Refleksi Teologis Orang Manggarai
'Mori Sambé'
Paskah yang dirayakan oleh umat Kristiani sedunia menyiratkan refleksi Mori Sambé dalam konteks peran Tri Tunggal Maha Kudus
Oleh Willem B Berybe
Peminat Budaya Tinggal di BTN Kolhua Kupang
Sejarah
Gereja Katolik Keuskupan Ruteng berawal dari peristiwa lima orang Manggarai pertama di Reo (Kabupaten Manggarai) menerima sakramen permandian yang dilakukan oleh misionaris Yesuit, Pater Henricus Loojmans SJ (17 Mei 1912).
Mereka yang sudah dewasa itu adalah Katarina (Arbero), Henricus, Agnes Mina, Caecilia Weloe, dan Helena Loekoe (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Keuskupan_Ruteng). Peristiwa ini mengingatkan kita saat Yesus memperbanyak lima buah roti dan dua ekor ikan untuk memberi makan sekitar lima ribu orang. Apakah angka 5 dalam peristiwa di Reo itu sebuah faktor kebetulan atau cara kerja 'Ilahi' yang menjadi pratanda dimulainya sebuah karya besar Gereja Katolik di bumi Manggarai?
Lalu, mengapa Reo? Latar belakang geografis yaitu letak Reo sebagai salah satu pelabuhan laut panturaf (pantai utara Flores) yang sangat penting membuat lalulintas perdagangan dan transportasi laut saat itu begitu strategis dan efektif. Reo pun pernah menjadi salah satu kota pelabuhan ekspor ternak (kerbau) terbesar di kawasan Timur Indonesia dengan tujuan Hongkong. Kondisi ini membuat misionaris Yesuit, Pastor Engbers SJ beberapa kali memanfaatkan jalur laut ini untuk berkunjung ke wilayah Manggarai bagian barat (Labuan Bajo) dan membaptis anak-anak kecil dari orang tua asal Larantuka yang tinggal di sana sebagai penyelam mutiara. Dalam perjalanan missioner (kunjungan) inilah Pastor Engsbers SJ beberapa kali menyinggahi Reo sambil melakukan kegiatan pastoral.
Secara historis misi SVD di Manggarai muncul di era 1914-1920. Pada waktu itu Mgr. P Noyen SVD telah mengunjugi Reo, Labuan Bajo, dan Ruteng beberapa kali (1914-1915). Kemudian pastor W Baack SVD selaku Inspektur Sekolah Misi saat itu menjelajahi wilayah Manggarai Timur (Wae Mokel, Borong, Sita, Ruteng, Reo) sambil merayakan misa dan membaptis umat.
Perkembangan ini kemudian memuluskan prospek pembentukan struktur hirarkis
Gereja Katolik Manggarai berbasiskan stasi. Ada tiga stasi yang didirikan waktu itu: (1) Ruteng (stasi induk) mencakup wilayah misi Manggarai Tengah dibawah pimpinan P. Bernard Glaneman, SVD (1920); (2) Lengko Ajang, untuk Manggarai Timur dipimpin P. Wilhem Yansen, SVD (1921); (3) Rekas sebagai pusat wilayah misi Manggarai Barat dengan P. Franz Eickman, SVD sebagi pimpinan (1924).
Pemetaan tiga wilayah misi ini (Manggarai Timur, Manggarai Tengah dan Manggarai Barat) tidak terlepas dari faktor socio-lingiuistic dimana bahasa Manggarai sebagai media (alat) komunikasi yang digunakan oleh para misionaris dengan masyarakat setempat sangat berperan. Menurut P. Jillis AJ Verheijen SVD ada tiga area varian dialek (linguistic area) yang sangat khas yaitu dialek Manggarai Timur, dialek Manggarai Tengah, dan dialek Manggarai Barat (Sumber: Willem Berybe, 1982, " Manggarai Noun and Verb Formation: A Descriptive Analysis of the Morphology of the Manggarai Tengah Dialect, A Comparative Study", Tesis, Universitas Nusa Cendana Kupang)
Wilayah misi Katolik Manggarai yang demikian luas itu terus bertumbuh dan berkembang menjadi paroki (1925), dekenat (1929, vikariat (1951) dan pada tanggal 13 Mei 1951 P. Wilhelmus van Bekkum, SVD ditahbiskan menjadi Uskup Ruteng pertama dan memimpin wilayah Keuskupan Ruteng. (Sumber: Gereja Katolik di Indonesia ' Sejarah Gereja Indonesia, Keuskupan Ruteng. http://suaramaumere.blogspot.com)
Mori Sambé
Sinode Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil yang berlangsung di Ndona, Ende, (15-22 Agustus 1935) dan dipimpin oleh Mgr. Henricus Leven, SVD sangat berpengaruh dan berdampak luas terhadap pertumbuhan Gereja Katolik di Manggarai (Baca: Beding, Alex. 1996. Mgr. Henricus Leven, SVD; Profil Seorang Uskup-Misionaris). Beberapa keputusan sinode antara lain inkulturasi. Salah satu produknya yang sangat menonjol dalam perkembangan Gereja Katolik Manggarai ialah hadirnya kebudayaan lokal berupa lagu-lagu daerah gaya etnis Manggarai yang digunakan dalam perayaan liturgi misa. Tokoh mendiang Uskup Wilhelmus van Bekkum SVD sangat intens di bidang ini sehingga hadirlah buku 'Déré Serani' (déré = nyayian/lagu), kumpulan lagu-lagu misa dalam bahasa Manggarai.
Salah satu lagu Déré Serani yang dicipta oleh MK Surung berjudul 'Mori Sambé' (Cancar, 1960). Mori Sambé dalam bahasa Manggarai berarti Tuhan menebus, Tuhan sebagai penebus, Tuhan yang menebuskan (Mori: Tuhan dan Sambé: menebus, tebus). Dalam konteks ini Mori Sambé dimaksudkan Yesus (Mori Yesus) sebagai ata sambé, orang yang menebus umat manusia. Di sini Kraeng Surung menempatkan Yesus Kristus sebagai pusat (center) dalam karya penyelamatan umat manusia. Lirik lagu Mori Sambé dengan terjemahan dalam Bahasa Indonesia agak luwes disajikan berikut:
1. Mori Yesus gé, Mori ledong ga é ..mbaru surga, wa'u oné lino
(Ya Tuhan Yesus,Tuhan tinggalkan surga, turun ke bumi)
2. Mori Yesus gé, Mori wa'u ga é.. oné roti mosé wakar dami
(Ya Tuhan Yesus, Tuhan turun ke dalam Roti, kehidupan jiwa kami)
3. Mori Yesus gé,Mori mata ga é..oné panggol, sambé wakar dami (Ya Tuhan Yesus, Tuhan mati di salib, menebus jiwa kami)
Referein: Mori Sambé ga é., Ité Mori sambé sanggéd ata, oné tana lino
(Ya Tuhan penebus, Engkau (Tuhan) menebus semua orang di muka bumi)
Lagu Mori Sambé yang berkarakter kombinasi nuansa surgawi (firmamental) dengan irama paés- paés (Bah. Manggarai: mendayu-dayu) pada bagian solo dan aklamasi yang riuh rendah pada bagian jawab (referein) menggambarkan sebuah soliditas ungkapan iman yang heroik. Sebuah suara pewartaan bahwa Yesus yang wafat di salib (one panggol = di salib, simbol pengorbanan dan kurban) adalah sumber hidup yang diejawantahkan lewat perayaan Ekaristi, perayaan iman (one roti). Inilah pesan lagu Mori Sambé yang telah menyatu dengan umat Manggarai sehingga kapan dan dimana saja perayaan ekaristi berlangsung lagu ini pun bergema.
Ada alasan kuat mengapa pengarang lagu Mori Sambé mencantumkan mbaru surga dan bukan surga saja. Dalam hal ini hakekat mbaru surga adalah surga itu sendiri. Surung menempatkan mbaru=rumah sebagai tempat utama yang menjadi sentral kehidupan manusia. Ungkapan one lino ( di dunia) dalam lagu Mori Sambé dasarnya tana lino = dunia yaitu kosmos sebagai suatu tatanan (sistem) kehidupan yang teratur. Dan, pemilik kosmos itu tak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa (Mori Keraeng, Jari agu Dédék= pemilik kehidupan dan pencipta/pembuat segala sesuatu) yang berdiam di Surga one mbaru surga (Bdk: Saudara Matahari.., opini Pos Kupang, 4/10/2014)
Paskah yang dirayakan oleh umat Kristiani sedunia menyiratkan refleksi Mori Sambé dalam konteks peran Tri Tunggal Maha Kudus baik secara eksplisit maupun implisit tentang karya penyelamatan (penebusan=sambe) umat manusia. Selamat Paskah! *