Erotika dan Romantisme yang Berlalu di Bemo Kota

Kedua, jauh lebih penting ialah kita disuguhi tulisan dari yang bernada religius hingga porno, dari foto

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/NOVEMY LEO
ilustrasi 

Pada level dua, katakan pemaknaan konotatif, perempuan selalu lemah dan sebagai korban cinta. Perempuan diposisikan sebagai manusia yang hanya bisa pasrah dan dijadikan korban pihak laki-laki. Ideologi teks demikian mengimplikasikan bahwa cinta diteima sebagai aktivitas erotis daripada sebuah rasa romantisme yang tumbuh dari kedalaman kolam jiwa. Cinta disorong hingga sampai pada sudut relung-relung pragmatisme.

Demikian pula pada teks kedua, kalau pacar hanya mau paha dan dada, pacaran dengan KFC saja. Teks ini merupakan suatu gaya bahasa satirik untuk menyatakan "pacaran" sekedar keinginan fisik yang diwakili oleh dada dan paha. Kata dada dan paha menjadi kata yang seronok atau jorok karena dihubungkan dengan kata pacaran. Oposisi frasa ini menampilkan tamsil (perumpamaan) "paha" dan "dada" ayam merupakan sajian utama di restoran KFC.

Pemaknaan pada level pertama (denotasi), frasa ini mengadung nasihat bahwa pacaran bukan sekedar mendapat kenikmatan biologis. Selera pacaran demikian diandaikan orang yang makan paha ayam dan dada ayam di restoran KFC. Sekali makan, sekali habis kenikmatan. Sedangkan pada pemaknaan pada level dua (konotasi) mengindikasikan pacaran harus berawal dari rasa simpatik dan merupakan penerimaan secara fisik dan psikologis.

Cinta muncul dari perasaan dan tidak cukup dengan godaan yang bersifat daging (paha dan dada). KFC sebagai simbol kapitalistik dan hedonistik (kenikmatan). Instan dan biologis. Alegori apa yang sedang dituturkan anak muda Kota Kupang melalui tulisan dan gambar-gambar di atas?

Bagi saya, fenomena ini semacam frustrasi ekstensial ketika cinta dilorotkan dari lokus rasa romantis menjadi rasio erotis. Ada yang hilang di antara mereka. Kita percaya bahwa mereka "punya" cukup cinta, tapi hanya sedikit rasa (romantisme). Sebab, tak ada alat ekspresi yang representatif untuk menyalurkan rasa dalam selokan-selokan romantisme.

Hemat saya, fenomena ini merupakan implikasi negatif perkembangan teknologi komunikasi menghadirkan pribadi-pribadi sangar yang miskin rasa romantis, memerosokkan remaja ke lembah material-individualistis, sampai-sampai Tuhan sendirian di tabernakel. Anak muda lalu-lalang tanpa kesopanan dan kepesonaan. Mereka, sebagaimana kita sudah lama menjadi suku cadang barang ciptaan kita sendiri (teknologi komunikasi).

Anak muda kita tidak terbiasa menulis surat cinta, tak lagi menggunakan banyak bahasa cinta untuk menyatakan rasa dan berceritera tentang cinta dan peradaban. Padahal, cinta adalah sebuah peradaban purba yang dinyatakan secara sempurna melalui bahasa (lisan dan tulisan). Ketika mereka berhenti menulis surat cinta, mereka berhenti mengarungi cinta sebagai sebuah peradaban. Ketika ia menulis, berbahasa, maka ia membuka jendela jiwa. Dalam keadaan itu, ia secara total mempersembahkan seluruh hasrat hati dan harkat cinta.

Dewasa ini nyaris tiada lagi yang mencari cinta. Telepon genggam, internet telah merebut rasa lembut dan romantisme dari hatinya. Bahasa tidak lagi mengaransemeni sonata cinta yang merona di lubuk hati. Kalah bahasa tergerus oleh perangkat teknologi modern, maka cinta begitu datar, kering, tanpa alur. Ketika semua itu tak tertulis, dan tak terucap lagi, maka perjumpaan dua insan menjadi sangar dan cinta hanya sekedar rasangan kimiawi (insting erotis).Tetapi anak muda kita terus berjalan tanpa anggur dan rintik,
mungkin juga tanpa selendang dan nyanyian.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved