AirAsia Hilang

Menumbuhkan Asa di Tengah Duka Keluarga Korban AirAsia QZ8501

Selama pekan pertama sejak pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak pada akhir Desember 2014, keluarga penumpang pesawat itu berharap cemas menanti perkem

Editor: Alfred Dama

POS KUPANG.COM, JAKARTA -- Jerit histeris dan linangan air mata mengiringi detik demi detik berjalannya waktu di posko Crisis Center Bandara Juanda, Surabaya.

Selama pekan pertama sejak pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak pada akhir Desember 2014, keluarga penumpang pesawat itu berharap cemas menanti perkembangan informasi tentang keberadaan sanak famili mereka.

Hati mereka begitu terpukul ketika televisi pertama kali menayangkan penemuan puing pesawat AirAsia QZ8501. Beberapa di antaranya tidak sadarkan diri setelah melihat gambar memilukan di layar televisi.

Suasana duka begitu menyelimuti mereka. Saat air mata tak lagi bisa membendung kesedihan, yang terdengar hanyalah teriakan dan raungan kepedihan dari dalam ruang tunggu keluarga korban.

Di tengah suasana yang begitu haru itu, sejumlah relawan mulai berdatangan. Mereka tahu keluarga tak hanya butuh kepastian informasi akan kondisi anggota keluarga mereka, tetapi kondisi jiwanya juga perlu dijaga. Berdatanganlah kemudian sejumlah rohaniawan, psikiater, hingga organisasi kemanusiaan.

Siraman rohani

Utusan Gereja Mawar Sharon tiba di Bandara Juanda pada hari ketiga pasca-kecelakaan. Kedatangan mereka untuk menggelar kebaktian. Gereja ini setidaknya kehilangan 40 orang jemaatnya yang turut menjadi penumpang pesawat naas itu.

Dipimpin Pendeta Phillip Mantofa, sekitar 50 keluarga korban menumpahkan kesedihannya. Beberapa di antaranya berdoa dengan khusyuk sambil memegang ponsel dengan gambar orang terkasihnya. Ada pula mengangkat tangan ke atas dan memohon pertolongan Sang Khalik.

"Pasti bertanya, kenapa hal ini terjadi? Pertanyaan seperti itu akan terus merongrong. Tapi, ingat, kita harus berdoa supaya apa pun keputusan Tuhan, kita bisa siap menerimanya," ajak Phillip ketika itu.

Begitu posko Crisis Center berpindah ke Markas Polda Jawa Timur, shalat gaib pun dilakukan di sana untuk keluarga korban yang beragama Islam. Shalat gaib diikuti oleh Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Polisi Anas Yusuf, para keluarga korban, warga sekitar, hingga wartawan. Khatib shalat Jumat ketika itu juga mengajak semua pihak berserah diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

"Kematian tak pernah ada yang tahu, maka kita di dunia sebisa mungkin ke luar rumah dalam keadaan berwudhu, keadaan suci," katanya.

Dalam hari-hari penantian keluarga di Crisis Center Mapolda Jawa Timur, sejumlah kiai, suster, dan pastor hilir mudik mendampingi keluarga korban. Berbicara dengan Tuhan adalah cara terbaik di saat manusia berada dalam kondisi kesedihan mendalam.

Kompas.com/SABRINA ASRIL Yayasan Buddha Tzu Chi di posko ante-mortem AirAsia QZ8501, Mapolda Jawa Timur.

Bantuan pendampingan

Tak hanya melalui siraman rohani, relawan juga memberikan bantuan berupa pendampingan. Yayasan Buddha Tzu Chi, misalnya, mendirikan tenda khusus untuk kegiatan kemanusiaan itu. Berseragam kaus polo berwarna biru tua dan bercelana putih, para relawan yayasan tersebut sigap mendampingi keluarga korban.

Ida Sabrina, pengurus Yayasan Buddha Tzu Chi Jawa Timur, mengungkapkan, pendampingan yang dilakukan dengan saling berbagi cerita. Para relawan Buddha Tzu Chi yang berjumlah sekitar 100 orang—sebagian di antaranya berusia baya—tidak pernah memaksa keluarga untuk menumpahkan kesedihannya.

"Kami hanya menunggu kalau memang mau cerita, kami selalu ada. Beberapa orang mungkin sedih tapi lebih memilih diam, tidak apa-apa, kami tidak pernah memaksa," kata Ida.

Menurut Ida, pekan pertama sejak hilangnya pesawat AirAsia adalah masa paling berat yang harus dilalui keluarga. Pada saat itulah, mereka terus berharap anggota keluarga mereka selamat. Seiring dengan waktu, keluarga mulai bisa ikhlas merelakan kepergian orang-orang yang dikasihinya.

"Kami harus menguatkan mereka agar jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kami harus tersenyum dan berempati di saat yang sama. Kami berikan pemahaman bahwa mereka harus kuat untuk menguatkan anggota keluarga lain yang juga ditinggalkan," ucap dia.

Hal senada juga dilakukan Frilya Rachma Putri, psikiater Rumah Sakit Umum Saiful Anwar Malang, yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJ) Indonesia Jawa Timur. Dia dan dua orang rekannya hadir di sana karena terdorong untuk membantu mereka yang berdukacita.

"Kami memberikan pendampingan kepada semua keluarga korban dengan memberikan empati dan mendukung ketegaran juga mendorong rasa menerima keadaan ini yang harus dilewati dengan baik," ucap Firly.

Setidaknya, ada tiga orang psikiater yang berkeliling melihat kondisi kejiwaan keluarga korban dan membuka komunikasi dengan empati. Awalnya, kata Firly, keluarga tak menerima kehadiran psikiater, tetapi lambat laun mereka mulai terbuka.

Rasa empati menggerakkan semua relawan itu untuk datang membantu korban. Mereka hadir dengan senyuman, membantu menguatkan keluarga korban, dan memastikan bahwa mereka tidak seorang diri. Sebuah upaya menumbuhkan asa di tengah duka memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, asa harus tetap dijaga untuk menatap hari esok.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved