Si Embun Penyejuk

Siapa Sartono? Mungkin banyak di antara kita tidak mengenalnya secara persis.

Editor: Dion DB Putra

Merenungi Hari Guru 25 November

Oleh Willem B Berybe
Mantan Guru, Tinggal di BTN Kolhua, Kupang

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot Pahlawan Bangsa tanpa tanda jasa

POS KUPANG.COM - Tiga baris syair di atas dikutip dari lagu Hymne Guru (HG) bagian terakhir ciptaan Sartono. Pencipta lagu yang begitu menjunjung tinggi sosok guru itu tutup usia 1 November 2015 lalu di RSUD Kota Madiun, Jawa Timur. Berita kepergian Sartono nyaris terbenam oleh berita meninggalnya tokoh sinetron (sinema elektronik) film Si Unyil, Pak Raden, 30 Oktober 2015. Hampir semua media televisi nasional menayangkannya secara komplit tentang idola anak-anak Indonesia itu yang bernama lengkap Drs. Suyadi.

Siapa Sartono? Mungkin banyak di antara kita tidak mengenalnya secara persis. Dia seorang guru SMP yang sederhana dan biasa saja. Mengajar mata pelajaran Kesenian (Seni Musik) di SMP Katolik Santo Bernardus Madiun. Lomba Cipta Lagu tingkat nasional dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 1980 telah menghantarnya menjadi pemenang dengan lagu ciptaannya yang bertema pendidikan (Liputan6.com Jakarta). Sejak itulah, lagu yang syair pembukanya berbunyi, Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru, bergema di sekolah-sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi sebagai sebuah hymne (lagu pujian) untuk sang guru.

Setiap kali perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, upacara bendera dan acara sekolah lainnya, serta acara wisuda di perguruan tinggi, lagu HG yang bergaya maestoso (dengan agung & mulia) sering dinyanyikan oleh kelompok paduan suara dengan penuh penghayatan dan penjiwaan sehingga membuat hadirin larut dalam sendu dengan derai air mata.

Lagu ini telah masuk dalam jejeran lagu-lagu wajib dan nasional. Dengan demikian, kehadiran lagu HG ciptaan Sartono tercatat sebagai produk lagu wajib dan nasional era 80-an yang demikian jauh jarak waktu penciptaannya dengan lagu-lagu serupa seperti Indonesia Raya, Garuda Pancasila, Gugur Bunga, dll.

Sartono, salah satu musikus Indonesia, ingin mengungkapkan rasa kecintaan dan kekagumannya akan guru melalui HG. "Lagu Hymne Guru yang diciptakan mendiang Sartono telah menginspirasi banyak orang untuk memuliakan guru," ucap Mendikbud, Anies Baswedan (2/11/2015) sebagaimana diberitakan Liputan6.com Jakarta. Pernyataan menteri pendidikan ini memperlihatkan sikap dan penghargaan beliau terhadap profesi dan eksistensi guru.

Ada tiga nilai (values) yang melekat pada diri seorang guru menurut permenungan Sartono. Ia melukiskannya dalam bentuk metafora pelita, embun (penyejuk), patriot. Guru baginya adalah sebuah pelita. Anak Indonesia yang tadinya gelap gulita dalam dunia membaca, berhitung, tulis-menulis bisa melek aksara.

Bayangkan pertama kali seorang guru di daerah terpencil langsung berhadapan dengan murid-murid SD kelas satu untuk mengajar dan mendidik mereka dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak bisa (baca not) menjadi bisa (baca not). Oleh kerja keras seorang guru, anak-anak yang masih seperti kertas putih kosong itu akhirnya bisa baca, hitung, dan tulis. Setinggi apa pun sekolah seseorang, takkan lepas dari peran guru sejak sekolah dasar (SD).

Bagi Sartono, guru laksana embun di pagi hari yang menyejukkan. Kehadiran seorang guru di kelas menciptakan suasana kesejukan yang terpancar melalui raut wajah yang ceria. Tidak serem dan menakutkan. Tidak lancang mulut mencerca, menghina dan ringan tangan.

Nilai yang ketiga dalam diri seorang guru ialah patriot bangsa. Kata patriot (Bah. Latin: patria= tanah air) berarti orang yang dengan sekuat tenaga berbakti dan mengabdi kepada tanah airnya melalui pendidikan. Penulis mengutip pernyataan Prof. Dr. Winarno Surakhmad bahwa lembaga pendidikan harus dikembalikan sebagai lembaga yang memanusiakan manusia (Kompas, 19/9/2000). Di sinilah peran guru sebagai memanusiakan manusia Indonesia dalam diri anak-anak murid.

Seiring perjalanan waktu, muncul kisah-kisah pilu yang menerpa sosok guru dewasa ini. Karenanya, masihkah terbentang benang emas antara guru ala Sartono dengan dunia pendidikan dewasa ini? Masihkah sosok guru itu bagai pelita, embun, dan patriot?

Kasus-kasus yang melibatkan guru akhir-akhir ini merontokkan idealisme Sartono. Kekerasan fisik, seksual, kelalaian sekolah (guru) cukup menonjol tersiar lewat media televisi dan media cetak seperti kasus siswa SMA di Ternate yang dipukul guru dan meninggal (Metro TV, 9/10/2015), kasus Siswa SMAN 2 Kefamenanu, Kabupaten TTU, NTT yang membentur kepalanya di meja atas perintah guru (Pos Kupang, 23/9/2015), kelalaian guru olahraga terhadap dua anak Global Sevilla School Jakarta dalam kegiatan berenang (pembelajaran keterampilan) berujung maut (Kompas, 20/9/ 2015), kasus pemukulan siswa salah satu SMAN di Bogor karena tidak kerja PR (Metro TV, 24/9/2015), kasus ibu guru Penjaskes pada SD swasta di Ambon yang memukul tiga orang siswa dengan pisau cutter karena tidak membawa semen dan kerikil untuk pembuatan perlengkapan olahraga tolak peluru (Kompas, 22/9/2015).

Semua kasus tersebut pada akhirnya harus dibawa ke ranah hukum dan penegak hukum (kepolisian).

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved