Strategi Pengelolaan Sistem Layanan Angkutan Umum

Walaupun demikian, kehadiran dan kualitas layanan angkutan umum merupakan indikator

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/NOVEMY LEO
Sejumlah bemo (sebutan angkot di Kupang) sedang beroperasi di ruas Jalan Kota Kupang, Mei 2015. 

Oleh Don Gaspar N. da Costa
Ketua Masyarakat Transportasi Wilayah NTT

POS KUPANG.COM - Pada hakikatnya angkutan umum merupakan satu komponen kecil dari sistem transportasi yang mengatur tentang interaksi antara pola perjalanan orang dan/atau barang dari satu tempat (asal) ke tempat (tujuan) yang lain secara aman, lancar, efisien dan ramah lingkungan.

Walaupun demikian, kehadiran dan kualitas layanan angkutan umum merupakan indikator keberhasilan pengelolaan sistem aktivitas kota karena sebagian besar penduduk perkotaan menggantungkan perjalanan kesehariannya berbasis jenis moda tersebut. Buruknya kualitas layanan angkutan umum dapat berimbas pada lambatnya pertumbuhan struktur perekonomian dan struktur sosial perkotaan, serta berdampak pada berkembangnya sistem layanan angkutan umum alternatif.

Korbannya tidak saja pada kelompok captive choice (pengguna angkutan umum), melainkan seluruh warga perkotaan.
Menyikapi "janji" Kadishub Kota Kupang (Pos Kupang, 1 Desember 2015) tentang rencana pembukaan trayek angkutan umum dalam kawasan perkotaan Kupang, berikut sejumlah pemikiran konstruktif tentang syarat pengembangan rute, pendekatan strategis yang diperlukan untuk meredam potensi konflik akibat rencana pengembangan rute dimaksud dan rekomendasi rencana aksi yang diperlukan.

Syarat Pengembangan Rute
Karena sistem layanan angkutan umum tidak saja berdimensi teknis, namun juga sarat muatan sosial-ekonomi, politis, hukum dan kelembagaan, maka sudah sepantasnya pertimbangan integratif tentang berbagai hal tersebut dijadikan dasar pengembangan rute dimaksud.

Secara teknis, jarak antara lintasan rute, keterhubungan fisik dan keterhubungan fungsional merupakan 3 considerant factors penting yang harus dikaji. Jarak antara lintasan rute ditentukan berdasarkan jarak berjalan kaki dari rumah ke halte; dalam kawasan perkotaan berkisar 300-400 m dimaksudkan untuk meningkatkan aspek aksesibilitas. Dengan demikian, pemetaan awal rencana pengembangan rute angkutan umum dapat dilakukan berdasarkan kriteria tersebut. Prioritas pengembangan tentu diberikan pada kawasan perkotaan yang tergolong "kawasan cepat bertumbuh dan berkembang".

Apabila tahapan pemetaan rencana pengembangan rute tersebut telah dilakukan, langkah selanjutnya adalah inventarisasi kondisi geometrik dan lingkungan jalan serta sistem utilitas di tiap lintasan rencana pengembangan rute. Agar kapasitas ruas jalan minimum terpenuhi, maka lebar jalan minimum untuk pengembangan rute dimaksud adalah 5,5 m; di luar lebar trotoar 1,5 m. Dengan demikian, perlu upaya antisipasi terhadap fenomena okupasi sempadan jalan untuk aktivitas sosial-ekonomi di sepanjang rencana pengembangan rute tersebut.

Selanjutnya, harus dipahami bahwa kehadiran angkot pada dasarnya dimaksudkan untuk melayani (mobilitas) aktivitas sosial-ekonomi dalam maupun antar kawasan yang dilayaninya. Dengan demikian, bila jenis, jumlah, skala dan sebaran lokasi aktivitas sosial-ekonomi tidak terintegrasi dengan sistem rute angkutan umum, maka timbul ketimpangan.

Potong trayek merupakan salah satu contohnya. Dengan demikian, kriteria ini merupakan syarat berlanjutnya layanan angkot karena berkaitan sangat erat dengan jumlah dan distribusi permintaan perjalanan minimum. Angkot hanya mau melayani suatu rute bila faktor muat (load factor) reratanya mancapai 60% per hari sehingga target pendapatan perhari dapat terpenuhi. Target load factor terpenuhi bila jumlah dan frekuensi perjalanan relatif memenuhi. Pemenuhan jumlah dan frekuensi perjalanan terjadi bila terdapat sejumlah alasan perjalanan (tarikan dan bangkitan perjalanan).

Tarikan dan bangkitan perjalanan terjadi bila terdapat pertumbuhan jenis, jumlah dan skala aktivitas sosial-ekonomi. Pertumbuhan jenis, jumlah, skala dan sebaran lokasi aktivitas hanya dimungkinkan bila struktur dan pola pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam produk rencana tata ruang dan/atau peraturan zonasi (zoning regulation) telah memuat tentang hal itu sehingga pengembangan aktivitas dan rute angkutan umum tidak berdampak buruk pada kinerja ruas jalan, risiko kecelakaan maupun penurunan kualitas lingkungan.

Untuk itu diperlukan dukungan studi tentang kapasitas (daya dukung dan daya tampung lahan). Semua ini merupakan siklus aktivitas pengelolaan sistem angkutan umum yang saling kait-mengait dan terus berlangsung secara iteratif. Pengabaian salah satu elemen tersebut tentu berdampak pada "buruknya" kualitas produk layanan sistem itu sendiri.

Dari aspek sosial-ekonomi, pertumbuhan jenis layanan angkutan alternatif (baik ojek maupun pick up dan sejenisnya) akibat minim atau tiadanya layanan angkutan umum. Konflik lahan (wilayah operasi) dan/atau pendapatan merupakan dampak potensil yang harus dikelola secara arif. Pendekatan pengelolaan potensi konflik tersebut agar dibedakan.

Bentuk "kompensasi dan intervensi" untuk kawasan pinggiran (Naioni, Naimata, Belo dan lainnya) tentu berbeda dengan Liliba, Oesapa Selatan, Kayu Putih, Fatululi, misalnya. Di kawasan pinggiran, overlapping trayek/wilayah layanan masih dimungkinkan, namun di sekitar kawasan pusat perkotaan overlapping tersebut agar dibatasi secara berdaya guna.

Pembatasan (pengaturan) jumlah dan pangkalan serta wilayah
layanan ojek di kawasan perkotaan harus segera dilaksanakan; demikian pula aspek administratifnya seperti kesepakatan tentang produk layanan ojek, kelengkapan/syarat administrasi yang harus dipenuhi, dan lainnya.

Selain itu, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa upaya pengembangan rute tersebut hampir pasti akan bergesekan dengan ruang dan waktu aktivitas sosial-ekonomi kemasyarakatan (warung, kios, bengkel, dan sejenisnya) eksisting di sepanjang tepi ruas jalan yang akan dilebarkan. Sosialisasi berkelanjutan tentang aspek teknis dan dampak hukum okupasi lahan tersebut yang diikuti dengan penertiban dan bahkan penindakan tegas merupakan kunci pengelolaannya.

Prinsip yang hendaknya dipakai adalah pemberian perlindungan hak sosial-ekonomi sejauh tidak mengganggu kepentingan umum, tentu diikuti dengan opsi alternatif yang memungkinkan.
Secara politis, niat baik eksekutif ini hendaknya didukung secara berkelanjutan oleh teman-teman di jajaran legislatif, bukan saja dalam bentuk pernyataan, namun dalam alokasi APBD.

Dikotomi tentang jalan atau transport (termasuk pengelolaan angkutan umum) agar tidak lagi dijadikan alasan penataan sistem angkutan umum tersebut. Fenomena "booming infrastruktur" sebagaimana dicanangkan pemerintah pusat hendaknya dijadikan momen integrasi kepentingan pengembangan kapasitas jaringan jalan perkotaan dengan pengembangan sistem layanan angkutan umum perkotaan.

Secara kelembagaan, kemitraan dan partisipasi aktif masyarakat melalui operasi ojek dan pick up harus didukung oleh pemerintah karena eksistensi mereka sejauh ini dirasakan manfaatnya. Namun pengusaha pick up dan tukang ojek juga hendaknya memahami bahwa upaya pengelolaan angkutan umum pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk mengeliminir peranan mereka, melainkan untuk semakin meningkatkan sinergi antarpengusaha pick up, tukang ojek dan angkutan umum secara saling menguntungkan. Bentuk sinergitas seperti apa yang kini harus dipikirkan bersama.

Pendekatan Strategis Pengelolaan Potensi Konflik
Dalam jangka pendek overlapping trayek masih dapat ditolerir. Rute layanan ojek masih boleh berimpitan dengan rute angkot, tetapi hendaknya hal tersebut hanya terjadi di rute-rute ranting, bukan di rute utama. Tujuannya adalah agar jumlah tukang ojek dan pangkalan ojek di kawasan perkotaan tidak bertambah banyak. Ini sekaligus menjadi tantangan politis bagi pemerintah agar mampu menyediakan lapangan kerja alternatif dan/atau mendorong pertumbuhan aktivitas sosial-ekonomi di Kota Kupang.

Penambahan jumlah ojek dalam kota dipicu pula keterbatasan jumlah angkutan. Oleh karena itu, evaluasi jumlah armada pada rute eksisting harus dikaji secara multi-dimensi.

Dalam jangka panjang, penyediaan lapangan pekerjaan, baik melalui penataan struktur dan pola pemanfaatan ruang (perizinan aktivitas sosial-ekonomi di kawasan-kawasan strategis) maupun melalui pemberian kemudahan investasi, akses modal & lahan usaha serta kemitraan dengan investor swasta merupakan opsi logis.

Diperlukan intervensi budaya untuk mengubah pola atau cara pikir masyarakat. Penyediaan dana bantuan sosial, misalnya, hendaknya dipadukan (disatupaketkan) dengan kegiatan pengembangan kapasitas dan sumber daya manusia melalui berbagai kegiatan pelatihan sehingga selain memicu pertumbuhan lapangan kerja baru sekaligus memandirikan calon pelaku ekonomi kerakyatan.

Pemerintah sudah saatnya menyediakan lahan khusus untuk pengembangan aktivitas sosial-ekonomi di tiap bagian wilayah kota. Bila setiap kelurahan dan/atau gabungan lingkungan memiliki satu saja pusat aktivitas sosial-ekonomi sesuai potensi strategis setempat dalam "skala kota", maka pusat aktivitas tersebut akan menjadi daya tarik perjalanan sekaligus pemicu pertumbuhan struktur sosial-ekonomi wilayah yang pada gilirannya menjadi alternatif lapangan kerja bagi para tukang ojek. Pemerintah punya lahan, punya kuasa pengelolaan pembangunan, punya kewenangan pengelolaan dana.

Pemerintah punya otoritas penuh sejak tahap inisiasi, perencanaan, pembangunan, pengaturan hingga pengawasan dan pengendalian pemanfaatannya, dan seterusnya...dan seterusnya. "Kepunyaan" tersebut sudah saatnya dioptimalkan dan masyarakat berhak mendapatkan atau menikmati manfaatnya.

Rekomendasi Rencana Aksi
Dalam jangka pendek, 1) status operasional ojek perlu diatur agar manfaatnya bisa dioptimalkan dan agar risiko konflik pengelolaannya di masa mendatang dapat diminimalkan; 2) perlu studi kebutuhan pengembangan rute operasi angkot/bus sehingga produk rencana struktur dan hierarki rute angkutan umum yang dihasilkan lebih kontekstual atau sesuai dengan karakteristik fisik (teknis) dan non fisik (sosial-ekonomi, lingkungan, politis dan kelembagaan) kawasan; 3) jumlah armada eksisting di tiap trayek juga perlu dievaluasi; 4) perlu penertiban kualitas layanan angkutan umum, termasuk penindakan tegas perilaku potong trayek saat periode sibuk; 5) sosialisasi rencana dan dampak pengembangan rute angkutan umum berbasis manfaat timbal-balik antar pelaku bisnis transportasi secara berkelanjutan perlu dikemas dalam model partisipatif dan berkelanjutan.

Dalam jangka menengah hingga panjang, 1) perlu studi kapasitas dan daya dukung kawasan sehingga upaya integrasi transportasi dan tata guna lahan melalui pengembangan rute angkutan umum tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan struktur sosial-ekonomi dan lingkungan perkotaan; 2) diperlukan "keberanian" berbasis koordinasi dan komitmen bersama antara eksekutif dan legislatif serta aparat penegak hukum dalam merintis aspek pemberian izin pengembangan aktivitas sosial-ekonomi di kawasan-kawasan pinggiran, sejauh terdapat indikasi awal kesesuaiannya dengan kapasitas dan daya dukung tiap kawasan.

Aturan dibuat untuk kemaslahatan bersama, sehingga bila kemaslahatan tersebut terindikasi "jauh panggang dari api", maka aturan tersebut perlu ditinjau kembali. Masa laku aturan agar jangan dijadikan kambing hitam atau alasan penundaan suatu kebijakan yang urgent, karena dinamika sosial-ekonomi jauh lebih cepat berkembang dan menuntut penyesuaian secara taktis, strategis dan proporsional; agar tidak lagi terjadi pelanggaran dan/atau penyimpangan aktivitas hanya karena minimnya intervensi. Setiap perubahan selalu dimulai dari cara berpikir dan tentu saja cara pikir positif akan mengantar kita ke perubahan sikap dan komitmen tentang upaya pencapaian manfaat positif dari suatu kebijakan, demi kemaslahatan bersama. Semoga bermanfaat.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved