Guru dan Elite
Kepentingan itu bermain lewat birokrasi yang menjadikan uang sebagai patokan nilai beli dan posisi tawar menawar.
Oleh FX Ivan Rahas, SPd
Guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Kupang
POS KUPANG.COM - Kepentingan elite lokal saat ini banyak mengabaikan dan mengganggu pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya, khususnya dalam sistem perekrutan dan tata kelola tenaga pendidikan.
Kepentingan itu bermain lewat birokrasi yang menjadikan uang sebagai patokan nilai beli dan posisi tawar menawar. Temuan Pansus LKPj 2015 DPRD Kabupaten Kupang hari Kamis 19 Mei 2016 seputar jual beli 600 SK Guru Kontrak di Kabupaten Kupang menegaskan dosa birokrasi ini. Guru yang semulanya harus steril dari kepentingan apapun di luar pendidikan dan merupakan jabatan profesional yang harus kompeten secara pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial kemudian dijadikan sebagai komoditas dagang oknum mafia pendidikan.
Jabatan guru tentunya secara logika haruslah melalui proses formal edukatif yang dilaksanakan dengan menerapkan standar mutu atau norma tertentu. Logika juga yang menyimpulkan bahwa elite-elite birokrat sementara mempermainkan pendidikan dengan tameng pengembangan sumber daya manusia.
Hasilnya jelas bahwa guru tak banyak berkontribusi bagi kinerja pendidikan, indeks pembangunan manusia, angka partisipasi kasar, angka partisipasi sekolah, dan bahkan untuk soal pemberantasan buta huruf. Lalu pertanyaannya, kenapa fenomena jual beli jabatan guru selalu terjadi setiap tahun dan terjadi hampir di setiap daerah.
Motivasi Sosiogenetis
Dari dulu, motivasi orang menjadi guru kontrak daerah dengan gaji dan jaminan hidup yang jauh dari sejahtera masih dipandang sebelah mata. Hal ini terlihat dari sedikit sekali tamatan SMA atau SMK yang kuliah di jurusan pendidikan (LPTK) dan ingin menjadi guru. Kebanyakan lebih memilih kuliah di universitas-universitas non-pendidikan yang menjanjikan pekerjaan dengan gaji yang lebih besar dibanding gaji guru.
Namun keadaan ini berubah setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 48 tahun 2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dimana seluruh tenaga honorer yang mengabdi terhitung mulai tanggal 1 Januari 2005 diangkat menjadi CPNS. Untuk tenaga honorer di bidang pendidikan, pemerintah malah secara sistemik menyiapkan Pendidikan Profesi Guru untuk meng-guru-kan sarjana dari fakultas kependidikan atau keguruan, dan juga non-kependidikan.
Program ini membuka peluang bagi sarjana hukum yang "susah" jadi advokat, sarjana teknik yang "sulit bekerja" di dunia keteknikan, dan sarjana dengan gelar akademik non-kependidikan lain yang sulit bersaing di kompetensi akademik intinya untuk menjadi guru. Menjadi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan segala jaminan fasilitas gaji, kenaikan pangkat, tunjangan, pemberian cuti, dan jaminan hari tua bukanlah sebuah pekerjaan yang sulit.
Tujuan individu untuk bekerja akhirnya berubah, dan menjadi biang keladi jual beli jabatan guru agar bisa diangkat menjadi PNS. Tujuan ini tidak berdiri tanpa ikatan dengan faktor lain dan tentunya bersifat sosiogenetis. Ia lahir dan dipengaruhi oleh pola pikir dari lingkungan tempat individu itu berada dan membentuk tatanan sosial dan hubungan antarpribadi, antarkelompok, atau nilai-nilai sosial, dan aturan-aturan.
Namun di lain sisi, orang lupa bahwa pada umumnya motivasi sosiogenetis ini mempunyai sifat siklus (melingkar), yaitu motivasi timbul, memicu perilaku tertuju pada tujuan, dan akhirnya setelah tujuan tercapai, motivasi itu berhenti. Motivasi ini kemudian tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja yang membuat pekerja merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kreativitas kerja, serta tepat waktu penyelesaian pekerjaannya.
Hasilnya adalah terjadinya pembodohan secara sistematis, dan pembelajaran yang tidak mengajar, tidak mendidik, dan tidak berkualitas. Ruang kelas tidak lagi menunjukkan wajah masa depan Indonesia karena guru tidak mengetahui potret masa depan dan tidak bisa membentuk potret masa depan bangsa. Di sinilah pemerintah gagal memahami konsep bahwa cara pemerintah memperlakukan gurunya adalah cermin cara pemerintah memperlakukan masa depannya.
Debirokratisasi Guru
Guru menjadi kunci utama kualitas pendidikan dan inti dari proses pendidikan. Guru memerlukan kepercayaan, otoritas kultural dan sosial, serta legitimasi ketika ia menjalankan tugasnya. Mengajar harus dimaknai sebagai sebuah kegiatan yang kompleks, yaitu pengintegrasian tujuan yang hendak diperoleh, ilmu yang ingin diajarkan, subjek didik, fasilitas dan lingkungan belajar, kebiasaan dan wawasan guru tentang dunia pendidikan dan misinya sebagai pendidik.
Pengintegrasian ini membutuhkan figur guru yang sahih dan teruji. Membeli jabatan guru tidak menjadi jaminan penciptaan figur guru yang mampu mengintegrasikan keterampilan tersebut. Oleh karena itu, perlu ditempuh berbagai langkah konstruktif (ikhtiar) agar guru kembali pada posisi sosialnya sebaga profesi mulia dan bebas kepentingan birokratis.
Sudah saatnya pemerintah berhenti mengintervensi rekrutmen guru kontrak daerah atas nama birokrasi dan harus melegitimasi sekolah untuk melakukan perekrutan guru berbasis jumlah jam mengajar dan rombongan belajar. Sekolahlah yang lebih mengetahui jumlah guru yang dibutuhkan di dalam sekolahnya sehingga selain tidak terjadi perekrutan guru yang tidak kompetitif, juga tidak terjadi penumpukan guru mata pelajaran tertentu.
Sekolah harus terhindar dari birokratisasi profesi guru. Tidak boleh ada guru berbasis Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, asalkan punya kenalan Dinas atau pejabat, asalkan punya uang ratusan juta rupiah, maka akses masuk jadi guru juga mudah. Selain itu, masyarakat harus diubah cara pandang tentang guru dan wajib membantu pemerintah mengontrol pengetatan penerimaan guru kontrak daerah.