Menjelajahi Kampung Adat di Lembah Jerebu’u Flores
Menjelejahi Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur tidak saja mengunjungi Danau Tiga Warna Kelimutu di Kabupaten Ende dan Taman Nasional Komodo di Kabupate
Dari Labuan Bajo turis bisa menyewa sepeda motor, bus serta mobil travel yang disewa. Dan juga setiap turis yang dijumpai di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, yang juga sebagai pintu gerbang pariwisata dari arah Timur tidak pernah terlewatkan untuk mengunjung lembah Jerebu’u untuk melihat Kampung Adat Bena.
Lembah Jerebu’u dengan motif rumah adat memiliki ‘magic’ atau daya pikat bagi wisatawan asing dan nusantara untuk menempatkan diri melihat kampung itu dari dekat.
Kampung Adat Gurusina
Tak jauh dari Kampung Adat Bena, ada sebuah kampung yang memiliki daya pikat untuk dikunjungi wisatawan asing dan nusantara. Kampung adat itu adalah Kampung Adat Gurusina. Arsitektur bangunan hampir sama dengan bangunan di Kampung Adat Bena.
Namun, yang membedakan adalah kampung itu dijelajahi dengan trekking. Kalau ke Kampung Adat Bena, kendaraan roda dua dan empat bisa langsung diparkirkan di pinggir kampung tersebut. Sementara di Kampung Adat Gurusina, kendaraan roda empat dan dua diparkir agak jauh dari kampung tersebut. Turis harus berjalan kaki sekitar beberapa menit menuju ke kampung itu.
Yang unik di Kampung Adat Gurusina sebagaimana diamati oleh KompasTravel adalah di tengah kampung itu terdapat batu megalitik yang berdiri tegak. Ini yang menjadi berbeda dengan kampung Bena.
Kampung Adat Tololela
Kampung Adat Tololela dijadikan tempat pembuatan film Inerie beberapa tahun lalu. Kini kampung ini yang berada di lereng gunung api Inerie sudah semakin terkenal dengan masuknya musik tiup tradisional Bombardom yang diakui Muri.
Kampung ini menyimpan potensi musik yang diwariskan leluhur dari ratusan tahun yang lalu. Namun, musik langka ini hilang akibat masuknya musik modern. Di tengah-tengah pengaruh musik modern dengan gaya barat, kaum perempuan dan laki-laki masih memainkan musik ini untuk kalangan sendiri.
Tiba-tiba pada 19 September 2015, tiupan musik Bombardom mampu menghibur warga masyarakat lembah Jerebu’u dengan berbagai lagu yang dibawakan.
Saat itu ratusan warga tetangga dari Kampung Bena, Kampung Gurusina memadati halaman kampung Tololela untuk mendengarkan musik Bombardom.
Mereka disuguhkan musik tradisional yang membangkitkan gairan hidup dan diwariskan leluhur masyarakat Lembah Jerebu’u. Semua diam dan menyaksikan betapa merdu musik bombardom yang dibawakan 500 orang pemain.
Bagi para orang tua yang berusia 80-70 tahun, mereka sangat gembira menyaksikan musik tiup Bombardom yang kembali dibangkitkan oleh generasi penerus Kampung Adat Tololela. Bahkan mereka bertambah gembira dan bangga ketika musik tiup ini diakui oleh Muri.
Kepala Desa Manubhara, Markus Lina kepada KompasTravel mengungkapkan, warga masyarakat di Desa Manubhara sangat gembira, senang dan bangga bahwa musik tiup bombardom yang diwariskan leluhur dibangkitkan kembali di era digital ini. Yang lebih disyukuri lagi adalah musik ini diakui oleh Rekor Muri dengan pemain terbanyak.
“Saya bersama warga masyarakat Desa Manubhara bergembira dan bangga atas pengakuan terhadap musik bombardom yang selama ini hilang. Kini dibangkitkan dan dihidupkan kembali oleh masyarakat itu sendiri. Kami siap mempertahankan dan terus melestarikan musik tradisional ini,” jelasnya.
