Tenaga Kesehatan Terbelenggu Regulasi?

Setelah tamat kerjanya juga sulit, harus punya STR, SIP dan berbagai regulasi lainnya. Benarkah alasan ini

Editor: Dion DB Putra
zoom-inlihat foto Tenaga Kesehatan Terbelenggu Regulasi?
ist
ilustrasi

Oleh Vinsen Belawa Making, SKM, M.Kes
Wakil Ketua Stikes CHMK-Sekretaris Eksekutif IAKMI NTT

POS KUPANG.COM - Tenaga kesehatan merupakan tenaga yang mempunyai peranan krusial dalam khidupan ini, sebab ia berurusan dengan kesehatan, kesakitan, kehidupan dan kematian seseorang. Jadi tidak heran jika ingin menjadi tenaga kesehatan itu sulit. Masuk sekolah sulit, biaya tidak murah, sekolah penuh tekanan, tamatnya juga sulit.

Setelah tamat kerjanya juga sulit, harus punya STR, SIP dan berbagai regulasi lainnya. Benarkah alasan ini sehingga banyak tenaga kesehatan melanggar regulasi? Benarkah pergerakan tenaga kesehatan selama ini terbelenggu oleh regulasi?

Dasar Pijak
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyatakan, tenaga tesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Tenaga Kesehatan dikelompokkan ke dalam: 1) tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis); 2) tenaga psikologi klinis; 3) tenaga keperawatan; 4) tenaga kebidanan; 5) tenaga kefarmasian (apoteker dan tenaga teknis kefarmasian); 6) tenaga kesehatan masyarakat (epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatistik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga); 7) tenaga kesehatan lingkungan (sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiolog kesehatan); 8) tenaga gizi (nutrisionis dan dietisien); 9) tenaga keterapian fisik (fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan akupunktur); 10) tenaga keteknisian medis (perekam medis dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/optometris, teknisi gigi, piñata anestesi, terapis gigi dan mulut, dan audiologis); 11) tenaga teknik biomedika (radiografer, elektromedis, ahli teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik); 12) tenaga kesehatan tradisonal (tenaga kesehatan tradisional ramuan dan tenaga kesehatan tradisional keterampilan).

Setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin. Izin yang dimaksud diberikan dalam bentuk Surat Izin Praktik (SIP). SIP diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat tenaga kesehatan menjalankan praktiknya.

Untuk mendapatkan SIP tenaga kesehatan harus memiliki: Surat Tanda Registrasi (STR) yang masih berlaku (masa berlaku lima tahun), rekomendasi dari organisasi profesi dan tempat praktik. SIP berlaku hanya untuk 1 (satu) tempat dan satu tahun.

Fakta di Lapangan
Terungkap sebagian besar dokter tidak memiliki dan tidak memperpanjang SIP di Kota Kupang. Pada tataran dinas kesehatan sendiri tidak memiliki data yang akurat mengenai berapa jumlah pasti dokter yang melakukan praktik secara "ilegal" ini. Semua saling tuding dan mempersalahkan.

Para dokter yang tidak memiliki izin dan yang izinnya sudah mati tidak pernah merasa bersalah dan tetap melakukan pelayanan seperti biasa. Ada juga yang memiliki izin lebih dari tiga tempat dan dijalankan tanpa komplein padahal dalam aturan jelas SIP hanya berlaku pada satu tempat saja. Memang NTT menjadi salah satu provinsi istimewa dan "boleh" melanggar ini demi nyawa manusia (mengingat dokter spesialis sangat sedikit).

Tetapi apakah kondisi ini terus kita biarkan? Ketika ditanya salahnya ada di mana? Maka jawabannya pun beragam. Ada yang menuding dinas kesehatan tidak becus dalam bekerja. Ada yang melempar kesalahan ini pada organisasi profesi masing-masing karena tidak dapat mengawasi pergerakan para anggotanya.

Ada pula yang mengamini bahwa semua ini karena ulah tenaga medis itu sendiri. Mereka lebih mengejar setoran sehingga tidak memperhatikan lagi norma dan aturan yang berlaku. Apalagi sudah kita ketahui bahwa untuk sekolah saja mereka sudah menghabiskan begitu banyak uang dan saat ini adalah saatnya untuk menarik kembali uang-uang tersebut.

Terlepas dari semua polemik di atas, sebagai manusia kita harus mengakui bahwa tidak ada hal sempurna yang kita lakukan. Semua kita punya kelemahan masing-masing. Ini saatnya bagi kita untuk berbenah.

Melihat kesibukan seorang tenaga kesehatan khususnya tenaga medis, maka sudah tentu sulit bagi mereka untuk mengurus administrasi terkait dengan SIP. Apalagi salah satu syarat SIP adalah harus ada STR. Untuk memperoleh STR harus dilalui rintangan yang tidak ringan. Harus mengumpulkan SKP sekian banyak sesuai tuntutan profesi.

Hal ini mengharuskan para tenaga kesehatan mengikuti berbagai seminar, baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Hal ini tidak berbeda jauh dengan menyiapkan berkas untuk kenaikan pangkat dalam dunia Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Apakah seorang dokter ahli jantung (satu-satunya yang ada di NTT) harus mengikuti berbagai seminar dan peraturan tersebut? Benar bahwa ini untuk menjaga mutu dan kompetensi seorang tenaga kesehatan. Tetapi apakah benar kompetensi seorang tenaga kesehatan dapat diukur dari banyaknya seminar yang ia ikuti? Apakah jam praktik seorang tenaga kesehatan tidak pernah diakui sebagai kompetensi yang dimilikinya?

Hemat saya, hal ini perlu peninjauan kembali oleh semua organisasi profesi dan pihak terkait lainnya, agar tidak terjadi polemik seperti yang terjadi saat ini. Hal yang perlu kita jaga adalah jangan sampai regulasi SIP dan STR menjadi batu sandungan bagi para tenaga kesehatan. Salam Sehat!*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved