Medsos, Penyebaran "Hoax" dan Budaya Berbagi

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyebutkan, sedikitnya 170 juta masyarakat Indonesia memiliki minimal satu ponsel

Editor: Rosalina Woso
Mashable
Ilustrasi 

Perubahan pola

Hal serupa diungkapkan pengamat media sosial, Nukman Luthfie. Menurut dia, di era di mana masyarakat sulit membedakan informasi yang benar dan salah, hal terpenting adalah meningkatkan literasi media dan literasi sosial media.

Sebab, penyebaran informasi hoax juga dapat dilakukan oleh mereka yang terpelajar.

"Pengguna mobile phone, ketika ada berita lewat Twitter, Facebook, Whats App, hanya lihat judul kemudian disebarkan. Ini fakta, karakter yang menarik dan tidak pernah terjadi sebelumnya," tutur Nukman di kesempatan yang sama.

Selain kebiasaan berbagi secara cepat, pola baca masyarakat juga berubah total. Jika membaca buku halaman berapa, dan koran alinea berapa, pembaca berita online cenderung membaca secara cepat.

Hal itu didukung dengan format berita daring. Portal berita yang paling banyak dibaca adalah yang hanya terdiri dari beberapa alinea bahkan penyajiannya cenderung tak lengkap dalam satu berita.

Untuk mendapatkan informasi lengkap, pembaca dipaksa untuk membaca lebih dari satu berita.

"Banyak hoax menyebar luas adalah utamanya, bahkan orang terpelajar pun tidak bisa bedakan mana berita yang benar, advertorial dan hoax. Mereka menyebarkan apa pun yang mereka suka. Suka dulu. Enggak perlu betul," tutur Nukman.

Permasalahan saat ini, kata dia, informasi hoax telah memecah belah publik. Misalnya jika dikaitkan dengan momentum pilkada, publik terbelah menjadi kubu-kubu yang keras.

Hal itu diperparah dengan kondisi bahwa sejumlah media massa sudah berpihak pada satu pihak. Sehingga kepercayaan masyarakat pada media mainstream sudah luntur.

"Ini bahaya. Makanya selalu muncul, setiap kita terima berita, nomor satu adalah kembali pada manusianya," kata Nukman.

"Jika jempolmu sudah kepengin banget share, tunggu dulu. Ada proses untuk verifikasi, mengunyah. Jangan telan dulu. Cuma, itu susah sekali di saat mereka enggak bisa bedakan hoax dan bukan, harapan tinggal kepada media mainstream," ujar alumnus Universitas Gadjah Mada itu.

Cek sumber

Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengimbau masyarakat untuk menyelidiki benar atau tidak informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, memuat fitnah, hingga anjuran kekerasan, maka tak perlu disebarkan.

"Kalau sumber tidak jelas, tidak terverfikasi, tidak masuk akal, tidak bermanfaat, tidak usah disebarkan," kata pria yang akrab disapa Stanley itu.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved