Pengantar Pertunjukan Ratu Balonita
Mencari Jejak Kampung Halaman
Pertunjukan teater yang disutradarai Cornelia Djobo adalah upaya membaca dan menghadirkan kenyataan hidup dan keberagaman identitas budaya.
Pengamat Seni Pertunjukan, Staf Kebudayaan di Dinas Budpar Flotim
LAKON Ratu Balonita (2012) karya Gerson Poyk akan dipentaskan oleh Lembaga Seni Budaya Rumah Poetika Kupang pada hari Kamis-Jumat (12-13/04/2012) pukul 18.00 wita di UPTD Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pertunjukan teater yang disutradarai Cornelia Djobo adalah upaya membaca dan menghadirkan kenyataan hidup dan keberagaman identitas budaya masyarakat NTT lewat realitas performatif pertunjukan.
Keberagaman NTT adalah penegasan akan adanya daya hidup dan interaksi budaya di masa lampau. Pada keragaman tersebut, masyarakat NTT melihat dirinya di masa lalu dan menatap kebesarannya di masa yang akan datang. Melalui Ratu Balonita, Gerson Poyk menghadirkan kenyataan NTT sebagai tanah leluhur dalam perspektif waktu.
Di mana kenangan masa kecil: aura pesta reba, permainan sumbu koa, pesona gadis Rote penjual nira, kisah tentang leluhur yang bertahta di tiga warna Danau Kelimutu terasa kian jauh saat ini. Ada cekaman kegetiran. Pun bayangan kekhawatiran yang menanti di ujung jalan pembangunan.
Tanah leluhur digambarkan sebagai kampung yang telah kehilangan keindahan dan wajah riang anak-anaknya. Sukacita hujan, suara katak yang dihasilkan dari gesekan tempurung, daun pandan dan air dalam labu kini tinggal kenangan. Kamilus kecil tersedak kehilangan suaranya dan Mau Kiak anak perantau lelah mencari jejak makna dari dunia anak-anak dan keindahan permainan masa kecilnya.
Percakapan polos keduanya, percakapan yang khas terhadap anak-anak, segera tenggelam oleh hiruk-pikuk dan riuh-reda kampanye tentang datangnya Ratu Balonita. Hidup seakan hanya jadi medan kampanye. Rakyat senantiasa disibukkan dengan aneka persiapan untuk menyambut ratu dan ekonomi balonisme yang dibawanya. Era baru kekuasaan Ratu Balonita menghapus sirih-pinang dari mulut rakyat. Kampung yang dulu sebagai jagat makna segera disulap menjadi ruang transaksi jargon dan mimpi-mimpi. Ratu Balonita, oleh menteri ekonomi dan kesehatan, diperkenalkan sebagai dewi kesejahteraan baru dengan balon sebagai simbol keindahan dan harapan.
Mulut manis ratu dan para menterinya memikat hati rakyat yang lugu. Kepolosan dan kepercayaan rakyat dimanfaatkan. Rakyat tersihir janji. Diperdaya sampai mereka berdesak-desakan menukarkan segala yang ada padanya demi harapan akan perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Gadis Rote penjual tuak lantas menyerahkan tuak segarnya demi mendapatkan balon impian itu. Ada ibu yang menyerahkan bayinya, mahasiswa menyerahkan kampusnya bahkan pensiunan tentara menukarkan kaki palsunya agar bisa berjalan dengan balon itu.
Ekonomi balonisme ternyata cuma gelembung hiasan. Kosong ketika dibuka. Sedang rakyat telah diminta menyerahkan segala yang menopang kehidupan mereka selama ini: tuak manis, jagung bose dan ikan talinya. Pun cerita asal-usul, kekayaan budaya, jagat nilai dan kearifan lokalnya. Rakyat digiring keluar dari kesadaran ruang dan waktunya, dari akar budaya dan tanah leluhurnya. Disilaukan matanya oleh warna-warni balon dan dibuat terasing dari dirinya. Sakralitas kampung halaman telah dibongkar. Rakyatnya menggelandang. Tak ada lagi tempat di mana mereka menemukan kembali keutuhan dirinya.
Rakyat dalam kekuasaan Ratu Balonita kehilangan elemen alam pada tubuh dan kesadarannya. Tatapannya kosong, bibirnya kering, wajahnya pucat. Juga kehilangan kemurahan alam. Terlempar dari rahim pertiwinya, dari gunung, padang dan lautnya. Piringnya kosong. Keluhan lapar kemudian jadi mantranya. Ekonomi balonisme hanya memelihara kelicikan, keserakahan dan ketrampilan menjilat. Di balik janji manis kekuasaan ratu ternyata bersemayam mesin eksploitasi dan ketiadaan nurani.
Begitu getirnya kehilangan kampung halaman. Hujan jadi ungu dan kunang-kunang sudah tak lagi menghuni malam. Teriak lapar membuat gigil dan gemetar. Rindu pada air nira, jagung bose menambah miris penderitaan. Senandung Bolelebo pun seolah sudah berada begitu jauh, ditinggalkan. Rakyat kehilangan bahasa, kehilangan nyanyiannya.
Kendati demikian, lakon ini masih menyisakan harapan dengan hadirnya kembali Kamilus dan Mau Kiak pada penutup kisah. Keduanya menjadi simbol harapan dan peraihan kembali sukacita dari kampung halaman yang hilang. Penemuan kembali jati diri yang terdepak jauh oleh riuh retorika dan slogan kemajuan kosong. Harapan baru yag dibawa Kamilus dan Mau Kiak bukan lagi bersandar pada balon-balon mimpi melainkan pada kenyataan kekayaan budaya dan karifan lokal yang merupakan modal bagi pembangunan manusia dan masyarakat NTT ke depannya.
Melalui Ratu Balonita, Gerson Poyk sebagai sastrawan mencerap kenyataan obyektif (aktual), menangkap dinamika pembangunan dan menerobos melihat kenyataan kemanusiaan, kesadaran, dan gerak batin manusia NTT di tengah arus perubahan. Betapa pentingnya merawat interioritas jiwa-batin manusia baik sebagai pribadi maupun kolektif. Ketercerabutan dari akar budaya dan lingkungan menciptakan keterasingan. Keterasingan memicu gairah konsumerisme. Membuat manusia kehilangan keceriaan, keutuhan dan otentisitas dirinya. Keterasingan dan keterpecahan diri melahirkan sikap dan tingkah laku yang tidak seimbang, yang menimbulkan persoalan bagi masyarakat dan alam lingkungannya.
Pementasan
Pementasan Ratu Balonita oleh Lembaga Seni Budaya Rumah Poetika Kupang adalah upaya menemukan wujud aktual lakon. Memberi bentuk dan nafas pada teks sehingga dapat dilihat, didengar, dirasa dan dialami sebagai sebuah pengalaman perjumpaan. Menghadirkan kembali keindahan dan kekayaan budaya melalui penggalian idiom-idiom lokal NTT. Selain itu, menurut ketua Rumah Poetika Kupang Abner Paulus Raya, pementasan teater Ratu Balonita merupakan momentum refleksi budaya.
Oleh karena itu, momentum ini menjadi peristiwa budaya dimana spirit kreatif dan ruh kebudayaan kembali ditemukan melalui eksplorasi penciptaan karya seni. Teater dipilih karena merupakan medium ekspresi seni yang paling kompleks. Bahwa sudah saatnya gennerasi muda NTT menggali, menulis dan bicara tentang dirinya. Sehingga ketika menyebut diri sebagai orang NTT maka yang berdiri di belakang kita adalah sejarah dan kebudayaan. Cermin dari kreativitas dan kekayaan kemanusiaan kita. *