Anomali DAK 2016 dan Strategi Manfaatkan Momentum

Sinyalemen Bapak Gubernur (NTT) beberapa waktu lalu di salah satu media bahwa membangun atau

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/MUHLIS AL ALAWI
Kepala Dinas Pekerjaan Umum NTT, Ir. Andre Koreh 

Oleh Ir. Andre W Koreh, MT
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi NTT

POS KUPANG.COM - Nawa Cita pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, cita ketiga menyebutkan bahwa "Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan" memberi keuntungan dan peluang tersendiri bagi Provinsi NTT. Sebab, istilah pinggiran dari Nawa Cita adalah daerah-daerah di Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, berada di kawasan perbatasan. Dan, Provinsi NTT memenuhi kriteria itu sebagai daerah pinggiran, karena berada di pinggir Indonesia dan selama ini memang "terpinggirkan."

Selanjutnya dalam UU 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 29 menyebutkan, ayat (1) untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan di daerah provinsi yang berciri kepulauan, pemerintah pusat dalam menyusun perencanaan pembangunan dan menetapkan kebijakan pemberian dana perimbangan dalam bentuk DAU dan DAK harus memperhatikan daerah yang berciri kepulauan. Ayat (3) dalam menetapkan kebijakan DAK, pemerintah pusat harus memperhitungkan pengembangan daerah provinsi yang berciri kepulauan sebagai kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional berdasarkan kewilayahan. Artinya, dari ketentuan Pasal 29 UU 23 Tahun 2014, Provinsi NTT memang daerah kepulauan karena ada 1.192 pulau di daerah ini.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan, Pasal 85 ayat (2) menyebutkan: "Dalam hal pemerintah daerah belum mampu membiayai pembangunan jalan yang menjadi tanggung jawabnya secara keseluruhan, pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan perundang undangan." Penjelasan ayat (2): Pemerintah daerah dinyatakan belum mampu membiayai pembangunan jalan apabila telah melaksanakan pemeliharaan dan peningkatan jalan dengan baik dengan dana paling sedikit sebesar 20% dari total APBD, tetapi kondisi jalan belum memenuhi kriteria standar pelayanan minimal yang ditetapkan.

Pemerintah Provinsi hanya mampu melaksanakan pemeliharaan dan peningkatan Jalan Provinsi rata-rata sebesar 9,03% per tahun dari total APBD.

Selain itu, ada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Minimun (SPM). SPM memuat ketentuan tentang pelayanan minimal masyarakat di bidang jalan, pelayanan minimal masyarakat di bidang air dan irigasi, pelayanan minimal masyarakat di bidang air minum, bidang perumahan, di bidang jasa konstruksi, di bidang tata ruang. SPM di semua bidang tersebut semuanya harus dicapai pada tahun 2019 mendatang.

Fenomena DAK dan DAU
Melihat fenomena DAU dan DAK, ternyata pemberian DAU dan DAK sama sekali tidak memperhitungkan atau tidak mempertimbangkan empat kondisi di atas, yaitu Nawa Cita sebagai daerah pinggiran, UU 23 Tahun 2014 sebagai daerah yang bercirikan kepulauan, PP 34 Tahun 2016 dan Permen PU Nomor 1 Tahun 2014.

Hal itu tergambar dari alokasi DAK Infrastruktur. DAK Infrastruktur tahun ini sebelum pembahasan tahun 2016, untuk DAK Reguler Bidang Transportasi, Sub Bidang Infrastruktur Jalan, Provinsi NTT mendapatkan Rp 47 miliar lebih (di bidang infrastruktur jalan) ditambah dengan perubahan di tahun 2015 sebesar Rp 18 miliar lebih). Jadi total DAK untuk transportasi jalan di NTT tahun 2015 sebesar Rp 62 miliar. DAK itu juga turun bersamaan dengan DAK untuk irigasi, DAK untuk kesehatan, DAK untuk perikanan dan lain-lain.

Melihat kondisi tersebut, menurut saya setidaknya ada empat anomali.

Anomali pertama, DAK Reguler Bidang Transportasi, Sub Bidang Infrastruktur Jalan tahun 2016 NTT hanya mendapatkan Rp 15.816.820.000. Kenapa bisa begitu? Apa pertimbangannya? Padahal panjang jalan Provinsi NTT tahun lalu 2014 hanya 1.737,37 km, dan tahun 2015 panjang jalan Provinsi NTT berubah menjadi 2.471,49 km lebih. Artinya, panjang jalan bertambah tapi alokasi DAK untuk reguler saja sudah turun dari Rp 62 miliar lebih menjadi Rp 15 miliar lebih.

Anomali kedua, DAK Reguler Bidang Sarana dan Prasarana Penunjang Sub Bidang Jalan. Untuk DAK Reguler jenis ini, berdasarkan Rincian Alokasi DAU, DAK Fisik, DID dan Dana Desa TA. 2016 yang di-publish di website DJPK Kementerian Keuangan www.djpk.depkeu.go.id, dari 33 provinsi hanya 15 provinsi yang mendapatkan DAK jenis ini. Sedangkan NTT 'NOL'. Bagaimana bisa NTB yang panjang jalan Provinsi-nya hanya 1.800 km. Bandingkan juga 15 provinsi lainnya yang mendapatkan DAK jenis ini. Dari 15 provinsi itu, Provinsi NTT yang paling panjang jalan provinsi-nya, 2.471,49 km.

Sedangkan yang lain di bawah dari itu tapi mendapatkan DAK yang jauh lebih besar.

Anomali ketiga, berdasarkan kriteria teknis saat memasukkan data kondisi wilayah, kondisi eksisting jalan Provinsi, dll di Kementerian PUPR bahwa berdasarkan kriteria teknis pemberian DAK tersebut, NTT mendapatkan koefisien teknis pemberian DAK 0,06. Nah, kalau NTT punya koefisien teknis mendapat 0,06 khusus untuk jalan, sementara DAK untuk jalan itu ada Rp 3,2 triliun yang disiapkan oleh Menteri Keuangan. Untuk DAK keseluruhan, seyogyanya NTT mendapatkan 0,06 x 3,2 triliun. Artinya, NTT bisa mendapatkan kurang lebih Rp 188 miliar. Tapi kenapa bisa dapat nol?

Pertanyaannya, kewenangan siapa mengalokasikan anggaran ini? Secara normatif, berdasarkan konfirmasi Kementerian PUPR saat kegiatan sosialisasi petunjuk teknis dan konsultasi program penggunaan DAK bidang infrastruktur tahun 2016 tanggal 26 s/d 27 November 2016 di Makassar, NTT sudah kirimkan semua data dan menurut Kementerian PUPR data tersebut sudah dikirimkan ke Kementerian Keuangan untuk dibahas antara Banggar dengan Kementerian Keuangan, dan NTT seyogyanya layak mendapatkan DAK Reguler Bidang Sarana dan Prasarana Penunjang Sub Bidang Jalan tersebut.

Anomali keempat, bagaimana bisa terjadi NTT tidak mendapatkan DAK Reguler Bidang Sarana dan Prasarana Penunjang Sub Bidang Jalan? Ketua DPR RI dari Dapil NTT, Ketua Komisi V DPR RI yang menangani bidang infrastruktur juga dari Dapil NTT. Kalau Banggar yang memutuskan, bersama-sama dengan Kementerian Keuangan, mestinya NTT mendapatkan DAK itu. Harusnya syarat-syarat dan dengan kondisi wilayah tadi, NTT layak mendapatkan dana itu. Tapi nyatanya tidak. Inilah yang saya sebut anomali keempat.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved