Dendang Petuah yang Tak Lagi Didengar di Aceh Singkil

Kabupaten Aceh Singkil adalah daerah eksotis yang menyimpan kekayaan seni dan budaya. Salah satunya permainan musik arak

Editor: Rosalina Woso
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Pemain arak damping atau dendang Melayu khas Pulau Banyak sedang beraksi sembari menanti kedatangan rombongan Gubernur Aceh Zaini Abdullah di Desa Pulau Balai, Kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, Minggu (24/7/2016). Arak damping merupakan permainan musik khas Pulau Banyak yang dimainkan untuk mengiringi acara adat, seperti pernikahan, khitanan, hingga tarian. Kesenian itu tak sekadar memainkan musik, melainkan pula menyampaikan ataupun mendendangkan syair yang berisi petuah atau nasihat kepada mempelai pernikahan hingga para pemimpin. Namun, dewasa ini, kesenian itu mulai tersisih. Bahkan, sering kali petuah atau nasihatnya tak didengar, termasuk oleh para pemimpin yang disambut dengan kesenian itu. Kondisi ini menjadi cermin nyata bahwa orang-orang, khususnya para pemimpin sering abai bahkan tak mau lagi mendengar petuah yang sesungguhnya untuk kebaikan. 

Namun, dewasa ini, kesenian itu mulai tersisih. Bahkan, sering kali petuah atau nasihatnya tak didengar, termasuk oleh para pemimpin yang disambut dengan kesenian itu. Kondisi ini menjadi cermin nyata bahwa orang-orang, khususnya para pemimpin sering abai bahkan tak mau lagi mendengar petuah yang sesungguhnya untuk kebaikan.
Kian tersisih

Dahulu kala, Makmur melanjutkan, sejak kecil, orang-orang Pulau Banyak dilatih bermain rebana, biola, dan mendendangkan syair. Tujuannya agar regenerasi pemain arak damping berkelanjutan. "Saya belajar memainkan rebana dan mendendangkan syair sejak usia 16 tahun dari orang-orang tua kampung," tuturnya.

Pasca tsunami 2004, arak damping mulai tersisih. Kini, warga lebih suka memakai jasa organ tunggal untuk menghibur tamu dalam hajatan. Bahkan, Dendang Sakti paling banyak tampil tujuh kali dalam setahun. "Padahal, dulu, kami bisa tampil satu kali hingga dua kali kali per bulan," ujar Makmur.

Makmur menambahkan, generasi muda Pulau Banyak sudah tak tertarik berlatih arak damping. Anak-anak lebih suka bermain video game dan menonton televisi. Sementara pemuda menilai berlatih arak damping tidak menghasilkan. Mereka lebih memilih bekerja sebagai nelayan, petani, atau buruh perkebunan sawit yang lebih jelas penghasilannya.

Akibatnya, regenerasi arak damping tersendat. Bahkan, kini, hanya Dendang Sakti yang masih eksis memainkan arak damping di Pulau Balai yang merupakan pulau terbesar dan berpenduduk paling banyak di gugus Pulau Banyak.

Mengingat usia anggota Dendang Sakti yang rata-rata 45-65 tahun, keberadaan arak damping mungkin tak lama lagi. "Arak damping ini akan punah jika kami meninggal karena tak ada lagi penerus kami," ucap Ahman (65), pemain biola satu-satunya di Dendang Sakti.

Ketua Dewan Kesenian Aceh Singkil Aslym Combih menuturkan, arak damping merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan seni dan budaya lokal di Aceh Singkil yang hampir punah. Kondisi itu terjadi karena minim kesadaran untuk mempertahankan, tidak ada jaminan penghasilan bagi para seniman, dan tidak ada wadah pentas yang berkelanjutan.

Untuk melestarikan kesenian khas daerah itu, pemerintah harus menjamin penghasilan seniman dan menyediakan wadah pentas berkelanjutan. "Jika tidak sanggup, pemerintah harus bekerja sama dengan swasta, seperti agen perjalanan," katanya.

Bupati Aceh Singkil Safriadi menyebutkan, melalui Festival Pulau Banyak, diharapkan segala potensi pulau itu kian terpublikasi, termasuk kekayaan seni dan budayanya. Hal itu pun diharapkan berkontribusi untuk mempertahankan dan memajukan pariwisata, serta segala kekayaan seni dan budaya di daerah itu. (Kompas.Com)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved