Bukan Gerimis yang Bertepi

PINTU Unit Gawat Darurat masih tertutup rapat hingga jam dua belas malam. Orang tua George menunggu dengan tak sabar

Editor: Alfred Dama
zoom-inlihat foto Bukan Gerimis yang Bertepi
Net
Ilustrasi

PINTU Unit Gawat Darurat masih tertutup rapat hingga jam dua belas malam. Orang tua George menunggu dengan tak sabar dan wajah mereka gelisah.

"Ma, kita harus yakin bahwa putra kita dapat terselamatkan," kata ayah George meyakinkan istrinya.
Dokter Franza muncul dari balik pintu.

"Bisa bicara dengan orang tua dari pemuda yang di dalam?" tanyanya setelah menanggalkan masker yang ia gunakan. Pak Darmawan dan Monika istrinya segera mendekati dokter Franza dengan keyakinan bahwa putra mereka akan luput dari maut, walaupun terlihat sedikit cemas.

"Bagaimana, Dok, keadaan George? Sudah siuman, `kan?" tanya Monika dengan harapan bahwa dokter itu akan menjawab `ya'. Kerja keras pasti berbuah hasil. Tetapi tidak dalam hal menentukan waktu hidup seseorang yang sudah kedatangan maut. Mulanya makluk berakal budi tidak dapat hidup untuk selamanya. Kini maut telah datang menjemput.

"Sebelumnya saya minta maaf karena kami telah berusaha untuk menyelamatkan George, namun pembuluh darahnya pecah. Ia mengalami pendarahan hebat, sehingga nyawanya tidak dapat kami selamatkan," jelas dokter Franza dengan berat hati.

"Dok, bohong, `kan?" tanya Monika dengan terkejut dan tidak percaya.

"Benar, Bu. Putra Ibu mengalami banyak luka sehingga kehilangan banyak darah!" dokter itu berkata.

"Dokter jangan bercanda. George pasti masih hidup. Saya tahu George itu kuat," kata Darmawan dengan tegas sambil memegang tangan dokter. Dokter Franza terdiam seakan kehabisan kata-kata.

Sepasang suami istri itu hanya dapat menangisi apa yang telah terjadi pada putra tunggal mereka. Kehadiran orang yang dikasihinya rasanya tak ternilai harganya. Apabila kini dia tidak lagi hadir untuk selamanya, bukan berarti segala tentangnya hilang begitu saja. Kehadiran seseorang tidak dapat tergantikan oleh apapun dan sampai kapanpun. Demikian yang sedang dirasakan oleh mereka yang ditinggalkan.

                    ***
Hari masih pagi dan di Pekuburan Kalam dekat Rumah Sakit Clarus, sunyi tanpa suara yang berarti. Senyap. Tempat manusia beristirahat setelah perjuangan hidupnya berakhir, entah berhasil maupun tidak. Tidak ada bunyian ataupun suasana yang ganjil yang mengusik tempat yang kudus itu.

Setelah kepergian George, ayah dan ibunya sangat shock dan terpukul. Rutinitas yang dijalani kedua orang tuanya hanya sekadar cara untuk mengurangi rasa sedih yang mereka alami, tidak seperti dahulu ketika putra mereka masih hidup.

Kini bagi mereka, sia-sialah bekerja. Hanya ada kesepian dan kerinduan akan putra tunggal mereka yang telah pergi. Mereka yakin bahwa mereka hanya berpisah secara fisik dengan anak kebanggaan mereka.

Perstiwa kecelakaan maut telah terjadi pada hari Sabtu (5/3/2012) di Jalan Flamboyan, Kota Manado. Akibat kecelakaan tersebut, George Budianto mahasiswa semester empat Fakultas Hukum di Universitas Sam Ratulangi meninggal dunia.

Penyebab utamanya, rem sepeda motor yang dikendarainya tidak berfungsi sehingga sepeda motor yang sementara melaju kencang menabrak truk yang sedang parkir di pinggir jalan. Luka parah dan darah yang terus mengalir membuat pemuda 20 tahun ini tak sadarkan diri. Sepeda motornya rusak berat. Korban diduga tewas sesaat setelah tiba di Rumah Sakit akibat terlambat mendapat penanganan medis.

Caesil segera melepaskan surat kabar yang ia baca dan memutuskan untuk kembali ke Manado guna mengetahui segalanya tentang apa yang baru saja ia baca. Dalam perjalanannya, ia berharap agar pemuda yang ada dalam surat kabar itu bukanlah George kekasihnya.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved