Strategi Pengelolaan Sistem Layanan Angkutan Umum
Walaupun demikian, kehadiran dan kualitas layanan angkutan umum merupakan indikator
Oleh Don Gaspar N. da Costa
Ketua Masyarakat Transportasi Wilayah NTT
POS KUPANG.COM - Pada hakikatnya angkutan umum merupakan satu komponen kecil dari sistem transportasi yang mengatur tentang interaksi antara pola perjalanan orang dan/atau barang dari satu tempat (asal) ke tempat (tujuan) yang lain secara aman, lancar, efisien dan ramah lingkungan.
Walaupun demikian, kehadiran dan kualitas layanan angkutan umum merupakan indikator keberhasilan pengelolaan sistem aktivitas kota karena sebagian besar penduduk perkotaan menggantungkan perjalanan kesehariannya berbasis jenis moda tersebut. Buruknya kualitas layanan angkutan umum dapat berimbas pada lambatnya pertumbuhan struktur perekonomian dan struktur sosial perkotaan, serta berdampak pada berkembangnya sistem layanan angkutan umum alternatif.
Korbannya tidak saja pada kelompok captive choice (pengguna angkutan umum), melainkan seluruh warga perkotaan.
Menyikapi "janji" Kadishub Kota Kupang (Pos Kupang, 1 Desember 2015) tentang rencana pembukaan trayek angkutan umum dalam kawasan perkotaan Kupang, berikut sejumlah pemikiran konstruktif tentang syarat pengembangan rute, pendekatan strategis yang diperlukan untuk meredam potensi konflik akibat rencana pengembangan rute dimaksud dan rekomendasi rencana aksi yang diperlukan.
Syarat Pengembangan Rute
Karena sistem layanan angkutan umum tidak saja berdimensi teknis, namun juga sarat muatan sosial-ekonomi, politis, hukum dan kelembagaan, maka sudah sepantasnya pertimbangan integratif tentang berbagai hal tersebut dijadikan dasar pengembangan rute dimaksud.
Secara teknis, jarak antara lintasan rute, keterhubungan fisik dan keterhubungan fungsional merupakan 3 considerant factors penting yang harus dikaji. Jarak antara lintasan rute ditentukan berdasarkan jarak berjalan kaki dari rumah ke halte; dalam kawasan perkotaan berkisar 300-400 m dimaksudkan untuk meningkatkan aspek aksesibilitas. Dengan demikian, pemetaan awal rencana pengembangan rute angkutan umum dapat dilakukan berdasarkan kriteria tersebut. Prioritas pengembangan tentu diberikan pada kawasan perkotaan yang tergolong "kawasan cepat bertumbuh dan berkembang".
Apabila tahapan pemetaan rencana pengembangan rute tersebut telah dilakukan, langkah selanjutnya adalah inventarisasi kondisi geometrik dan lingkungan jalan serta sistem utilitas di tiap lintasan rencana pengembangan rute. Agar kapasitas ruas jalan minimum terpenuhi, maka lebar jalan minimum untuk pengembangan rute dimaksud adalah 5,5 m; di luar lebar trotoar 1,5 m. Dengan demikian, perlu upaya antisipasi terhadap fenomena okupasi sempadan jalan untuk aktivitas sosial-ekonomi di sepanjang rencana pengembangan rute tersebut.
Selanjutnya, harus dipahami bahwa kehadiran angkot pada dasarnya dimaksudkan untuk melayani (mobilitas) aktivitas sosial-ekonomi dalam maupun antar kawasan yang dilayaninya. Dengan demikian, bila jenis, jumlah, skala dan sebaran lokasi aktivitas sosial-ekonomi tidak terintegrasi dengan sistem rute angkutan umum, maka timbul ketimpangan.
Potong trayek merupakan salah satu contohnya. Dengan demikian, kriteria ini merupakan syarat berlanjutnya layanan angkot karena berkaitan sangat erat dengan jumlah dan distribusi permintaan perjalanan minimum. Angkot hanya mau melayani suatu rute bila faktor muat (load factor) reratanya mancapai 60% per hari sehingga target pendapatan perhari dapat terpenuhi. Target load factor terpenuhi bila jumlah dan frekuensi perjalanan relatif memenuhi. Pemenuhan jumlah dan frekuensi perjalanan terjadi bila terdapat sejumlah alasan perjalanan (tarikan dan bangkitan perjalanan).
Tarikan dan bangkitan perjalanan terjadi bila terdapat pertumbuhan jenis, jumlah dan skala aktivitas sosial-ekonomi. Pertumbuhan jenis, jumlah, skala dan sebaran lokasi aktivitas hanya dimungkinkan bila struktur dan pola pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam produk rencana tata ruang dan/atau peraturan zonasi (zoning regulation) telah memuat tentang hal itu sehingga pengembangan aktivitas dan rute angkutan umum tidak berdampak buruk pada kinerja ruas jalan, risiko kecelakaan maupun penurunan kualitas lingkungan.
Untuk itu diperlukan dukungan studi tentang kapasitas (daya dukung dan daya tampung lahan). Semua ini merupakan siklus aktivitas pengelolaan sistem angkutan umum yang saling kait-mengait dan terus berlangsung secara iteratif. Pengabaian salah satu elemen tersebut tentu berdampak pada "buruknya" kualitas produk layanan sistem itu sendiri.
Dari aspek sosial-ekonomi, pertumbuhan jenis layanan angkutan alternatif (baik ojek maupun pick up dan sejenisnya) akibat minim atau tiadanya layanan angkutan umum. Konflik lahan (wilayah operasi) dan/atau pendapatan merupakan dampak potensil yang harus dikelola secara arif. Pendekatan pengelolaan potensi konflik tersebut agar dibedakan.
Bentuk "kompensasi dan intervensi" untuk kawasan pinggiran (Naioni, Naimata, Belo dan lainnya) tentu berbeda dengan Liliba, Oesapa Selatan, Kayu Putih, Fatululi, misalnya. Di kawasan pinggiran, overlapping trayek/wilayah layanan masih dimungkinkan, namun di sekitar kawasan pusat perkotaan overlapping tersebut agar dibatasi secara berdaya guna.
Pembatasan (pengaturan) jumlah dan pangkalan serta wilayah
layanan ojek di kawasan perkotaan harus segera dilaksanakan; demikian pula aspek administratifnya seperti kesepakatan tentang produk layanan ojek, kelengkapan/syarat administrasi yang harus dipenuhi, dan lainnya.
Selain itu, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa upaya pengembangan rute tersebut hampir pasti akan bergesekan dengan ruang dan waktu aktivitas sosial-ekonomi kemasyarakatan (warung, kios, bengkel, dan sejenisnya) eksisting di sepanjang tepi ruas jalan yang akan dilebarkan. Sosialisasi berkelanjutan tentang aspek teknis dan dampak hukum okupasi lahan tersebut yang diikuti dengan penertiban dan bahkan penindakan tegas merupakan kunci pengelolaannya.