Wawancara Sejarawan Asvi Warman Adam : Supersemar Mungkin Blunder Bung Karno

Polemik mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 tidak hanya berkutat pada misteri keberadaan surat itu secara fisik

Editor: Rosalina Woso
KOMPAS.COM/KRISTIAN ERDIANTO
Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, saat menghadiri sebuah diskusi mengenai Supersemar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (10/3/2016). 

Setelah Supersemar diterima Soeharto? Kemungkinan yang menyimpan itu Soeharto sendiri atau ada orang lain?

Tadi kan prosesnya, Supersemar dibutuhkan untuk konsep pembubaran PKI. Artinya pernah dibawa ke tempat Sudarmono. Dikatakan di sana dilakukan penggandaan. Tidak ada mesin fotokopi, artinya penggandaan itu diketik ulang.

Karena diketik ulang atau dengan stensil, sangat masuk akal terjadinya perubahan-perubahan ketika orang mengetik ulang. Aslinya dua halaman, tapi digandakan jadi satu halaman. Kotanya kemudian berbeda Jakarta dan Bogor karena penulisan kembali.

Informasi soal penggandaan didapat dari siapa?

Dari biografi Sudarmono dan Moerdiono. Mereka mengatakan digandakan. Moerdiono mengatakan tidak melihat penggandaannya karena dia masih Kapten jabatannya.

Ada versi lain perekaman Supersemar?

Ada versi yang lain dari anak buah Ali Moertopo dari Polaroid. Tapi saya sendiri tidak pernah lihat aslinya yang Polaroid. Tapi ada upaya pengakuan itu.

Selain mereka, ada jendral juga yang ikut mengkopi tapi saya lupa namanya, entah Sularso atau siapa. Ada kemungkinan yang memegang surat itu dia dan menyampaikan pada Sudarmono.

Pada saat itu apakah Badan Arsip Nasional sudah ada?

Badan Arsip Nasional sudah ada. Di dalam situasi seperti itu, yang gawat itu, tidak terpikirkan untuk mengarsipkan hal itu. Tahun 1998 baru Arsip Nasional melakukan hal positif itu. Arsip Nasional langsung meminta pada Setneg itu surat Soeharto menyatakan berhenti jadi Presiden.

Jadi surat asli Soeharto berhenti ada di arsip. Itu sangat penting karena di buku-buku Soeharto ditulis mengundurkan diri. Kenyataannya tidak. Soeharto menyatakan berhenti menjadi Presiden. Itu kan beda.

Secara hukum, kalau ia mengundurkan diri. Ia harus mengajukan surat pengunduran diri kepada MPR dan diterima atau tidak. Tapi kalau ia menyatakan berhenti. Ya sudah saya berhenti dan itu suratnya ada. Disimpan dengan penjagaan berlapis-lapis. Itu belajar dari kesalahan Supersemar.

Ada versi yang menyebut bahwa Soekarno ditekan untuk mengeluarkan Supersemar, bahkan ditodong senjata api. Ada kemungkinan itu?

Saya menggunakan istilah "ditekan" bukan "dipaksa". Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana ada pasukan Tjakrabirawa, ring 1, ring 2, dan ring 3. Prajurit yang tidak ada hubungannya dengan Presiden, tidak akan masuk ke Ring 1.

Jadi tidak mungkin juga ada jenderal yang berani menodong Soekarno. Saya juga tidak yakin Panggabean (Mayjen Maraden Panggabean) itu berani. Jadi tidak dipaksa, tapi ditekan. Istilah yang tepat adalah ditekan. Tidak hanya oleh tiga orang jendral, tapi oleh serangkaian kejadian dan peristiwa yang menyebabkan Soekarno tidak punya pilihan lain selain Soeharto.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved