Pelantikan Kepala Daerah di NTT
Tidak Sekadar Buka Pintu
Kandungan amanatnya cukup jelas terbaca dari judul: Maria Buka Pintu bagi Perempuan NTT.
Apresiasi dan Catatan untuk Maria Geong
Oleh Sil Joni
Pemerhati Masalah Politik, Tinggal di Lancang
POS KUPANGH.COM - Peristiwa monumental pelantikan sembilan paket kepala daerah pemenang Pilkada 9 Desember 2015 yang lalu sudah usai. Jejak signifikansi dari seremoni bersejarah ini terekam dengan baik dalam Harian Pos Kupang. Pelbagai narasi seputar ritual tersebut menjadi berita utama (headline news) dari koran kebanggan publik NTT ini (PK, 17/2/2016).
Ada satu hal yang "menggugah energi diskursus" penulis dari pemberitaan tersebut, yaitu keberadaan Ibu Maria Geong (selanjutnya MG) sebagai wakil bupati Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) terpilih yang dijadikan titik fokus cerita.
Kandungan amanatnya cukup jelas terbaca dari judul: "Maria Buka Pintu bagi Perempuan NTT." Bahwasannya figur MG menjadi pembuka pintu perdana bagi kaum hawa di NTT untuk memegang jabatan prestisius dalam bidang politik di level lokal.
Beberapa pertanyaan kritis bisa diajukan di sini. Apakah pencapaian MG ini sungguh-sungguh menjadi simbol kebangkitan perempuan NTT pada umumnya dan Mabar secara khusus? Pintu seperti apa yang ingin dibuka oleh MG?
Bagaimana suasana ruang politis yang pintunya telah dibuka oleh MG, teristimewa ekspektasi peningkatan derajat dan taraf hidup perempuan? Apakah MG hanya berikhtiar sebagai pembuka pintu belaka dan tidak menjadi tuan atau aktor utama penataan "rumah politik" Kabupatan Mabar?
Layak Diapresiasi
Secara faktual, predikat sebagai pembuka pintu bagi perempuan NTT sulit dibantah. Sejarah politik lokal kita mencatat bahwa pemegang jabatan politis yang elitis dan strategis semuanya dari kaum Adam. MG menjadi perempuan pertama yang sukses meruntuhkan tembok kultur patriarki yang berurat akar di wilayah kita. Ia menjadi sosok pembeda dalam panggung politik yang kerap dimonopoli oleh para lelaki ini.
Terlepas dari motif politik individual, kemauan dan keuletan MG dalam pertarungan menempati kursi kekuasaan patut diacungi jempol. Hanya sedikit perempuan Mabar yang memiliki "ambisi mulia" merenda domain politik lokal yang masih karut-marut.
Segudang persoalan dan problematika membelit wilayah ini. Proyek kesejahteraan tidak berjalan mulus. Aroma kemiskinan, gizi buruk, penyakitan, kualitas pendidikan yang rendah, pejabat publik yang koruptif dan realitas keterisolasian warga begitu menyengat di kabupaten yang menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan (leading sector) ini.
Kemunculan MG dalam pentas politik lokal meniupkan sejumput asa akan perbaikan kondisi murung tadi. Hemat penulis, dengan reputasi akademik yang mengkilat dan ditunjang dengan integritas diri yang relatif baik, tak berlebihan jika MG akan menjadi "mesias" bagi tanah Mabar. Betapa tidak, MG mempunyai kapabilitas mumpuni untuk membawa api perubahan. Wilayah ini membutuhkan sentuhan kefemininan dan kepedulian seorang ibu untuk keluar dari pelbagai kemelut sosial politik yang menderanya.
Secara khusus, persoalan marjinalisasi dan diskriminasi perempuan dalam peta pembangunan mendapat porsi perhatian ekstra. Ibu MG tentu tahu dan bahkan sudah merasakan derita kaum perempuan di Kabupaten Mabar.
Oleh karena itu, julukan pembuka pintu terlampau miskin untuk mengartikulasikan visi politis peningkatan partisipasi perempuan dalam membangun "rumah politik" Mabar yang bermutu. Kita tahu ruang utama dari rumah politik yang pintunya dibuka oleh MG dikerumuni para politisi hipokrit yang mayoritas laki-laki. Kultur politik yang berciri feodal dan paternalis menjadi batu penghalang (stumbling block) pengaktualisasian "talenta politis" yang jenial dari MG.
Fenomena berikut bisa dijadikan justifikasi dari tesis di atas. Pertama, proses pengambilan kebijakan publik di kabupaten ini sarat dengan unsur balas dendam dan balas budi. Para penentu kebijakan (policy maker) yang kebanyakan laki-laki lebih mengabdi kepada pemilik modal (kontraktor) lokal yang turut berjasa terhadap jabatan yang dipegang oleh sang bupati.
Wilayah atau kelompok (umumnya kaum perempuan) yang tidak segaris dalam kompetisi sudah pasti diabaikan.
Kedua, posisi sebagai wakil bupati dalam dua edisi sebelumya selalu mendapat pengalaman yang tidak menguntungkan. Publik sering mendengar "curahan hati" dari sang wakil yang merasa terpinggirkan dalam mengambil pelbagai kebijakan politik. Eksistensi wakil bupati kurang diakomodasi dan diafirmasi dalam bentuk pembagian peran yang proporsional. Kesannya bupati menjadi pemain tunggal dalam menjalankan roda kepemimpinan politik di Mabar.
Ketiga, kelompok kritis sebagai kelompok penekan (pressure group) belum tampil maksimal di kabupaten ini. Implikasi negatifnya adalah menguatnya kultur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Para aparatus negara dengan leluasa berselingkuh untuk menjarah atau merampok uang rakyat. Perhatian terhadap kehidupan perempuan menjadi mustahil.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/maria-geong_20160217_103518.jpg)