Breaking News

Dialog Antar Peradaban

Negara menjadi aktor utama di dalam politik dunia hingga saat ini. Jumlah negara pun berkembang menjadi lebih banyak semenjak perjanjian Westphalia.

Editor: Agustinus Sape
zoom-inlihat foto Dialog Antar Peradaban
Pos Kupang/ant
Presiden Joko Widodo (kiri) berdialog dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (kanan) saat jamuan makan pagi di beranda belakang Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/11/2016). Dalam pertemuan tersebut Presiden dan Surya Paloh membicarakan tiga permasalahan utama bangsa, yaitu pentingnya penguatan kembali semangat kemajemukan dan pluralisme yang telah tertanam di dalam bangsa Indonesia, pemantapan kembali ideologi Pancasila, serta bertekad dengan semua kekuatan untuk mencegah tumbuh kembangnya paham radikalisme di Indonesia. (ANTARA /Yudhi Mahatma)

Oleh: Paskalis Alfinos Toda
Peminat Hubungan Internasional, Mahasiswa Pascasarjana UI

DI dalam hubungan internasional, istilah sekularisme merupakan istilah yang berkembang pada saat perjanjian Westphalia (sekarang Jerman bagian selatan) pada tahun 1648. Perjanjian ini mengakhiri perang 30 tahun antara bangsa Eropa. Setelah perjanjian ini, bangsa Eropa mulai memperkenalkan konsep sekularisme yang merupakan pemisahan antara urusan agama dan negara. Konsep ini berkembang hingga saat ini. Perjanjian Westphalia menjadi awal dari adanya peran negara di dalam hubungan internasioanl. Negara (State)  berasal dari bahasa Latin, status yang berarti keadaan dan kondisi. Sejak perjanjian tersebut, negara menjadi aktor utama di dalam politik dunia hingga saat ini. Jumlah negara pun berkembang menjadi lebih banyak semenjak perjanjian Westphalia.

Agama dalam Hubungan Internasional
Pada saat PBB didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945, jumlah negara yang bergabung pada institusi tersebut hanya 51 negara. Hingga saat ini, di tahun 2016, negara yang bergabung dengan PBB sebanyak 193 negara. Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 kemudian secara resmi menjadi negara anggota ke-60 PBB pada tanggal 28 September 1950. Dari 193 negara di dunia saat ini hanya terdapat beberapa negara saja yang menjalankan teokrasi di dalam kebijakan dalam negeri dan luar negerinya. Mayoritas negara di dunia saat ini menganut paham sekularisme atau mempunyai ideologi tersendiri dalam memahami urusan agama dan negara. Misalnya, negara Indonesia yang mempunyai ideologi Pancasila sebagai dasar negara. Lantas kemudian, mengapa agama saat ini kembali ke dalam kajian hubungan internasional?

Setidaknya, terdapat tiga hal yang mengakibatkan hal ini terjadi (Haynes, 2013:18-20). Pertama, peristiwa 9/11 di Amerika Serikat pada 2001 yang memakan korban mencapai 3.000 jiwa. AS diserang oleh kelompok teroris Al Qaeda. Kelompok ini membajak tiga penerbangan sipil di AS. Dari tiga pesawat ini, dua pesawat ditabrakkan ke gedung World Trade Center yang merupakan simbol kapitalisme dan Gedung Pentagon yang merupakan simbol kekuatan militer AS. Kedua, invasi yang dilakukan Uni Soviet di Afganistan pada tahun 1978. Uni Soviet menyerang Afganistan dengan tujuan untuk melindungi pemerintahan komunis Afganistan. Ketiga, dikarenakan oleh pengaruh globalisasi. Globalisasi yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi mempengaruhi perkembangan informasi melalui internet dan media sosial. Hal ini turut memudahkah non-state religious actors yang dapat bekerja melintasi batas negara.

Benturan Peradaban?
Era saat ini oleh Archaria disebut sebagai era multiplex world yang ditandai dengan adanya berbagai persilangan kepentingan antara aktor negara dan aktor non negara (2014:8). Kemudian, Friedman menjelaskan bahwa saat ini kita hidup di dalam era globalisasi 3.0. Globalisasi ini bercirikan pada adanya perkembangan globalisasi yang dibawa oleh individu atau kelompok individu yang tidak hanya berasal dari western tetapi juga yang berasal dari non western atau non white (2007:11). Kondisi di atas berimplikasi pada hubungan internasional yang semakin kompleks sehingga pemahaman akan politik internasional tidak hanya menjadi politik antar negara, tetapi menjadi politik global atau politik dunia yang juga  memberikan ruang bagi aktor non negara.

Di dalam buku Clash of Civilizations and The Remaking of World Order, Samuel Huntington memberikan pemahaman bahwa akan terjadi benturan peradaban pasca perang dingin (1996). Konflik antar peradaban akan mendominasi politik dunia global. Ia membagi peradaban ke dalam beberapa peradaban, yakni Sinik, Jepang, Hindu, Islam, Ortodoks, Barat (western), Amerika Latin, dan Afirika. Menurut Huntington, konflik internasional akan lebih disebabkan oleh kultur daripada persoalan ideologi atau ekonomi. Pasca perang dingin, politik global menurut Huntington semakin bersifat multipolar dan multisivilisional.

Di dalam dunia yang semakin multisivilisional, pengaruh identitas seperti suku, ras, dan agama akan semakin dominan. Pengaruh dunia kita yang inside dan mereka yang outside akan semakin terasa meskipun globalisasi telah menciptakan dunia sebagai global village. Dalam kondisi ini, penting bagi setiap negara dalam membangun identitas yang dikonstruksikan sebagai identitas yang penuh perdamaian, kesejukan, dan kebersamaan. Identitas pada dasarnnya berlapis dan dapat dikonstruksikan melalui aksi, bahasa, dan tindakan. Negara harus membangun identitas kolektif yang mengutamakan kemajuan dan perdamaian bersama. Hal ini dapat menangkal pembentukan identitas resisten yang sering lahir dari aktor non negara seperti kelompok teroris. Misalnya, kelompok teroris ISIS yang mengkonstruksikan dirinya melalui tindakan yang ahumanis dan disharmonis sehingga mendapatkan kutukan dari negara-negara di dunia.

Dialog Antar Peradaban
Benturan peradaban Huntington masih berupa tesis, namun dapat digunakan dalam melihat konstelasi politik global kontemporer. Salah satu  cara yang terbaik dalam mengatasi benturan peradaban adalah dengan melakukan dialog antar peradaban. Paus Fransiskus telah menganjurkan bagi kita semua agar senantiasa mengutamakan budaya perjumpaan dan budaya dialog dalam mengatasi berbagai persoalan termasuk persoalan global. Dengan  dialog, permasalahan yang terkait dengan identitas dapat terselesaikan secara lebih baik karena akan lebih membuka ruang diskusi dan musyawarah. Termasuk permasalahan yang disebabkan oleh kelompok teroris yang sering kali membawa nama Tuhan sebagai ideologinya atau mengatasnamakan Tuhan untuk melegitimasi tindakannya.

Di dalam pesannya pada hari Migran sedunia, Paus berpesan agar kita semua mengglobalkan kemurahan hati dan cinta. Dengan mengglobalkan cinta kasih, maka dunia akan menjadi lebih baik. Kemudian, dalam ensiklik Caritas in Veritate, Paus Benediktus XVI menuliskan pentingnya suatu peradaban cinta (Civilization of love) (2009: Paragraf 33). Dengan membangun peradaban cinta, setidaknya kita semua dan secara khusus aktor negara mempunyai kesempatan untuk membangun dunia yang lebih baik tanpa melalui perang dan kekuatan militer secara khusus terkait dengan persoalan identitas.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved