Jumat Agung

Di mana letak keagungannya? Ketika Ia diadili, tak satu kesalahan pun ditemukan pada-Nya

Editor: Dion DB Putra
kompas.com/Budy Setiawan Kontributor Kompas Tv Manokwari
Ratusan Umat Katolik dari gereja Imanuel Sanggeng, Manokwari, Papua Barat, Jumat (25/3/2016), mengikuti proses Jalan Salib, dalam memperingati Jumat Agung. 

Oleh Pdt. Yuda D. Hawu Haba, M.Th
Bagian Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Sinode GMIT -BPPPPS

POS KUPANG.COM - Pada hari Jumat, 25 Maret 2016, kita (umat kristiani) di segala tempat dan segala waktu akan merayakan Jumat Agung. Bagaimana kita memahaminya? Jumat Agung adalah hari Jumat sebelum Paskah, sebagai hari peringatan akan Penyaliban Yesus Kristus dan kematian-Nya di atas bukit Golgota yang diperkirakan terjadi pada tahun 33 Masehi.

Di mana letak keagungannya? Ketika Ia diadili, tak satu kesalahan pun ditemukan pada-Nya, namun hukuman itu tetap dijalani-Nya. Di hari Jumat, Yesus tergantung di salib yang hina. Puncak penderitaan-Nya adalah Yesus dihina dan dilecehkan oleh orang-orang yang menyalibkan-Nya. Yesus rela mati di atas kayu salib. Ia diperlakukan sebagai penjahat kelas kakap.

Namun Ia tidak marah, menggerutu atau menyalahkan serta balas dendam terhadap mereka yang menyalibkan-Nya. Di atas kayu salib, ada tujuh perkataan terakhir dari Yesus Kristus yakni: pertama, 'Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat' (Lukas 23:34); kedua, 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus' (Lukas 23:43);

ketiga, 'Ibu, inilah, anakmu!' (Yoh. 19: 26, 27); keempat, 'Eli, Eli, lama sabakhtani?' artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat. 27:46); kelima, 'Aku haus!' (Yoh. 19:28b); keenam, 'Sudah selesai' (Yoh. 19:30a); ketujuh, 'Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku' (Luk.23:46). Sesudah berkata demikian, Ia menyerahkan nyawa-Nya.

Sebelum peristiwa kematian-Nya pada hari Jumat, alangkah baiknya kita memahami kisah Yesus pada hari-hari sebelumnya. Menurut Leksionari, hari-hari tersebut adalah:

Pertama, Rabu Abu. Meskipun Rabu Abu lebih banyak dirayakan oleh umat Katolik, namun ada baiknya kalau kita memahaminya. Rabu Abu adalah hari pertama pembuka masa pra Paskah, yakni masa pertobatan, perkabungan, introspeksi diri, pendekatan diri kepada Tuhan dan 'berpuasa'. Secara umum dalam tradisi Israel, abu melambangkan kefanaan manusiawi (Kel. 3:19; 18:27), agar manusia menyesali diri dan bertobat (Yos. 7:6; Sam. 13:19; Est. 4:3; Ayb. 2:12; Yes. 58:5-7; Yeh. 27:30; Dan. 9:3; Yun. 3:6; Yoel 2:12-13; Mrk. 1:15). Sejak abad ke-4 hingga abad ke-10, istilah Rabu Abu belum muncul.

Semula hari Pra Paskah pertama jatuh pada hari Minggu caput quadragesima, bukan sebelumnya. Namun jumlah hari berpuasa menjadi tidak genap empat puluh hari, hanya 36 hari. Maka pada abad ke-6, masa Pra Paskah dimulai sejak hari Rabu [tetapi belum disebut], sehingga jumlah hari puasa menjadi genap empat puluh hari.

Lambat laun, gereja memperpanjang masa Pra Paskah hingga beberapa hari Minggu sebelumnya. Menjelang abad ke-8 di Roma, Pra Paskah mulai dilakukan pada quinquagesima [lima puluh hari, hari Minggu ke-7 sebelum Paskah], sextagesima [enam puluh hari, hari Minggu ke-8 sebelum Paskah], dan septuagesima [tujuh puluh hari, hari Minggu ke-9 sebelum Paskah], sebelum hari Rabu. Setelah hari Rabu itu, hari-hari selanjutnya: Kamis, Jumat dan Sabtu, difokuskan sebagai hari Yesus Teladan umat beriman, berpaling kepada Allah dan mengikuti-Nya, berpuasa, derma, dan menghayati jalan salib.

Keempat hari tersebut diisi dengan pelatihan-pelatihan spiritualitas. Setelah Konsili Vatikan II, masa Pra Paskah disederhanakan, Pra Paskah dimulai sejak Rabu Abu hingga Kamis Putih. Namun Rabu Abu, dengan menaburkan abu, baru dilakukan secara resmi pada abad ke-13. Sebagian gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini memulai Pra Paskah dengan quinquagesima.

Penggunaan abu berangsur-angsur baru terjadi pada akhir abad ke-11 hingga abad ke-13, dari Rhenish ke Italia dan Roma oleh Paus sendiri. Paus Urbanus II dalam Sinode di Benevento (1091) merekomendasikan penggunaan abu di setiap gereja. Beberapa saat kemudian muncul doa-doa mengiringi penaburan abu, imam dan laki-laki menaburkannya di atas kepala, perempuan membubuhkannya di dahi. Dari manakah abunya diperoleh?

Pada abad ke-12, pertama kali abu diambil dari daun palem yang dikeringkan sejak Minggu Palem setahun sebelumnya. Inilah sebabnya banyak orang Kristen meletakkan daun Palem yang dibawanya dari Minggu Palem di patung salib di rumahnya. Penggunaan abu sebagai tanda pertobatan dan perkabungan sebelumnya terbatas pada ritus pribadi. Bahkan hingga tahun 1970, penaburan abu dilakukan sebelum kebaktian. Baru kemudian, abu ditaburkan kepada umat, setelah Injil dan khotbah dengan formula "ingatlah, kamu adalah debu dan akan kembali kepada debu" (Kej. 3:19), atau -di zaman modern digunakan -"bertobatlah dan percayalah kepada Injil" (Mrk.
1:15); masuk dalam liturgi firman.

Kedua, Kamis Putih. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Kamis Putih pun lebih banyak dirayakan oleh umat Katolik. Meski demikian, penting untuk kita memahaminya. Sehari sebelum Yesus disalibkan pada hari Jumat, berarti hari Kamis, di Taman Getsemani, Yesus menyerahkan diri-Nya untuk ditangkap. Ia telah mempraktikkan apa yang selama ini telah diajarkan kepada para murid-Nya. Ketaatan secara total dalam pengabdian kepada Bapa, untuk menjalankan kehendak-Nya, menunjukkan pelayanan yang menyentuh kepada manusia sebagai hamba yang melayani sekaligus berkorban bagi manusia.

Pola pelayanan Yesus nampak ketika Ia membasuh kaki para murid-Nya satu demi satu. Suatu teladan indah telah ditinggalkan Yesus. Ini tidak hanya berhenti sekadar menjadi kenangan, tetapi harus diteruskan oleh setiap orang yang menyebut diri-Nya murid Yesus.

Di mana pun dan kapan pun, pelayanan yang kita lakukan sekarang harus mengacu kepada teladan Yesus, yang mau merendahkan diri dan menempatkan diri seperti hamba. Prinsip dalam pelayanan adalah selalu siap sedia dan bersiaga bagi mereka yang membutuhkan tanpa membedakan satu dengan yang lainnya (status sosial, suku, dan agama).

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved