NTT Terkini
UNFPA dan Siklus Indonesia Dorong Jurnalisme Berperspektif Gender
Senior Jurnalis Kompas, Sonya Hellen Sinombor, yang menjadi narasumber menegaskan jurnalisme bukan hanya milik wartawan atau media arus utama.
Laporan reporter POS-KUPANG. COM, Tari Rahmaniar Ismail
POS-KUPANG.COM, KUPANG – UNFPA Indonesia bersama Siklus Indonesia menyelenggarakan kegiatan Workshop Pelatihan jurnalis dan Kreator Konten terkait Isu Kesehatan reproduksi,Gender, dan kependudukan yang diselenggarakan pada Rabu (27/8/2025) di Hotel Swiss-Belcourt Kupang.
Kegiatan ini menghadirkan 32 peserta yang berasal dari kalangan jurnalis, kreator konten, hingga komunitas lokal di Kota Kupang.
Isu perkawinan anak, perbudakan modern, hingga praktik-praktik berbahaya terhadap perempuan di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Senior Jurnalis Kompas, Sonya Hellen Sinombor, yang menjadi narasumber menegaskan jurnalisme bukan hanya milik wartawan atau media arus utama.
Baca juga: UNFPA Menyediakan Peralatan Simulasi Persalinan ke Semua Sekolah Kebidanan di Timor Leste
“Siapa saja bisa melakukannya, apalagi di era media sosial. Jangan tunggu wartawan. Kalau ada praktik berbahaya terhadap perempuan, misalnya kawin paksa atau perbudakan, maka publikasi konten bisa menjadi bentuk perlawanan,” ujarnya saat diwawancarai POS-KUPANG. COM, Rabu (27/8/2025).
Menurutnya, diam terhadap praktik-praktik tersebut justru sama dengan melanggengkan kekerasan.
“Ketika kita diam, kita sedang melegitimasi. Lebih parah lagi, kita sedang menormalisasikan hal-hal yang merendahkan martabat perempuan,” ungkap Sonya.
Ia juga mengatakan, media dan kreator konten harus berani keluar dari jebakan jurnalisme sensasional dan clickbait.
“Kalau kita hanya mengejar sensasi, kita tidak memberi sumbangan apapun untuk penegakan hak asasi manusia. Padahal dunia sudah bergerak mengampanyekan kesetaraan gender, sementara kita malah masih jadi pelaku ketidaksetaraan lewat pemberitaan yang bias,” ungkapnya.
Dalam sesi diskusi, Sonya menyoroti pentingnya jurnalisme empati yang tidak bisa digantikan kecerdasan buatan (AI).
“AI bisa meniru tulisan, tapi tidak bisa merasakan. Empati hanya bisa dimiliki jurnalis manusia. Ketika kita mewawancarai langsung orang yang sedang berduka, kita bisa menangkap kesedihannya. Itu yang membuat jurnalisme punya hati,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan POS-KUPANG.COM para peserta menunjukkan antusiasme tinggi dalam pelatihan tersebut.
Sonya mengaku kagum karena peserta dari latar belakang berbeda baik jurnalis, dosen, maupun konten kreatormampu menampilkan perspektif yang peka gender.
Sementara itu, Apolinaris Lake jurnalis RRI berharap pelatihan semacam ini bisa rutin digelar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.