Dominikus Juang Taum: Mendidik Keluarga untuk Bertahan dalam Penderitaan
Sang ayah memberikan wejangan lalu menutup doa harian dengan sebuah lagu.
Oleh Yosafat Koli
Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Kupang
POS KUPANG.COM - Pagi-pagi benar. Ketika ayam berkokok bersahut-sahutan, dan cahaya kemuning menyapu di tepi langit. Dalam kamar sempit sebuah keluarga di pedalaman Lembata pada tahun 1970-an. Sang ayah memimpin doa, mendaraskan pujian dan seisi keluarga mengikuti dengan tekun, lalu mendengarkan firman.
Sang ayah memberikan wejangan lalu menutup doa harian dengan sebuah lagu. Sesaat kemudian anak-anak bergegas mengerjakan tugas yang dilekatkan di dinding kamar makan. Mencuci piring, menyapu, memasak, mengambil air lalu bersiap ke sekolah. Jenis pekerjaan tidak memandang apakah anak laki-laki atau perempuan.
Ini cuplikan salah satu kegiatan keluarga yang dipimpin oleh Bapak Dominikus Juang Taum (81) saat itu di tahun 1970-an. Ketika masih aktif menjalani tugas keseharian sebagai seorang guru. Bekal pendidikan di Seminari Mataloko (1949-1953) rupaya terus membekas dalam kehidupan suami Martina Abong Hurek (71). Dari dalam rumah disiplin benar-benar diterapkan. Anak-anak diajarkan untuk bertanggung jawab mulai dari hal yang kecil. Pekerjaan harus tuntas dan tepat waktu.
Dituturkan salah seorang putranya, Doktor Yoseph Yapi Taum, M.Hum, ayahnya begitu keras mendidik anak-anaknya. Tetapi selalu memiliki ruang hati yang lembut untuk merangkul anak-anaknya yang telanjur 'bersalah'. "Ayah sangat disiplin, tetapi tetap memberikan kesempatan bagi anak-anaknya untuk bertobat dan kembali memperbaiki kesalahannya," ujar dosen di Unversitas Sanatha Dharma, Jogya ini.
Tak pelak rumah menjadi sesuatu yang berarti bagi anak-anak. Keluar dari rumah boleh dilakukan dengan memberitahukan ke mana pergi dengan siapa dan berapa lama, asal sesudah tugas rumah dan sekolah selesai dilaksanakan. Malam hari usai makan menjadi kesempatan yang selalu mendebarkan anak-anak. Konferensi. Evaluasi harian dilaksanakan.
Mulai dari anak yang tertua hingga terkecil. Informasi apa saja yang diketahui akan diputar kembali dan dikonfirmasi. Biasanya dilakukan untuk mengetahui anak yang tidak mengerjakan tugas di rumah dan sekolah, tidak saling menghormati, kata-kata kotor semuanya diselesaikan di meja makan dengan semua peralatan makan tetap di posisinya. Jangan khawatir 'piring terbang' karena tidak akan terjadi. Konferesni lebih kepada ingatan-ingatan untuk saling mengasihi, bertangung jawab dan menjadi anak yang baik. Selesai konferensi, dilanjutkan dengan rekreasi bebas dan ditutup malam harinya dengan mendaraskan doa bersama.
Dominikus, kelahiran 1 April 1935, berasal dari keluarga sederhana di Ataili, Lembata. Lahir dari pasangan Antonius Sole Taum (alm) dan Anastasia Nogo Buran (alm), petani miskin di Ataili ini memiliki kecerdasan dan potensi yang dapat dibanggakan. Seperti ditulis Pastor Patrisius Dua Witin, CP dalam bukunya Orang Ataili, Rekonstruksi Jejak-jejak yang Tercecer (2014), Dominikus merupakan siswa cerdas di SR (sekolah rakyat) Lewuka (1943-1945) dan oleh seorang gurunya, Bernardus Werang Dawan, diutus untuk melanjutkan pendidikan kelas 4-6 di Larantuka. Sayang, Perang Dunia Kedua meletus dan pendidikan baru diselesaikan tahun 1948.
Lagi-lagi karena pintar di angkatannya, pastor pimpinan asramanya, P. Hubertus Van Eyk, SVD merekomendasikan ayah 12 anak ini (5 meninggal) untuk masuk Seminari Mataloko selama lima tahun (1949-1953). Mundur dari seminari bukan hal yang mudah. Pergulatan batin anak petani di pedalaman Lembata ciut melihat penampilan pakaian sesama rekannya yang begitu wah. Bagaimana tidak, sarung satu-satunya tenunan sang ibu, tak pernah diganti, karena sering dicuci dan kain itu sobek. Bahkan untuk menjahit tak ada seutas benang pun lalu dijahit seadanya. Keputusan mundur dari seminari ditanggapi beragam oleh rekan-rekannya. Rata-rata mereka menyesalinya karena Dominikus ternyata sangat cerdas, teristimewa untuk bahasa Latin.
"Saya putuskan untuk mundur dari seminari memang karena keadaan yang sangat menyakitkan saat itu. Tetapi saya percaya bahwa tempat saya tidak di kebun anggur Tuhan, tetapi di ladang pendidikan dan pengajaran," ujarnya belum lama ini di Kupang.
Keputusannya menutup pintu bekerja di kebun anggur Tuhan ternyata membuka jalan lain, sebagai guru. Guru muda ini belum juga mengenyam pendidikan seorang calon guru, sudah diangkat menjadi guru di SR Lewuka tahun 1953. Tahun 1955 ke Atawolo (setahun karena tidak ada kelas 4-6) dan pindah ke Lerek hingga 1958. Tahun 1958-1961 di Oeleu dan Oelea.
Tahun 1961-1964 mengajar di Atawatung. Tahun 1964-1968 ke Ataili mengajar di Mulankera, Labala. Tahun 1968-1972 ke Mulandoro, 1972-1973 mengajar di Biarwala, Kedang. Tahun 1973-1990 di Lewokukung, dan tahun 1990-1993 ke Pada, Lewoleba Barat sampai pensiun, sekarang menetap di Waikomo.
Bayangkan sedemikian rumitnya perjalanan hidup yang menuntun seorang petarung sejati yang keluar sebagai pemenangnya.
Membangun kariernya, membangun pendidikan nilai dan formal untuk anak-anaknya. Membayangkan tahun 1953 menjadi guru di pedalaman Lembata, ketika negara ini baru berusia delapan tahun, tentu banyak sekali karut-marutnya. Transportasi yang hanya dengan berjalan kaki, dan telepon kabel yang hanya cerita barang mewah di rumah orang kaya di kota atau kantor pemerintah.
Betapa rumitnya memboyong keluarga dari satu tempat tugas ke tempat tugas lainnya. Masalahnya makin rumit ketika tugas baru yang sangat berjauhan seperti dari selatan Lembata ke timurnya atau utara. Beragamnya budaya dan bahasa memaksa anak-anak harus belajar dari nol, baik bahasa dan budayanya. Pekerjaan paling rumit adalah bagaimana menjadikan semuanya berjalan simultan dan seimbang. Antara sukses menjalankan tugas sebagai guru dan sukses menjadi ayah bagi anak-anak yang sedang bertumbuh dan menanamkan nilai-nilai yang baik.
Para pakar melihat bahwa sukses bisa terjadi karena kombinasi tiga hal. Kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan AQ (Adversity Quotient). AQ adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup. Secara umum, kecerdasan dapat dipahami pada dua tingkat.