Adonara Memanggil, Lewotana Maranet
Orang Adonara sangat meyakini bahwa karena kehebatan kekuatan Lewotana Adonara, maka Adonara dapat menjadi sebuah Daerah Otonomi Baru.
Oleh Fredryk Tokan
TULISAN ini terinspirasi ketika membaca lansiran Pos Kupang halaman 10, tanggal 26 September 2014, dengan judul, "DOB Adonara ditetapkan Senin". Dalam lansiran disebutkan bahwa Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Adonara sebagai pemekaran dari Kabupaten Flores Timur (Flotim) akan ditetapkan pada rapat paripurna DPR RI, Senin tanggal 29 September 2014. Judul lansiran tersebut, mengingatkan dua tulisan penulis sebelumnya seperti Kapan Adonara Kabupaten (Pos Kupang, 9 Januari 2008), Bagaimana Adonara ke Depan (Pos Kupang, 22 Agustus 2007).
Lansiran Pos Kupang di atas, sepertinya menggenapi apa yang telah diharapkan masyarakat Adonara sebagai daerah otonom yang layak sekaligus memberikan sebuah jawaban akan pertanyaan kapan Adonara Kabupaten.
Adonara layak jadi kabupaten memberikan sebuah ketegasan secara yuridis formal dalam bentuk keterpenuhan regulasi sesuai Pasal 2 sampai Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Keterpenuhan yuridis formal harus dikukuhkan oleh palu DPR pada saat paripurna penetapan Adonara sebagai daerah otonomi baru. Ketika Kabupaten Adonara terbentuk menjadi sebuah Daerah Otonomi Baru pada tanggal 29 September 2014. Sebuah pertanyaan penulis adalah apa yang harus dilakukan untuk Kabupaten Adonara ke depan? Bagaimana agar Kabupaten Adonara dapat mewujudkan cita-cita masyarakatnya yakni kesejahteraan, kemandirian dan berdaya saing.
Banyak kalangan begitu pesimis dengan terbentuknya Kabupaten Adonara sebagai daerah otonomi baru. Keterpesimisan banyak pihak, karena banyak konflik sosial seperti pembunuhan, realitas kultur atau budaya patriarki yang begitu kental, keegoan wilayah maupun suku begitu mendominasi dan karakter orang Adonara yang sifat kebersatuan begitu semu. Semu karena kebersatuan selalu tampak pada orang Adonara yang berada di daerah perantauan. Selain itu, kesemuan bersatu juga hanya tampak pada peristiwa kematian dan pernikahan orang Adonara. Hal yang dapat memberikan keyakinan bahwa orang Adonara memiliki kesemuan bersatu, tampak juga dalam realitas politik.
Dalam pentas politik tingkat Kabupaten Flores Timur, orang Adonara selalu terpinggirkan, orang Adonara dianggap paling gampang untuk diadu domba, paling gampang untuk tidak bersatu dan paling gampang untuk dikalahkan dalam politik. Padahal dalam pentas politik demokrasi langsung, Adonara memiliki massa pemilih terbesar dibandingkan wilayah Flotim lainnya. Tetapi realitas selalu berkata lain, dari Zaman Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi, orang Adonara selalu dikalahkan dalam pentas politik kepemimpinan di tingkat Kabupaten Flores Timur.
Lihat saja, sejak berdirinya Kabupaten Flores Timur Tahun 1958 hingga sekarang, tak satu pun orang Adonara pernah menjadi Bupati Flores Timur. Semua yang pernah menjadi Bupati Flores Timur, sebut saja Stefanus Ndoen (Rote), Joakim BL de Rosari (Larantuka), CY Monteiro (Larantuka), Anton Buga Langoday (Lembata), Markus Weking (Flores Timur Daratan), Simon Petrus Soliwoa (Ngada), Iskandar Munte (Sumatera), Hengky Mukin (Flotim Daratan), Felix Fernandez (Larantuka), Simon Hayon (Solor) dan saat ini Yoseph Lagadoni Herin (Solor).
Memang penentuan menjadi orang nomor satu di Kabupaten Flores Timur banyak variabelnya sesuai dengan kemajuan peradaban demokrasi. Herannya di era reformasi ini, politik demokrasi pilih langsung tak bisa memberikan ruang dan peluang untuk menjadikan satu orang Adonara pun mencapai jabatan bupati di Kabupaten Flores Timur. Itulah hebatnya politik, tak dapat diprediksi, massa yang besar belum tentu menang dalam pentas politik, tetapi suatu hal yang pasti adalah suatu kebersatuan meskipun kecil jumlahnya dapat menghasilkan hal yang besar.
Adonara Memanggil, Lewotana Maranet
Lewotana di mata orang Adonara adalah suatu tempat bertemunya Nuba Rera Wulan (Tuhan yang empunya langit) dan Nara Tana Ekan (Ibu yang memilliki bumi) dalam wujud kehidupan sebuah Lewo (kampung). Wujud kebersatuan Nuba Rera Wulan dan Nara Tana Ekan tampak dalam suatu wujud "Nubanara". Bagi orang Adonara, adanya Nubanara adalah adanya kampung. Nubanara adalah kampung halaman yang harus dibaktikan dengan karya "gelekat lewo, gewayan tana", pengabdian untuk kemaslahatan banyak orang demi kemajuan Lewotana.
Adonara adalah gambaran kampung besar yang menaungi kampung-kampung kecil yang berada di Pulau Adonara. Adonara adalah lewotana, tempat bertahtanya Nubanara di setiap kampung, yang masyarakatnya harus berkomitmen dan berkarya "gelekat lewo, gewayan tana", pengabdian untuk kemaslahatan banyak orang demi kemajuan Lewotana. Adonara memanggil atau Lewotana Maranet adalah sebuah seruan kepada putra-putrinya, baik yang berada di Pulau Adonara maupun berada di luar Pulau Adonara dan putra-putri lainnya untuk kembali membangun komitmen kebersatuan untuk berkarya "gelekat Lewo, Gewayan tana, berbakti kepada Lewotana untuk kemaslahatan banyak orang.
Penulis teringat seorang Paul Arnd, dalam buku Ata Kiwan karya monumental Ernest Vatter memberikan sebuah pelabelan Adonara sebagai The Murder Island, atau pulaunya para pembunuh. Penulis menyadari bahwa pelabelan itu tentu sangat terkait dengan perkembangan peradaban hidup pada saat itu. Konteks hidup masyarakat pada saat itu adalah berperang untuk mendapatkan kehidupan.
Berperang untuk mendapatkan kekuasaan, kekuasaan itu adalah tanah dan tanah itu adalah kehidupan. Peradaban hidup waktu itu menuntut demikian, parang dan tombak (knube noo gala) adalah instrumen orang Adonara untuk memperjuangkan hidup dan mempertahankan hidup. Membunuh atau dibunuh, hidup ataukah mati.
Paul Arnd seorang etnograf adalah seorang pencatat realitas lapangan yang tanpa memberikan sebuah pandangan hasil analisa sebagaimana layaknya seorang Antropolog lainnya. Seorang etnograf tidak mengkaji secara mendalam pada sebuah fakta lapangan. Hal terpenting bagi seorang etnograf adalah mencatat atau memberikan gambaran fakta lapangan, sebagai dasar suatu proses kajian antropologi. Atau dalam bahasa sederhananya etnografi adalah suatu kajian awal dalam proses kajian antropologi.
Terlepas dari metode kajian, Paul Arnd telah memberikan suatu isyarat bahwa pulau ini rentan dengan konflik. Atau setidak-tidaknya tindakan bunuh-membunuh adalah suatu tindakan akhir dari sebuah pertarungan. Bunuh membunuh manusia bukanlah suatu kultur orang Adonara. Bunuh-membunuh hanyalah sebuah cara menyelesaikan persoalan dengan tindakan yang irasional. Pulau para pembunuh, yang distigmakan oleh Paul Arnd, dapat menjadi suatu motivasi d iperadaban hidup modern ini. Fakta lapangan menunjukkan bahwa realitas peradaban hidup telah berubah seiring juga dengan perubahan instrumen hidup. Di era peradaban modern ini buku dan pena (buku biliken teratu, pena matan puluh pito) telah mengganti instrumen perang menggunakan parang dan tombak (knube noo gala) dalam hidup orang Adonara saat ini.
Wujud nyata peradaban "buku dan pena", telah menghasilkan sekelompok kecil anak muda asal Adonara yang tergabung dalam Forum Perjuangan Adonara Kabupaten (FPARK) yang berada di Pulau Kroko Puken Tana Lembata, yang merasa dipanggil oleh Adonara (Lewotana) untuk mencoba menuangkan pikiran searah dengan perkembangan peradaban hidup demokrasi. Tepatnya di penghunjung bulan Desember 2005, mereka bergandengan dengan masyarakat Adonara untuk mulai berjuang untuk memekarkan Adonara menjadi sebuah daerah otonomi baru. Kini perjuangan hampir mencapai titik finalnya, karena pada tanggal 29 September 2014, tinta sejarah ditulis dengan warna emas akan memberikan sebuah nama Pulau Adonara sebagai daerah otonomi baru ke depan.