Erotika dan Romantisme yang Berlalu di Bemo Kota

Kedua, jauh lebih penting ialah kita disuguhi tulisan dari yang bernada religius hingga porno, dari foto

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/NOVEMY LEO
ilustrasi 

Oleh Marsel Robot
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Undana

POS KUPANG.COM - Setiap kali kita mengendarai angkutan kota (angkot) di Kota Kupang, minimal mendapatkan dua hal. Pertama, kita akan memperoleh hiburan gratis, menikmati lagu yang mendayu-dayu sepanjang perjalanan hingga tujuan. Bagai berada dalam ruang pesta yang sedang berjalan, meski terkadang gaduh dan amat mengganggu.

Kedua, jauh lebih penting ialah kita disuguhi tulisan dari yang bernada religius hingga porno, dari foto atau gambar kudus hingga gambar norak atau vulgar terpampang pada badan angkot. Tak pelak, angkot tidak sekedar mengantar penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain, tetapi juga menghantar makna sepanjang jalan.

Sepanjang perjalanan dengan angkot itu, tercium semacam aroma tengik sosiologis yang kita dapat dari bangkai, kata, frasa, atau kalimat seperti: (1) nona manis-manis bikin diri ke WC umum, (2) enak di mana lingkar di situ, (3) jangan ngaku ganteng kalau belum pacar dengan janda, (4) cium b dow, (5) badongko telanjur hancur, (6) B boleh setia dengan u setengah mati, u bakaringat dengan orang laen, (7) kalau pacar hanya mau paha dan dada, pacaran dengan KFC saja. Dan masih banyak lagi tulisan jenis gituan pada angkot di kota ini.

Tulisan-tulisan itu ditampilkan secara menarik melalui pilihan huruf, berwarna, vitur-vitur visual yang unik seperti gadis setengah telanjang, adegan berciuman, berpelukan dan seterusnya. Sengaja ditonjolkan melalui berbagai piranti tekstual agar orang merasa perlu membaca tulisan tersebut. Sebuah strategi tekstual guna mendesak pembaca melegokan perhatiannya memaknai pesan di balik fenomena verbal dan nonverbal itu.

Pertanyaan reflektif datang mengepung pikiran kita ialah, mengapa kota yang dijuluki seribu gereja ini demikian norak oleh tulisan di angkot? Seberapa kuat daya jangkit semboyan Bapak Wali Kota, "Kupang Kota Kasih" ke dalam pengetahuan dan sikap warga kota ini? Ataukah fenomena ini sebentuk pelampiasan rasa erotis yang tak tertahankan dari anak muda di kota ini? Mungkin pula romantika kemanusiaan sedang perlahan pergi bersama senjakala peradaban dan perlahan menyorong pratik-prakatik etik di ruang publik ke dalam petikemas pragmatisme, lalu perlahan diangkut ke masa lalu?

Terserah, Anda memilih menjawab pertanyaan yang mana, atau Anda merumuskan pertanyaan lain yang lebih spesifik sesuai dengan perspektif Anda.

Cinta dan Romatisme yang Berlalu
Tradisi melukis dan menulis pada dinding, pada tembok atau pada sarana lain di ruang publik muncul pada zaman Romawi kuno. Lukisan dan tulisan itu sebagai bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap kelakuan kerajaan yang represif dan memonopoli kebenaran. Tulisan-tulisan itu bernada sindiran terhadap penguasa.

Suatu hal yang unik dalam tulisan grafiti adalah kreativitas di mana vitur-vitur artistik ditampilkan secara ekspresif oleh penulis. Pembaca tidak hanya memperoleh pesan dari tulisan itu, tetapi juga mendapat kenikmatan keindahan dari corak penulisan dan kombinasi warna untuk menghasilkan efek visual yang menyenangkan.

Fenomena serupa terjadi di angkutan kota di Kota Kupang. Muncul tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang seharusnya tidak layak ditaruh di ruang publik. Tulisan-tulisan dan gambar yang ditunjukkan di atas, tentu saja mengandung muatan dan niatan tertentu. Norman Fairclough (pakar Analisis Wacana Kritis) mengatakan, berbahasa adalah sebuah tindakan (sosial).

Ada unsur kesengajaan untuk dimaknai. Makna sebuah kalimat melebihi kalimat. Artinya, perkara bahasa tidaklah klar kalau bahasa dipahami dalam satuan lingual atau makna yang dikonstruksi secara sintaktik, tetapi bahasa adalah sebuah wacana yang selalu bersifat implikatur (mengandung sekaligus mengundang makna -referensial).

Dalam statusnya sebagai teks, tulisan-tulisan tersebut di atas merepresentasi ideologi tertentu. Artinya, tulisan-tulisan tidak sekedar kelakar anak muda yang lagi galau di persimpangan jalan peradaban sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan yang tidak diketahui. Atau sekedar gara-gara anak muda di aula sejarah yang sedang melakukan perjalanan dari old society menuju modern state. Akan tetapi, yang pasti, fenomena ini sebuah pernyataan atau protes terhadap harkat cinta dalam konteks peradaban modern, suatu proses pencaraian kembali rasa cinta yang ditanggalkan dari romantisme.

Toh, cinta tidak lagi diterima sebagai harkat keagungan manusia dan romantisme dipandang sebagai selendang yang menguatkan rasa dan laku. Sebab, di sana, cinta disusutkan sebagai erotisme yang bersifat insting.

Kita ambil dua contoh tulisan di atas. Frasa "badongko, telanjur hancur." Pemaknaan pada level pertama, kata "badongko" dalam bahasa Kupang biasa dilakukan oleh orang tua terhadap anak. Badongko (menggendong) hanya dilakukan oleh karena rasa kasih sayang yang mendalam sebagaimana seorang ibu menyayangi anaknya. Tetapi, badongko dalam konteks di atas adalah kasih sayang antara dua orang remaja yang sedang jatuh cinta. Kasih sayang muncul sebagai konsekuensi perbuatan (telanjur hancur-sudah kehilangan keperawanannya).

Subjek frasa ini diasumsikan sebagai perempuan yang pasrah dengan keadaannya karena telanjur hancur. Kata hancur bermakna hilang segalanya, rusak dan tak bermanfaat lagi.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved