Peran AMDAL dan Proyeksi Pembangunan Kota Kupang
Terang saja, selain sebagai Ibu Kota Negara, Kota Jakarta marupakan salah satu lahan urban
Oleh Protasius Tiberius Jehane
Alumnus Undana Kupang, Tinggal di Sleman, Yogyakarta
POS KUPANG.COM - Wacana pencabutan AMDAL belakangan muncul ke permukaan. Beberapa media meliput berita pemerintahan DKI yang berencana melenyapkan salah satu prosedur standar dalam pembangunan fisik ini di Ibu Kota. Terang saja, selain sebagai Ibu Kota Negara, Kota Jakarta marupakan salah satu lahan urban yang sirkulasi ekonominya begitu agresif. Dengan demikian pembangunan fisik seperti infrastruktur yang diakui sentral perannya dalam menumbuhkembangkan ekonomi suatu daerah, menjadi alasan pokok munculnya gagasan tersebut.
Pada periode pemerintahan sebelumnya (yang dipimpin Mantan Gubernur Joko Widodo), terdapat proyek pembangunan infrastruktur yang tidak jarang menemui kecaman warga maupun aktivis. Salah satunya ialah mega proyek pembangunan tol. Alasannya pun cukup beragam. Mulai dari penghindaran terhadap peminimalisiran area produktif masyarakat hingga perlidungan tanah adat. Tak pelak bentuk responsif ini menjadi akumulasi kegeraman Pemerintah Jakarta, yang di satu sisi ingin tampil membuktikan janjinya terhadap masyarakat mengenai penyediaan akses peningkatan ekonomi daerah.
Jika dihubung-hubungkan, pemaparan di atas bisa dijadikan sebagai alasan yang kuat mengapa pemerintah Ibu Kota sangat ngotot terhadap pelemahan terhadap AMDAL atau bahkan dihilangkan sama sekali. Mungkin dengan demikian misi pemerintah bisa berjalan mulus, tentang bagaimana menyejahterakan rakyatnya, bukan segelintir masyarakat tertentu.
Berpijak pada pedoman UU No. 32 Tahun 2009, keberadaan AMDAL sering dikaitkan dengan prosedur pembangunan fisik. Atau dengan kata lain kajian ini perlu diadakan sebelum dimulainya peletakan batu pertama. Mungkin saja rentang waktu yang tidak pendek, bahwa pembangunan baru boleh dijalankan setelah studi ini digelar juga menjadi suatu stigma tersendiri bagi penyelenggara kebijakan. Otomatis dengan demikian program yang sudah dirancang semenjak pembentukan kabinet akan terhambat dengan adanya deadline, apalagi terdapat program yang bergantung dengan rampungya program yang lain.
Bak dua sisi koin, sisi pertama ialah tendensi peningkatan ekonomi dengan cara Pemerintah DKI, yang salah satunya sebagai fasilitator penyedia infrastruktur, dan sisi yang lain penolakan masyarakat tertentu terhadap kebijakan tersebut, karena dianggap akan berdampak pada kegiatan ekonomi mikro.
Mungkin rasanya saat ini, wacana tentang penghapusan AMDAL di DKI ini belum begitu menggelitik bagi daerah-daerah lain, salah satunya Kota Kupang. Namun sebagai salah satu ibu kota provinsi serta daerah urban, jelas hal ini mempunyai pengaruh. Pengenalan tentang AMDAL nampaknya belum begitu dipahami masyarakat luas. Untuk itu masyarakat perlu mengetahui secara mendalam apa itu AMDAL dan sistem kerja serta dampaknya terhadap pembangunan daerah ke depannya. Berikut pemaparan singkat tentang peran AMDAL terhadap kondisi Kota Kupang.
AMDAL adalah singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Hakekat studi ini digelar sebelum dibangunnya sebuah gedung, kegiatan, jenis usaha atau apapun yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup di sekitar area pengadaan. Pada umumnya isu-isu yang menjadi fokus dari penelitian ini ialah lingkungan fisik daerah sekitar proyek.
Hal-hal seperti saluran air tanah, biota, udara dan sebagainya, menjadi pokok dalam studi ini. Salah satu contoh ialah rencana reklamasi di Bali belum lama ini. Di sana studi AMDAL digelar untuk mengetahui perubahan iklim bawah air yang terjadi jika dilaksanakannya reklamasi. Tentu saja hal ini besar dampaknya bagi biota laut sekitar daerah pembangunan.
Bagi aktivis lingkungan penghapusan terhadap AMDAL ini merupakan kabar buruk. Begitu juga dalam Pemerintahan Jokowi saat ini, satu-satunya kementerian yang belum menunjuk tangan untuk setuju dengan gagasan ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (metro.sindonews.com, 22/1/2016). Hal ini seakan membuktikan bahwa fungsi AMDAL hanyalah sebatas melindungi hak-hak lingkungan fisik, dan cukup sampai di situ. Jika memang demikian, pandangan ini keliru.
Penggunaan AMDAL sudah dilakukan sejak dulu dan masih terus dievaluasi lalu kemudian direvisi hingga kini, bahkan di Negara maju sekalipun. Prinsip penggunaan AMDAL ini pada dasarnya sangat erat dengan kesejahteraan penduduk yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu perannya sangat kompleks.
Menurut PP No. 27 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa pengertian AMDAL adalah kajian atas dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. Setelah direvisi nampaknya ada yang hilang di sana, yakni "dampak besar". Penggunaan frasa "dampak besar" tidak lagi disertakan dalam UU No. 32 Tahun 2009.
Pengertian dampak besar sebenarnya bisa diartikan penggunaan AMDAL tidak sekadar hanya mengenai lingkungan fisik, melainkan juga kehidupan sosial, budaya, serta ekonomi masyarakat setempat. Dengan kata lain, AMDAL adalah kajian yang mendukung pembangunan berkepanjangan (sustainable).
Kota Kupang merupakan daerah perkotaan yang terletak di kawasan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Terlepas dari statusnya sebagai ibu kota provinsi, kota ini menjadi pusat pemukiman yang sangat strategis bagi masyarakat perantau dalam mencari nafkah. Dengan kata lain, Kota Kupang merupakan daerah prioritas urbanisasi di Provinsi NTT.
Dalam Renstra tahun 2013, Kota Kupang ditetapkan sebagai salah satu kawasan Pusat Kegiatan Nasional (PKN), yang artinya bahwa Kota Kupang diharapkan dapat berfungsi sebagai: (1) simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional; (2) pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau melayani beberapa provinsi; dan (3) simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi. Secara strategis peta ekonomi Kota Karang tidak jauh berbeda dengan Jakarta, dimana sendi-sendi ekonominya juga turut bergantung pada bermacam industri. Salah satu contohnya adalah industri pariwisata.
Industri pariwisata juga turut dijadikan sebagai salah satu andalan dalam alat peningkatan PAD Kota Kupang (Renstra Kota Kupang, 2013). Selain itu juga pariwisata menjadi menarik untuk dibahas karena kompleksitasnya. Pariwisata tidak hanya sekadar melakukan perjalanan ke suatu tempat dan sebagainya, bukan juga hanya tentang devisa. Di dalamnya juga terdapat pertarungan antarkelas. Salah satunya yang paling umum adalah persaingan antara pelaku usaha mikro yang dijalankan oleh masyarakat host (bermukim di area destinasi) yang mewakili kelas bawah, dengan pelaku usaha makro yang dijalankan oleh NGO (non government organization) dalam hal ini para investor (berasal dari luar) yang bisa dibilang mewakili kelas atas.
Jika ditimbang dari sisi pemangku kepentingan, dua entitas ini sama-sama mempunyai hak yang sepadan sebagai stakeholder. Namun siapakah yang paling mendominasi dan yang didiskreditkan, itulah yang perlu dibahas mendalam. Isu tentang persaingan keduanya juga menjadi isu yang paling sering diangkat dalam studi pariwisata di berbagai belahan dunia.
Pembangunan akomodasi yang berlabelkan privatisasi sangat sering dijumpai di sebuah destinasi wisata.
Masalah substantif yang kemudian dikhawatirkan dari pelemahan terhadap kajian AMDAL adalah kecolongan. Takutnya pembangunan infrastruktur ini akan menjadi salah diinterpretasikan. Tujuan peningkatan ekonomi akan menjadi ambigu jika pada realitasnya kelak yang akan diturutsertakan jenis kegiatan yang kepentingannya justru berbanding terbalik dengan tujuan mulia Pemerintah tersebut. Sebut saja bangunan yang tujuannya privat, yang kemudian akan melemahkan sektor ekonomi mikro. Hanya karena bermodalkan membayar pajak dan dapat menyerap tenaga kerja yang perbandingannya 1 dari 50 orang, dinilai kompeten untuk diloloskan dari regulasi.
Bukan mau menyalahkan pemerintah, saya hanya mau mengingatkan bahwa memang pada umumnya masalah seperti ini awalnya lahir dari perizinan. Mungkin karena keterbatasan standar yang dipakai dalam menyusun regulasi, yang kemudian malah menjadi bumerang. Kurangnya standar yang dugunakan dalam menentukan izin usaha dapat menyebabkan perusahaan-perusahaan kapital ini melenggang dengan bebasnya.
Belum lagi saat ini kita sedang berada dalam situasi AEC (Asean Economic Community), yang membuka peluang seluas-luasnya bagi orang asing untuk berinvestasi di Tanah Air.
Jika melihat ke belakang, kita bisa mengambil contoh Bali sejak gencarnya praktek industi pariwisata, yang kemudian menjadikannya sebagai destinasi wisata unggulan di Indonesia.
Universitas Udayana mencatat pada tahun 1966 ada sekitar 2.150 wisatawan asing berkunjung ke Bali. Namun setelah dibangunnya bandara internasional dua tahun setelahnya, jumlah angka kunjungan bertambah drastis (MacRae, 1992). Picard (1993) mencatat dalam waktu 20 tahun, dari tahun 1969 sampai tahun 1989, angka turis asing yang berkunjung mencapai 436.000 dari 11.000.
Sampai saat ini pertumbuhan industri pariwisata di sana mempunyai dampak ekonomi yang luar biasa bagi PAD maupun devisa Negara. Namun di satu sisi tidak sedikit penduduk lokal (indigenous people) yang dirugikan dengan fenomena ini. Selain persaingan ekonomi, kulturisasi akibat aktivitas pariwista berpeluang mendegradasi budaya lokal, untungnya pemerintahnya cukup peka terhadap masalah ini sehingga ada kebijakan tertentu yang kemudian membatasi mobilitas budaya asing.
Selain itu, pengaruh Tri hita karana, yakni menjaga hubungan yang serasi dan selaras antara manusia dan lingkungannya masih dipegang teguh rakyatnya.
Beranjak dari sana, saya harap hal ini bisa menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Bahwa pada dasarnya tujuan pembangunan adalah rakyat itu sendiri. Pembangunan tidak selalu harus fisik, kalau pada akhirnya bisa mengangkat harkat dan martabat rakyat. Lagi-lagi hubungan yang simbiotis-mutualis menjadi sagat diperlukan dalam perjuangan membangun daerah, khususnya Kota Kasih ini.
Tujuannya adalah untuk mengindari kesenjangan antara pemerintah dan rakyat sekalipun itu hanya suatu entitas masyarakat tertentu. Menjalankan pemerintahan tidak ada istilah mngorbankan suatu kepentingan yang tergolong kecil demi kepentingan yang lebih besar. Kalaupun terpakasa demikian, setidaknya si pemegang kepentingan kecil ini juga berhak mendapatkan benefit darinya, sembari diberikan pengertian yang logis dan berasa nasionalisme. Inilah yang disebut dengan win-win solution.
Peran AMDAL sebagai prosedur dasar dalam pembangunan fisik, baik itu gedung maupun infrastruktur, sangat berdampak bagi kesejahteraan masyarakat yang terlibat. Analisa yang dibangun tidak cukup jika hanya menggunakan satu sudut pandang, namun perlu dibuka seluas-luasnya bagi pemikiran yang lebih banyak lagi. Anggapan bahwa AMDAL hanya dilakukan untuk menganalisa lingkungan fisik adalah sangat keliru. Penggunaan AMDAL juga mencakup kehidupan sosial, budaya, serta ekonomi masyarakat setempat.*