Solusi bagi Pemda untuk Meraih Opini WTP
Ketika kita berbicara tentang pengelolaan keuangan daerah yang baik, maka yang menjadi ukurannya adalah opini
Oleh Lagabus Pian, S.Sos, M.Si
Alumnus MEP UGM Jurusan Manajemen Aset dan Penilaian Properti, PNS pada Pemerintah Kota Kupang
POS KUPANG.COM - MELALUI tulisan ini, saya ingin memberikan masukan bagi semua pejabat pengelola keuangan daerah di NTT untuk mengidentifikasi faktor-faktor penghambat dan berusaha melakukan perbaikan demi mewujudkan pengelolaan keuangan yang baik sehingga dapat meraih opini WTP.
Ketika kita berbicara tentang pengelolaan keuangan daerah yang baik, maka yang menjadi ukurannya adalah opini atas laporan keuangan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor atas laporan keuangan pemerintah menetapkan empat kategori penilaian terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yakni Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau Disclaimer.
Data dari BPK menunjukkan bahwa sejak Tahun 2005-2015, di Nusa Tenggara Timur belum pernah ada Pemerintah Daerah (Pemda), baik Pemerintah Provinsi NTT maupun 22 Pemerintah Kabupaten/Kota yang ada, belum pernah memperoleh Opini WTP dari BPK. Mudah-mudahan dalam tahun 2016, ada daerah di NTT yang mampu mencapai prestasi WTP. Pertanyaannya, apakah yang menyebabkan opini WTP menjadi barang langka di NTT?
Bukan Barang Langka
Opini WTP merupakan hasil penilaian terbaik oleh Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pengelolaan keuangan suatu daerah selaku entitas pelapor pada satu tahun anggaran. Opini WTP merupakan ukuran bahwa suatu daerah telah melakukan praktek pengelolaan keuangan secara baik dan benar.
Opini WTP bagi daerah sangat penting sehingga Kementerian Keuangan RI menjanjikan insentif yang cukup besar bagi setiap daerah yang mampu meningkatkan kualitas laporan keuangannya hingga opini WTP. Semua pemda memiliki peluang yang sama untuk dapat meraih opini WTP. Tinggal bagaimana pemda melakukan pengendalian terhadap seluruh proses pengelolaan keuangan daerah.
Sulitnya Pemda di NTT memperoleh opini WTP dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pertama, kelemahan dalam pengelolaan aset tetap yang meliputi: tidak menyajikan informasi aset tetap sesuai standar yang telah ditetapkan, aset tetap tidak didukung catatan/data, penatausahaan aset tetap tidak memadai, belum dilakukan Inventarisasi dan Penilaian, aset tetap tidak diketahui keberadaannya, aset dikuasai pihak lain dan aset tetap belum didukung bukti kepemilikan. Masalah lain mengenai aset tetap yang perlu mendapat perhatian adalah pengamanan aset tetap yang meliputi pencatatan dan pengamanan fisik.
Hal ini disebabkan oleh aparatur pemda di bidang pengelolaan aset tidak secara sungguh-sungguh menerapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah serta kurangnya disiplin aparatur dalam mengelola aset daerah sehingga nilai laporan aset yang disajikan dalam LKPD tidak menggambarkan kekayaan pemda yang sesungguhnya.
Kedua, pengelolaan keuangan yang tidak taat asas. Pengelolaan keuangan seharusnya dilaksanakan berdasarkan asas tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Ketidaktaatan terhadap asas tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti timbulnya kerugian keuangan negara/daerah, penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan dan ketidakefektifan.
Kerugian negara/daerah dapat berupa kekurangan volume pekerjaan/barang, kelebihan pembayaran, belanja tidak sesuai atau melebihi ketentuan, biaya perjalanan dinas ganda dan atau melebihi standar yang ditetapkan, belanja perjalanan dinas fiktif, pembayaran honorarium ganda dan atau melebihi standar yang ditetapkan, penggunaan uang/barang untuk kepentingan pribadi dan belanja atau pengadaan fiktif lainnya.
Ketiga, kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) meliputi kelemahan dalam Perencanaan dan Penganggaran, Pelaksanaan APBD, Pelaporan, Pertanggungjawaban APBD, Pengawasan dan Pengelolaan aset daerah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dari pejabat Pemda terhadap SPI sehingga tidak menganggap bahwa SPI dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas pengelolaan keuangan dan aset daerah. Di sisi lain, SPI sangat dibutuhkan oleh Pemda untuk meyakinkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) bahwa apa yang menjadi tujuan dan cita-cita pemda dapat diwujudkan.
Keempat, tindak lanjut terhadap temuan BPK tahun sebelumnya yang tidak tuntas. Hal ini disebabkan oleh belum optimalnya peranan Majelis Pertimbangan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (MP-TPTGR) dalam menindaklanjuti setiap temuan pemeriksaan maupun laporan hasil pemeriksaan BPK.
Langkah Strategis
Terhadap kendala dan permasalahan tersebut di atas, beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan, antara lain: pertama, meningkatkan kualitas SDM di bidang pengelolaan keuangan dan aset daerah.
Hal ini dapat ditempuh melalui beberapa cara yakni: a) penempatan pejabat yang berkompeten di bidang pengelolaan keuangan dan aset daerah; b) peningkatan kemampuan pejabat yang ada melalui pendidikan, pelatihan, studi banding dan magang sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara baik dan bertanggung jawab; c) menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan keuangan daerah yang baik dan benar; d) membangun komitmen bersama antara pimpinan daerah (kepala daerah dan DPRD), seluruh pejabat struktural dan fungsional serta seluruh pegawai, untuk berupaya secara bersama-sama mewujudkan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Peningkatan kualitas SDM harus mampu menghasilkan SDM yang inovatif, kreatif dan memiliki kompetensi dan integritas di bidang pengelolaan keuangan dan aset daerah.