Obama Menangis di Tepi Supul...
SUPUL, sebuah danau di tepi kota Niki-Niki pedalam-an Timor. Danau kecil de-ngan rawa-rawa dan rumput liar ini terletak di Desa Su-pul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Oleh Amanche Franck Oe Ninu dan Arky Manek
SUPUL, sebuah danau di tepi kota Niki-Niki pedalam-an Timor. Danau kecil de-ngan rawa-rawa dan rumput liar ini terletak di Desa Su-pul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Bagi setiap orang yang melintasi jalan trans utama pulau karang ini, Danau Supul seperti tidak menarik untuk dipandang.
Rumput liar yang tumbuh di sekitar danau, bahkan di tengah danau menjadikan air di danau ini tidak tampak jelas dari tepi jalan. Seperti hamparan padang berisi mata air saja, bila sepintas kita melintas. Bagi orang-orang Supul sendiri dan masyarakat seputar Niki-Niki, Supul tetaplah danau mereka yang memberikan penghidupan juga pelepas dahaga di tengah kerontang-nya tanah Amanuban.
Supul dan penghidupan di seki-tarnya tetaplah biasa dan sederhana bila sepintas pula kita menyimaknya. Na-mun ada yang menarik akhir-akhir ini di sekitar da-nau sunyi ini. Kesunyian dari ladang-ladang dan hampar-an bedeng sayur di sekitar Supul seperti semakin se-marak dengan celoteh bah-kan tangisan para Obama.
Obama atau Osama?
Obama. Ojek bawa Mangan. Mereka adalah sekelompok tukang Ojek di daerah Supul sampai Niki-Niki dan sekitarnya yang memperjualbelikan ma-ngan. Obama tidak hanya mengojek penumpang, te-tapi juga bongkahan-bong-kahan mangan dalam ka-rung pun menjadi “penum-pang” mereka.
Obama layaknya adalah solidaritas para tukang ojek untuk mencari hidup. Selain me-ngojek manusia, pekerjaan mengumpulkan dan mem-perjuabelikan mangan adalah penghasilan baru.
Para Obama ini pada mulanya berprofesi hanya melulu sebagai tukang ojek. Bahkan ada plesetan Osa-ma bagi mereka yang tidak mengojek mangan, tetapi hanya mengojek manusia. Osama, ojek saja manusia. Ada pilihan Obama atau Osama di antara para tukang ojek di Niki-Niki dan sekitarnya.
Mau jadi Obama atau Osama? Pilihan untuk menjadi Obama adalah pi-lihan yang eksklusif, namun menantang. Eksklusif kare-na dengan menjadi Obama, seseorang tidak hanya mengojek manusia tetapi juga berurusan dengan jual beli dan distribusi mangan. Pilihan menjadi Obama juga menantang karena mereka akan berurusan dengan berbagai pihak yang punya kepentingan dengan batu mangan.
Pihak-pihak itu antara lain, pemilik lahan mangan, perusahaan yang mengeksplorasi dan mengeksploitasi mangan, pihak kepolisian dalam kaitan dengan legalnya distribusi dan lalu lintas mangan antar daerah, atau juga dengan pemerintah yang punya kewenangan melegalisasi usaha penambangan mangan.
Kasus terakhir yang me-nimpa para Obama terjadi pada pertengahan April 2010 lalu. Puluhan Obama melakukan aksi protes ter-hadap perusahaan tambang SoE Makmur Resources (SMR), perusahaan yang mengelola mangan di Oe-fenu, Desa Supul, Keca-matan Kuatnana dan di Desa Noebesa, Kecamatan Amanuban Tengah. Aksi protes ini berakhir ricuh. Dua mobil milik perusahaan SoE Makmur Resources hangus dibakar. Puluhan Obama ditahan di Mapolres Timor Tengah Selatan (TTS).
Kasus para Obama versus SoE Makmur Resources ini berbuntut panjang dengan protes berkelanjutan terhadap pemerintah daerah Kabupaten TTS.
Cerita kasus para Obama ini pun makin menambah daftar panjang persoalan mangan di Timor. Sebelum-nya, sudah beberapa nyawa manusia melayang sia-sia di daerah Bikomi Kabupaten Timor Tengah Utara lantaran tertimbun di lokasi tambang mangan.
Peristiwa-peristiwa di seputar tambang mangan ini, seharusnya menyentak nurani kita untuk bertanya; tambang mangan itu berkat atau petaka? Ataukah kita membiarkan saja ada tangis masyarakat seperti para Obama di tepi Supul? Per-tanyaan yang lebih krusial dan eksistensial adalah: Apakah kita hanya membiar-kan saja nyawa manusia melayang akibat bongkah-an-bongkahan batu mangan itu?
Mari Bicara Mangan
Rupanya setelah bong-kahan batu-batu mangan itu berubah menjadi bongkah-an-bongkahan persoalan yang menimpa hidup, kita seharusnya berpikir serius tentang usaha tambang mangan di daerah ini. Kita tidak berhenti pada proses berpikir semata, marilah kita berwacana tentang mangan dan persoalan hidup manusia di daerah ini. Mungkin betul, mangan bisa menghidupi kita. Mangan bisa mengenyangkan perut kita, lalu menyisakan lembaran-lembaran rupiah di kantong kita.
Namun, lagi-lagi kita di-perhadapkan pada perta-nyaaan yang paling meno-hok perihal kemanusiaan kita. Apakah nyawa manusia boleh dibiarkan melayang sia-sia lantaran usaha tambang yang tidak arif dan bijak? Apakah kita masih bisa mengatakan kita sejah-tera lahir batin, tetapi se-benaranya kita menyembu-nyikan tangis-tangis rakyat kecil di balik usaha-usaha demi kesejahteraan? Maka, di sini bicara mangan tidak berarti melarang dan me-nolak tambang mangan.