Ancaman ISIS
Pengakuan Seorang Gay yang Diburu ISIS
Saya pertama sadar saya gay ketika berumur 13 atau 14 tahun. Saya juga awalnya berpikir homoseksualitas adalah penyakit dan ingin sekali merasa normal
Ayah saya kemudian memohon mereka untuk memberikan waktu, agar dia mencari tahu apakah tuduhan itu benar.
Dia kemudian masuk ke rumah dan berteriak-teriak, “Bila tuduhan itu benar, saya sendiri akan mengantarkan kamu ke mereka, dengan senang hati.”
Dan saya hanya berdiri di sana, tidak tahu harus mengatakan atau melakukan apa. Saya dalam kondisi shock.
Ibu memutuskan saya harus meninggalkan rumah secepatnya, dan dia mulai mencari tahu cara agar saya bisa keluar dari Irak.
Pada tengah malam dia mengatakan, “Kita akan pergi sekarang juga.”
Setelah bermalam di rumah seorang bibi, saya dibelikan tiket pesawat ke Turki dan mendapatkan visa.
Namun, saya harus melewati Erbil dan tinggal di sana selama dua minggu, mencoba masuk ke Kurdistan tanpa hasil.
Saya juga mencoba keluar melewati Baghdad namun perjalanan itu berbahaya dan pengemudinya pun tidak ingin menempuhnya.
Saya mencoba keluar berulang lagi, namun terus gagal.
Akhirnya pada Agustus, ibu saya mengatur cara agar saya bisa ke Kota Kirkuk.
Dari sana saya ke Sulaymaniyah. Saya berencana pergi ke Turki namun pesawat pertama yang tersedia terbang ke Beirut, Libanon, dan saya tidak memerlukan visa untuk itu – jadi di sinilah saya.
Bila saya tetap tinggal di Irak, saya akan diburu dan dibunuh oleh ISIS.
Kalau tidak di tangan mereka, saya akan dibunuh anggota keluarga. Adik ayah saya bahkan mengambil sumpah akan memulihkan martabat keluarga.
Baru-baru ini, saya menerima pesan Facebook dari akun anonim, bunyinya, “Saya tahu Anda di Beirut. Bila Anda ke neraka pun akan saya ikuti.”
Saya hanya ingin berada di tempat yang aman, jauh dari ayah dan siapapun dengan pandangan garis keras. Saya hanya ingin hidup.