Mendidik Anak Agar Jadi Orang

Pemulung Putus Sekolah 'Cuci Otak' Anaknya di Tempat Sampah

Mencari makanan sisa dan barang-barang rongsokan. Buruan pertamanya di Perumahan Lopo Indah Permai Kupang. Ada sekitar 10 tempat pembuangan sampah

Penulis: Benny Dasman | Editor: Ferry Ndoen
Benny Dasman
TRIBUNNEWS/BENNY DASMAN SIAP DIJUAL-Yohanes Dhosa berpose dengan latarbelakang barang-barang rongsokan yang dikumpulkannya setiap hari di tempat-tempat sampah. Dibungkus dengan kantong plastik, rongsokan dan botol-botol bekas air mineral ini siap dijual. Uang hasil jualan digunakan untuk menghidupi keluarga dan biaya sekolah anak-anak. 

Entah apa yang bakal dilakukan anaknya nanti, asalkan pekerjaan itu halal, dengan sepenuh hati Om Yan mendukung dan senantiasa mendoakan agar sukses. Om Yan tidak membagi ilmu, apalagi harta, tetapi kata-kata motivasi biar tancap di kepala anak-anaknya. Petuah dan didikan sang ayah, mulai 'berbuah' dalam diri sang anak. Bonny Dhosa tak malu terlahir dari orangtua pemulung. Ia menjadi atlet berprestasi di sekolahnya. Pernah mewaliki Kota Kupang mengikuti kejurnas karate antarpelajar di Surabaya. Bonny pun bangga. "Meski pemulung, saya bangga bapak dan mama, karena mereka saya bisa naik pesawat ikut kejuaraan karate," ujar Bonny sambil menatap ayah dan ibunya. "Dulu kalau mulung, saya larang kamu dan Edwin pakai sandal supaya kuat. Sekarang kamu nikmati hasilnya," timpal Om Yan sambil mengingatkan Bonny agar tetap rendah diri. Jangan sombong. "Ingat filosofi sampah, dicari orang karena berguna," pungkas Om Yan.

Om Yan lahir dari keluarga miskin. Yatim piatu, ditinggalkan orangtua yang ke alam baka ketika berusia lima tahun. Ia pun tinggal bersama keluarganya di Ende. Tahun 1992, hijrah ke Kupang, mulai membuka lembaran hidup baru, memulung. "Pada tahun itu hanya saya yang bekerja sebagai pemulung di Kota Kupang. Sekarang sudah banyak," terang Om Yan.

Om Yan dan keluarganya kini tinggal di gubuk sederhana seluas 4 x 3 meter di Kolhua. Beratap daun lontar, berdinding seng-seng berkas berlubang. Di dalamnya ada ruang tidur keluarga dan ruang tamu yang juga sebagai ruang tidur anak-anak. Terdapat dua ranjang bambu yang mereka gunakan untuk tidur di malam hari dan bercengkerama di sore hari usai 'berkantor.' Dapur berada di luar gubuk, di bawah pohon, tak berdinding, beratap alang-alang. Terdapat tungku masak dan peralatan dapur, juga barang rongsokan.

Di sinilah sang istri, Erna, 'meracik' kembali makanan sisa yang masih layak dimakan, memasak umbi-umbian, jagung, dan sayur hasil dari kebun di sekitar gubuk. Lahan kebun itu milik orang lain yang berbaik hati kepada mereka. Om Yan diizinkan membangun gubuk di lahan itu dan menggarapnya. Untuk menambah penghasilan, Om Yan memelihara babi kepunyaan orang lain dengan sistem bagi hasil. Makanan sisa yang dicari untuk makanan babi. Hasilnya cukup lumayan.

Meski demikian Om Yan tidak meratapi nasibnya. Di gubuk itu ia membagi cinta dan mendidik anak-anaknya. Pada malam hari ia selalu meluangkan waktu untuk mendampingi anak-anaknya belajar setelah sore hari 'sekolah' di tempat sampah. Hanya sebuah bola lampu 10 watt yang menerangi, itu pun ditarik dari tetangga.

"Malam hari saya duduk mendampingi anak-anak belajar. Tidak berkata apa-apa karena saya juga tidak tamat SD. Saya hanya bilang kepada mereka setiap malam, harus rajin belajar. Jangan jadi pemulung seperti bapak-mama lagi. Harus lebih dari itu. Pokoknya mengulangi apa yang saya sampaikan tatkala saya dan mereka 'sekolah' dan 'berguru' di tempat sampah. Tak lebih dari itu," pungkas Om Yan. (benny dasman)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved