Mengenal Budaya Tionghoa di Jakarta dan Cerita Gedung Candra Naya

jika dibandingkan dengan bangunan hotel, apartemen, dan perkantoran yang mengelilinginya.

Editor: Rosalina Woso
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Tampak depan bangunan Gedung Candra Naya di kawasan Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, Selasa (27/1). 

"Yang punya rumah, ahli waris, melarikan diri. Baru 13 tahun kemudian proses pembangunan kembali bisa terselesaikan," cerita Naniek.

Pada tahun 2006 pemilik rumah mendapat kesadaran penuh untuk memugar dan mengkonservasi rumah utama dan bangunan pelengkapnya. Proses pemugaran hingga tampilan rumah tersebut menjadi seperti saat ini selesai di tahun 2008.

Refleksi kecerdasan Khouw Kim An

Ada sebuah pemandangan unik di area dalam rumah utama. Atap terbuat dari kaca dan menjadi akses utama cahaya matahari masuk ke dalam ruah.

Atap tersebut ternyata dibuat sejak rumah tersebut dibangun, bukan modifikasi modern yang dibuat oleh tim konservasi.

Atap dari kaca tersebut merupakan pengganti tian jin, atau sumur langit dalam istilah filosofi bangunan China.

Setiap rumah tapak dengan model arsitektur China memiliki tian jin, yaitu bagian terbuka pada atap yang menghubungkan area inner-court (dalam rumah) dengan udara luar.

"Di sini terlihat bahwa Khouw Kim An sudah sangat pandai memodifikasi filosofi bangunan China disesuaikan dengan kondisi iklim di Indonesia yang tropis dan hujannya tidak terkira. Atap tidak dibuat terbuka melainkan ditutup dengan atap kaca atau istilahnya dibuat menjadi skylight," ucap Naniek.

Ia berasumsi, Khouw Kim An sudah memperkirakan jika atap dibuat terbuka, maka ketika hujan, ruang tengah yang menjadi lokasi aktivitas keluarga akan terguyur hujan. Aktivitas pun terganggu.

"Tetap ada kotakan terbuka tapi dibuat tertutup atap kaca," kata Naniek.

Saksi bisu dua pergolakan politik

Rumah tersebut sebenarnya memiliki "saudara kembar". Ayah Khouw Kim An, yaitu Khouw Tian Sek sebenarnya membangun tiga rumah dengan struktur, bentuk, dan luas yang sama di Molenvliet West, nama area Gajah Mada pada masa kolonial Belanda, untuk ketiga anak laki-lakinya.

Namun saat ini hanya rumah milik Mayor Khouw Kim An saja yang tersisa. Dua rumah lainnya sempat dimanfaatkan sebagai Kedutaan Besar China dan sekolah SMA Negeri 2. Pada tahun 1965, pada saat terjadi G 30 S PKI terdapat gerakan anti Baperki, asosiasi dagang China. Dua rumah tersebut dihancurkan.

"Kalau ditanya mengapa hanya rumah Khouw Kim An yang tersisa? Jawabannya tidak tahu, barangkali Tuhan ingin rumah itu tetap bertahan sampai sekarang sehingga bisa jadi saksi sejarah," kata Naniek.

Pada tahun 1998 ketika kerusuhan Mei 1998 bergejolak, rumah ini berada dalam tahap pemugaran dan konservasi yang ditangani oleh Tim Independen Pemugaran Candra Naya di bawah supervisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved