Revolusi di Partai Golkar, Sebuah Otokritik
Konflik di tubuh Golkar dipicu oleh percepatan pelaksanaan Munas Bali (November 2014)
Oleh Melchias Markus Mekeng
Anggota DPR-RI Fraksi Partai Golkar/Dapil NTT-1
POS KUPANG.COM - Energi karya-kekaryaan yang menjadi karakter ideologis Partai Golkar nyaris tak tampak lagi akibat konflik berkepanjangan yang baru saja berakhir. Setahun lebih bukanlah waktu yang pendek untuk masa konflik di sebuah partai selevel Partai Golkar. Lebih setahun itu pula, energi politik Golkar terkuras habis dari dalam tubuhnya sendiri sehingga Golkar pun gagap menghasilkan karya-karya politik kebangsaan.
Konflik di tubuh Golkar dipicu oleh percepatan pelaksanaan Munas Bali (November 2014) di bawah kendali DPP pimpinan Aburizal Bakrie (ARB), yang berakibat pada digelarnya Munas Ancol (Desember 2014) versi DPP pimpinan Agung Laksono (AL). Baik kubu ARB maupun kubu AL sama-sama mengklaim bahwa Munas yang diselenggarakannya bersifat konstitusional, dalam hal ini sesuai amanat AD/ART Partai Golkar.
Kini, kedua kubu telah bersepakat mengakhiri konflik, pasca dikeluarkannya SK Menkumham yang memperpanjang masa tugas kepengurusan DPP hasil Munas Riau 2009. Artinya, secara de jure maupun de facto, tidak ada lagi DPP hasil Munas Bali maupun DPP hasil Munas Ancol. Kepengurusan DPP perpanjangan SK Munas Riau inilah yang berkewenangan menyusun kepanitiaan untuk menyelenggarakan Munaslub, sembari terus berikhtiar menghembuskan rekonsiliasi.
Tulisan ini menyuarakan otokritik terhadap Partai Golkar melalui perspektif baru sekaligus terobosan politik baru, dalam rangka menghidupkan kembali kualitas demokrasi di tubuh Partai Golkar yang telah mati suri akibat konflik berkepanjangan. Berikut ini tiga dimensi dari perspektif dan pendekatan politik baru yang kiranya dapat direalisasikan dalam Munaslub Golkar nanti.
Pertama, hendaknya spirit rekonsiliasi terus-menerus ditumbuhkan. Merunut pada legalitas SK Menkumham yang memperpanjang kepengurusan hasil Munas Riau 2009, maka seyogianya kepesertaan DPD-DPD di Munaslub mengacu pula pada SK DPP Partai Golkar hasil Munas Riau. Dengan demikian, daerah-daerah tidak perlu dan memang tidak boleh mengadakan musyawarah daerah (Musda) hanya untuk mencari legalitas sebagai peserta Munaslub.
Kedua, mengubah ketentuan syarat dukungan minimal dari DPD-DPD terhadap calon ketua umum. Langkah ini perlu dilakukan untuk memperkuat pencitraan Golkar sebagai partai modern yang demokratis, tempat dari mana berbagai terobosan demokrasi kontemporer berasal. Selama ini berlaku ketentuan calon ketua umum didukung minimal 30 persen suara dari DPD ditambah organisasi yang mendirikan/organisasi yang didirikan. Apabila Munaslub kali ini hendak dimaknai sebagai momentum "rekonsiliasi organisasi" sekaligus "pesta demokrasi", maka biarkan saja calon-calon ketua umum maju bertarung tanpa prasyarat dukungan minimal termaksud.
Setiap kader yang mau berkompetisi sebagai calon ketua umum dipersilakan maju dan bertarung secara bebas, sepanjang memenuhi syarat minimum legalitas-formal seperti memiliki kartu anggota Golkar, pernah menjadi pengurus di kepengurusan pusat dan atau daerah, serta bukti sahih administratif kepesertaan Munaslub.
Jika misalnya jumlah kandidat lebih dari tiga orang, maka dapat ditempuh pemilihan dua putaran jika belum mencapai minimal dukungan suara 30 persen. Tetapi, apabila jumlah kandidat sebanyak-banyaknya tiga orang, maka yang berhasil mencapai batas dukungan minimal 50,1 persen, langsung dinyatakan sebagai ketua umum terpilih.
Ketiga, calon-calon ketua umum yang sudah mendeklarasikan dirinya untuk maju bertarung di Munaslub harus pula mendeklarasikan kepada publik bahwa dirinya tidak akan bermain politik uang.
Hal ini mutlak dilakukan sebagai pertanggungjawaban kepada publik bahwa Partai Golkar mampu melahirkan kader-kader bangsa yang berwibawa dalam konteks kepemimpinan negara. Melawan politik uang, kendati tiga langkah terobosan politik tersebut di atas terkesan revolusioner, namun hal itulah yang justru mampu mencegah virus atau penyakit politik uang yang sudah mendarah-daging di tubuh partai.
Calon-calon ketua umum Golkar jangan menghalalkan segala cara atau menggunakan berbagai intrik dan cara kotor, misalnya melakukan gerilya politik ke daerah-daerah dengan modus membeli suara menggunakan politik uang.
Dalam kerangka pertanggungjawaban kepada rakyat mengenai upaya sadar menumbuhkan budaya politik bersih, maka Panitia Munaslub Golkar diharapkan mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi jalannya Munaslub dari kemungkinan praktek politik uang.
Mengingat adanya kemungkinan abuse of power oleh kader-kader Golkar yang juga sedang mengemban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah (provinsi dan kabupaten/ kota).
Bagi kasder-kader Golkar di daerah, khususnya di Provinsi NTT, sebisa mungkin kita harus berani melawan praktek politik uang. Jika hari-hari ini ada calon-calon ketua umum yang turun ke NTT dan membagi-bagi uang kepada DPD-DPD, maka terima saja uangnya dan tidak perlu memilih calon tersebut. Ada ungkapan untuk kategori uang model ini yakni "uang setan yang dimakan jin".