Revolusi di Partai Golkar, Sebuah Otokritik
Konflik di tubuh Golkar dipicu oleh percepatan pelaksanaan Munas Bali (November 2014)
Sudah dapat dipastikan bahwa orang yang mengejar kursi
kekuasaan dengan modus politik uang, maka di kemudian hari dia akan berusaha dengan segala cara mengembalikan modal uang yang sudah dihambur-hamburkan. Apabila nanti Golkar dipimpin oleh ketua umum dengan tipologi orang yang suka berpolitik uang, maka pada saatnya kelak kader-kader terbaik Golkar sekalipun harus membayar untuk bisa memperoleh legalitas organisasi misalnya untuk mengikuti Pilkada maupun Pileg.
Mari kita cermati, hasil Pilkada Serentak 2015 baru-baru ini hanya menempatkan Golkar di posisi ke-9 dari perolehan hasil pilkada di bawah sejumlah partai medioker. Hasil pilkada serentak ini mengkonfirmasikan telah terjadinya kerusakan sistem politik di tubuh Golkar sebagai akibat dari gaya politik transaksional dan praktek politik kotor lainnya. Situasi ini sangat berbeda dengan Golkar di zaman kepemimpinan Akbar Tanjung yang berhasil mencatat sejumlah prestasi membanggakan di mata publik. Mesti diakui, praktek politik uang menjadi faktor pemicu terbesar bagi keruntuhan Golkar. Apabila kondisi ini tidak lekas dibenahi, maka di masa mendatang, khususnya pada momentum Pilkada Serentak 2017 nanti, Golkar bisa saja melorot ke posisi 14 alias paling buntut.
Satu hal lagi, politik uang menjadi subur di tubuh Golkar akibat beban tambahan mencari dana partai kepada pengurus yang sedang menunaikan amanah sebagai pejabat negara. Beban seperti inilah yang membuat kader-kader Golkar tergoda mencari celah korupsi dari jabatan kekuasaan yang sedang disandangnya. Di masa mendatang, Golkar harus menemukan cara lain untuk usaha pengumpulan dana partai, yang mekanismenya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Para pengurus Golkar di daerah hendaknya secara cermat menelisik track record atau rekam jejak dari setiap calon ketua umum yang akan berkompetisi di forum Munaslub. Saya menyarankan agar DPD-DPD memperhitungkan dan mempertimbangkan secara cermat nama-nama calon ketua umum, yang diyakini tidak mendatangkan masalah baru dalam hal pencitraan partai di mata publik. Ini artinya, calon-calon ketua umum Golkar hendaknya merupakan kader-kader yang tidak sedang terjerat oleh masalah hukum dan atau moralitas politik. Jika menggunakan prasyarat yang lazim digunakan oleh Golkar semenjak dahulu adalah kriteria/prasyarat menyangkut aspek PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak tercela).
Misi Kerasulan
Secara khusus saya mengajak kader-kader Golkar di NTT untuk menunjukkan karakter idealismenya dalam berpolitik, bahwa mesti menjadikan partai politik sebagai sarana pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat, bukan sekedar untuk tampil gagah-gagahan karena bisa menggenggam label kekuasaan politik berupa jabatan di pemerintahan maupun di lembaga legislatif.
Kader-kader Golkar di dan dari NTT harus mampu membuktikan bahwa politik adalah bagian dari ziarah idealisme kolektif untuk memuliakan kehidupan masyarakat. Kita mesti yakin sepenuhnya bahwa kader-kader Golkar asal NTT mampu mempromosikan budaya politik yang santun dan bermartabat, baik di level politik daerah maupun di level nasional.
Kader-kader Golkar di NTT mesti memiliki keberanian untuk membuktikan bahwa politik adalah sarana pengabdian dan pelayanan bagi masyarakat menuju tercapainya kesejahteraan umum (bonum commune). Kita mesti menunjukkan bahwa kita bisa menjadikan politik sebagai wahana untuk melakoni misi kerasulan atau tugas-tugas rasuli, sebagai kontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara imaniah kita mesti meyakini bahwa melalui karya-karya politik yang berbasis kemanusiaan, kita pun bisa memuliakan nama TUHAN. Sejatinya, kita harus berani melawan stigma yang telanjur muncul di ranah publik yang menganggap bahwa politik adalah mata pencaharian. Padahal, esensinya politik itu adalah pengabdian, bukan mata pencaharian. Kita harus berani membuktikan bahwa politik adalah bagian dari misi suci (mission sacre) bagi kemanusiaan.
Sehubungan dengan Munaslub Golkar yang segera digelar dalam waktu dekat, kita berharap ketua umum Golkar terpilih mampu memuluskan agenda regenerasi kepengurusan. Mengacu pada saran dan petuah dari sesepuh Golkar yang juga mantan Presiden RI, BJ Habibie, maka sebaiknya ketua umum Golkar mendatang berada di rentang usia 50 sampai 60 tahun. Dengan begitu, seluruh pengurus DPP nanti berada di rentang usia tersebut.
Saran konstruktif Pak Habibie mengandung konsekuensi bahwa kader berusia di atas 60 tahun sudah harus mengambil peran baru sebagai pembina atau penasehat partai, sekaligus sebagai penjaga moral partai. Tentu saja hal ini memerlukan sikap jiwa besar dari kader usianya relatif sudah sepuh/uzur agar secara legawa mengambil langkah minggir dalam rangka membuka jalan baru bagi generasi muda Golkar untuk melanjutkan kiprah dan meraih kembali kejayaan partai.
Batasan usia kepengurusan sejatinya bermanfaat untuk memberikan energi baru bagi Golkar agar "partai beringin" mampu tampil lebih segar dalam hal pemikiran dan karakter politiknya. Dengan begitu, Golkar pun lebih mobile merebut hati kalangan muda di luar pemilih tradisional Golkar selama ini. Batasan usia kepengurusan Golkar harus diimplementasikan pula pada kepengurusan partai di daerah (DPD), bahkan bila perlu lebih progresif ke rentang usia 40- 50 tahun.
Selain mengenai batasan usia, komposisi kepengurusan DPP hendaknya diwarnai pula aspek keseimbangan geo-politik dari perspektif wilayah, agama, gender, dan mazhab pemikiran yakni para kader berlatar kaum aktivis pergerakan, dan kader berlatar organisasi kaum profesional. Keseimbangan psiko-politik semacam ini bersifat niscaya dan tidak terhindarkan, mengingat Golkar merupakan partai kebangsaan yang berbasis kemajemukan Indonesia!*