Wisata NTT

Wisata NTT,  Sisi Lain Keindahan Sumba ada Rumah Tanpa Logam dan Kuburan Batu Desa Ratenggaro

Namun, Sumba juga punya sisi lain seperti peninggalan leluhur berupaka  perkampunan adat dan kubur batu yang eksotik

Penulis: Alfred Dama | Editor: Alfred Dama
KEMENPAREKRAF
Desa Ratenggaro di Sumba Barat Daya. Disebut sebagai pulau terindah di dunia. 

Kubur batu pertama adalah milik Ratondelo, anak laki-laki pasangan Gaura-Mamba, di kemudian hari dipercaya sebagai Raja Sumba. Setelahnya adalah kubur batu dari Rato Pati Leko, seorang pejuang paling dihormati oleh warga setempat.

Di luar itu ada empat menhir diabadikan sebagai tugu, yakni segel kampung sebagai penanda teritori desa adat. 

Tugu lain adalah Katoda, yaitu batu yang dipercayai bertuah bisa mendatangkan kemenangan dalam berperang. Jumlahnya dua buah. Tugu ketiga adalah kubur Ambu Lere Loha, yang dipercaya mempunyai kekuatan guntur kilat. Terakhir adalah tugu untuk meminta hujan.

Keunikan Ratenggaro tak hanya soal menhir. Kehidupan masyarakat di sana masih memegang kuat tradisi peninggalan para leluhur. 

Pemujaan terhadap para leluhur menjadi bagian utama dari kepercayaan mereka yakni Marapu, yang juga dianut oleh sebagian masyarakat di Pulau Sumba. Hal ini tampak dari bentuk tempat tinggal mereka. Penduduk di sana tinggal di rumah panggung dengan atap menara menjulang tinggi.

Menara pada rumah adat di Ratenggaro adalah yang tertinggi di antara rumah adat lain di seluruh Pulau Sumba

Tingginya mencapai 15 sampai 30 meter. Selain melambangkan status sosial, menara bak menggapai langit ini merupakan simbol penghormatan terhadap arwah para leluhur.

Dengan demikian, rumah tak hanya berfungsi sebagai tempat hunian, melainkan juga sebagai sarana pemujaan. 

Kampung Adat Ratenggaro pernah tiga kali nyaris musnah terbakar api. Kebakaran pertama terjadi sebelum 1964, dipicu oleh persaingan antardesa. Konon, ada lontaran panah api dari luar kampung. Api kemudian membakar seluruh rumah yang ada kampung adat itu.

Di tahun yang sama, peristiwa kebakaran terulang lagi ketika warga kampung tengah menggelar pesta adat di malam hari. Seperti perisitiwa kebakaran sebelumnya, peristiwa kebakaran kedua ini membuat semua penduduk kehilangan rumah mereka dan seluruh warga terpaksa mengungsi ke luar kampung. 

Kebakaran ketiga kalinya terjadi pada 2004 ketika perkampungan baru separuhnya dibangun ulang. Sebanyak 13 rumah ludes oleh si jago merah.

Bagi masyarakat setempat, mendirikan rumah adat merupakan pekerjaan besar. Pengerjaannya tidak hanya melibatkan semua penduduk kampung, melainkan juga restu dari para leluhur. 

Untuk itu, mereka melakukan ritual adat dipimpin oleh tetua desa. Tujuannya untuk mendapatkan petunjuk apakah leluhur mengizinkan mereka untuk membangun rumah atau tidak. Jika disetujui, ada rangkaian upacara lain yang harus dilaksanakan selama proses pembangunan rumah.

Pada 2011, rumah utama di Ratenggaro yaitu Uma Katoda Kataku, rumah sebagai simbolisasi ayah atau dituakan, telah selesai dibangun. Semua warga kampung yang berjumlah 600 jiwa hadir. Mereka bergotong royong menyumbang dana dan makanan serta membantu mendirikan empat tiang utama dan menara.

 
Rumah Adat Ratenggaro

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved