Lebih dari Sekadar Menghargai
Saya yakin bahwa hal itu merupakan ungkapan dan narasi eksistensialnya. Di balik itu
Oleh Inosentius Mansur
Dosen dan Pemerhati Sosial-politik dari Stipas St. Sirilus Ruteng
POS KUPANG.COM - Kolom 'Salam' Pos Kupang (19/2/2016) menurunkan ulasan menarik: "Perlunya menghargai Gubernur". Ulasan tersebut berkaitan dengan sentilan gubernur pada waktu melantik para bupati/wakil bupati terpilih di Kupang beberapa waktu lalu. Tentu saja gubernur tidak asal bicara.
Saya yakin bahwa hal itu merupakan ungkapan dan narasi eksistensialnya. Di balik itu, secara implisit, gubernur menginginkan agar program liberatif provinsi "disambut" baik oleh kabupaten. Jangan sampai karena hal itu (tidak mau menghargai gubernur) program kabupaten "kontras" dengan program provinsi. Tidak menghargai gubernur tidak saja mendekonstruksi wibawa gubernur, tetapi ditakutkan berdampak negatif bagi rakyat.
Dua Faktor
Ada dua kemungkinan yang menjadi faktor penyebab para bupati/wakil bupati seringkali tidak "menghargai" gubernur. Pertama, otonomi daerah yang memberi otoritas kepada kepala daerah untuk "mengatur" daerahnya tanpa membutuhkan legitimasi provinsi. Di sini, kepala daerah memiliki kedudukan strategis dan diberi kuasa untuk melakukan apa saja asalkan diyakini demi kebaikan rakyat. Bupati/wakil bupati "bebas" mengeluarkan kebijakan tanpa harus "berkonsultasi" dengan gubernur. Otonomi daerah dijadikan sebagai basis legitimasi untuk "menolak" intervensi provinsi.
Kedua, sentimen politik tertentu. Harus diakui bahwa gubernur dengan beberapa kepala daerah merupakan kader dari parpol tertentu. Dampaknya, jika parpol pendukung gubernur dan parpol pendukung bupati/wakil bupati berbeda, relasi mereka pun seringkali "kurang akur". Hal ini diperparah oleh fakta bahwa ada kepala daerah yang pernah "berseteru" dengan gubernur karena merebut posisi nomor satu NTT, tetapi akhirnya kalah. Secara psiko-politik, fenomena seperti ini menyebabkan adanya "sesuatu" yang mengganggu relasi mereka. Saya meyakini bahwa selama ini, faktor politik seperti ini juga telah (pasti) menjadi penyebab retaknya relasi gubernur dan para bupati.
Sinergisitas
Menurut saya, sentilan gubernur itu lebih dari sekadar sikap menghargai. Memang, di satu sisi, hal itu bisa saja "dibaca" sebagai bentuk intervensi destruktif. Jika gubernur mendesak mereka untuk taat kepadanya, itu sama halnya tidak mangakui otonomi daerah. Memaksa para/wakil bupati untuk "mendengarkannya" (menghargainya) sama dengan mendelegitmasi esensi otonomi daerah.
Tetapi di sisi lain, kritikan dan harapan gubernur itu harus ditanggapi secara dialektis, kritis-konstruktif. Semestinya disadari bahwa hakikat kritikannya bukan terletak pada sikap tidak menghargai gubernur, tetapi pada putusnya komunikasi antara provinsi dengan kabupaten yang tentu saja mengorbankan rakyat karena program pembangunan tidak sinergis. Sampai di sini, tepatlah vonis Andreas Kalyvas (2008) bahwa revolusi demokrasi tidak menjamin lahirnya subjek politik yang memiliki "imajinasi" dan pemikiran politik kontemporer.
Buktinya, kesuksesan demokrasi lokal tidak serta merta memunculkan pemimpin rasional. Alangkah sulitnya memproduksi pemimpin rasional yang tidak terjebak dalam aspek rigoristik dan berani menafsir konsep otonomi daerah secara progresif-konstruktif. Kesuksesan demokrasi lokal juga tidak menjamin lahirnya pemimpin yang tahu membuat distingsi antara persoalan politik, persoalan individu dan etika pemerintahan.
Karenanya, keluhan (harapan) gubernur, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, harus direnungkan secara kritis. Otonomi daerah tidak boleh membenarkan tindakan "insubordinasi". Otonomi daerah tak pernah menjadikan daerah "benar-benar" bebas, tetapi selalu dalam keterkaitannya dengan provinsi/pusat. Selain itu, alasan politik mesti dipisahkan dari wilayah birokrasi. Sentimen politik tidak boleh membenarkan adanya sikap tidak menghargai. Provinsi toh masih memiliki wewenang untuk melakukan koordinasi dan intervensi meskipun ruangnya terbatas. Harus diakui bahwa untuk konteks NTT, kabupaten masih membutuhkan sokongan provinsi.
Pembangunan (infrastruktur dan sumber daya manusia) tidak mungkin berhasil jika daerah melepaskan diri dari provinsi. Sebaliknya, hal itu akan terealisasi jika provinsi dan kabupaten berperan secara komplementaris. Jangan sampai hanya karena tidak saling menghargai, program pembangunan liberatif pun menjadi macet.
Akhirnya kita berharap agar aturan otonomi daerah perlu dikaji dan direvisi lagi sehingga pada akhirnya mendukung sinergisitas. Hal ini tidak bermaksud meragukan kemampuan bupati/wakil bupati dalam menjabarkan konsep kemaslahatan bersama, tetapi mengantisipasi munculnya ekses-ekses negatif seperti itu. Revisi juga bukan berarti gubernur diberi kebebasan untuk mengendalikan para kepala daerah, tetapi agar bertanggung jawab dan memberi perhatian konstruktif bagi daerah. Kita menginginkan terwujudnya relasi resiprokal yang berdampak liberatif bagi rakyat.*
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/para-bupati-diilantik_20160217_231534.jpg)