satu dampaknya adalah menggelorakan kehadiran identitas lokal yang dalam istilah Giddens (1991) dalam Modernity and Self Indentity disebut "individualism -identity and locality".

Untuk keperluan itu, bandul revolusi mental demokratis tersebut harus sungguh dijalankan secara terencana, tertib dan tertata.

Dalam dan melaluinya komunitas bangsa kita boleh muncul sebagai masyarakat post traditional yang adil dan beradab. Sayang jika rejim reformasi, yang diperankan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif seperti para anggota DPR, DPD, DPRD, Jaksa, Hakim, MK, dan pimpinan partai-partai politik masih suka KKN dan olehnya menjadi karpet merah bagi ada dan menjadinya the time of tribalism and the primitive day di berbagai penjuru negri.

Catatan untuk Ormas dan Peran Polda

Dalam alur pemikiran di atas, saya mendukung tekad baja dan tindakan nyata Menkopolkam Jenderal Wiranto dan Mendagri, yang tegas melarang ormas HTI yang mempunyai agenda idelogi komunalitas trbalistisnya sendiri. Bagi saya ormas yang anti ideologi kebangsaan Pancasila dan konstitusi UUD 45 adalah etis untuk dilarang dan karenanya didukung sepenuhnya oleh Pori dan TNI. Saya salut atas aparat negara yang konsisten dalam menunaikan tugas `ipoleksosbudhankamnasling'-nya.
Dalam alur dan pemikiran yang sama, saya memuji langkah kebijakan Pemda dan Polda NTT yang rancang bangun eksistensi `polisi adat' yang bersumber dari institusi masyarakat adat untuk turut menjaga kambtimas di Provinsi NTT.

Pertemuan Kapolda NTT dengan komunitas masyarakat adat Timor (Rabu, 15/3/2017) dalam representasi Meo Naek Teflopo, yang konon memimpin 108 suku di Timors, patut diapresiasi. Kita tunggu geliat yang sama di berbagai kabupaten Flobamorata yang lain. Namun tetap dengan catatan pertimbangan seperti yang diulas pada tulisan ini, yaitu sejauh mungkin ormas yang berabasis komunitas adat itu perlu menjinakkan bibit neotribalisme dari dalam dirinya sendiri yang cenderung destruktif untuk berkiprah secara konstruktif.

Maka bagi saya, walaupun mungkin dari sisi akademik masih perlu dikaji serius keakuratan data kebudayaannya dan keampuhan strategi kebudayaan yang dirancang bangun, Polda se-Nusantara pada umumnya dan Polda NTT pada khususnya teruslah loyal dan berkomitmen tinggi bersama elemen masyarakat lain termasuk lembaga polisi adat, bersinergi membangun ruang-ruang perjumpaan dan kesepakatan pancasilais, bagi penegakan hukum, baik hukum adat maupun hukum positif yang berlaku di ranah lokal. Kita mendoakan agar kerjasamanya berlangsung ramah dan cerdas, untuk memperkokoh pilar-pilar ideologi kebangsaan dan peradaban universal.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved