Opini
Opini: Alarm Merah Flobamora di Bawah Ancaman Darurat Predatorisme Anak
Ketimpangan, kemiskinan, dan literasi digital yang rendah menjadi pintu masuk bagi praktik eksploitasi yang semakin canggih.
Oleh: Dwison Andresco Renleeuw
Mahasiswa Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
POS-KUPANG.COM - Tahun 2025 menjadi tahun kelam bagi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam rentang kurang dari sepuluh bulan, laporan demi laporan kekerasan seksual terhadap anak terus bermunculan.
Dari kasus perdagangan orang, prostitusi daring, hingga pemerkosaan oleh keluarga sendiri, semuanya menandakan satu hal: Flobamora sedang menghadapi darurat predatorisme anak.
Fenomena ini bukan sekadar deretan berita kriminal, melainkan gejala sosial yang menyingkap wajah lain dari pembangunan di daerah kepulauan itu.
Baca juga: Keadilan Belum Maksimal: Mantan Kapolres Ngada Divonis 19 Tahun, Korban Eksploitasi Jadi Terpidana
Di tengah pertumbuhan ekonomi dan geliat pariwisata seperti di Labuan Bajo, banyak keluarga justru hidup dalam kerentanan sosial yang tinggi.
Ketimpangan, kemiskinan, dan literasi digital yang rendah menjadi pintu masuk bagi praktik eksploitasi yang semakin canggih.
Tragedi demi tragedi yang menimpa anak-anak NTT seolah menjadi cermin betapa rapuhnya sistem perlindungan sosial kita.
Negara, gereja, sekolah, bahkan keluarga, semuanya tampak belum mampu menjadi benteng aman.
Pertanyaannya kini: Sampai kapan anak-anak harus menanggung dosa sosial yang tidak mereka buat?
Gelombang Kasus yang Mengguncang
Awal tahun dibuka dengan kabar memilukan. Seorang siswi SMA asal Kabupaten Kupang direkrut melalui Facebook dengan janji pekerjaan, lalu dibawa ke Batam dan dieksploitasi.
Kasus itu tercatat resmi dalam laporan Pusiknas Polri (28 Februari 2025).
Tiga bulan kemudian, pada Mei 2025, Kepolisian Daerah NTT mengumumkan hasil Operasi Pekat Turangga. Empat orang ditangkap karena terlibat prostitusi daring di Kupang.
Salah satunya adalah pelajar SMK yang masih aktif sekolah. Jaringan itu menggunakan aplikasi MiChat untuk mencari pelanggan dan bertransaksi di kamar kos.
Isu serupa juga mengguncang Labuan Bajo. Seorang pejabat Dinas Sosial sempat menyebut adanya dugaan keterlibatan pelajar SD hingga SMA dalam prostitusi terselubung.
Walau kemudian diklarifikasi, pernyataan itu menyingkap kecemasan sosial yang nyata.
Puncaknya pada Juni 2025. Seorang bocah perempuan berusia lima tahun diperkosa berulang kali oleh kerabatnya sendiri di Labuan Bajo.
Kasus ini menyentak kesadaran publik, di mana predator ternyata bisa berasal dari lingkungan paling dekat yaitu dari rumah sendiri.
Wajah Baru Kekerasan: Dari Medsos ke “Dark Web”
Kekerasan terhadap anak di NTT kini berwajah baru. Jika dulu eksploitasi berlangsung di ruang fisik, kini ia berpindah ke ruang digital. Media sosial menjadi ladang rekrutmen bagi pelaku.
Di Lembata, misalnya, seorang siswi SMA diduga menjual foto dirinya kepada gurunya hanya dengan imbalan puluhan ribu rupiah.
Kasus ini terungkap lewat layanan konseling HIV/AIDS keliling di sekolah.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana eksploitasi seksual kini menjelma dalam bentuk transaksi digital yang sulit diawasi.
Anak-anak tidak hanya menjadi korban predator, tetapi juga korban dari sistem nilai yang membiarkan tubuh mereka diperdagangkan demi kebutuhan ekonomi kecil.
Kasus yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma, menandai puncak ironi.
Ia divonis 19 tahun penjara setelah terbukti mengeksploitasi anak di bawah umur dan menyebarkan konten ke dark web.
Seorang aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi bagian dari jaringan predatorisme anak.
Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa kejahatan seksual kini menembus batas profesi, jabatan, dan kelas sosial.
Predatorisme tidak lagi tentang “orang jahat di luar sana”, melainkan sistem yang rusak di dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
Darurat Seksual dan Krisis Kesehatan
Fakta lain yang tak kalah mengejutkan dari Kementerian Hukum dan HAM NTT. Sekitar 75 persen narapidana di seluruh lapas dan rutan NTT adalah pelaku kekerasan seksual.
Angka ini menggambarkan bahwa kejahatan seksual telah menjelma menjadi epidemi sosial, bukan sekadar pelanggaran moral individu.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Komisi Penanggulangan AIDS (KPAD) Kupang melaporkan adanya 254 pelajar dan mahasiswa yang positif HIV/AIDS per September 2025
Angka itu bahkan melampaui jumlah pekerja seks komersial terdaftar yang “hanya” 203 orang.
Fakta ini mengindikasikan maraknya prostitusi terselubung di kalangan remaja dan lemahnya pendidikan seksualitas yang sehat.
Luka Struktural: Kemiskinan dan Budaya Diam
Di balik semua itu, ada persoalan yang lebih dalam: kemiskinan dan budaya diam. Banyak korban direkrut melalui janji pekerjaan atau uang jaja.
Keluarga miskin yang terdesak seringkali tidak menyadari bahwa anaknya menjadi korban eksploitasi.
Di sisi lain, masyarakat NTT masih cenderung bungkam terhadap kasus kekerasan seksual.
Stigma terhadap korban membuat mereka memilih diam daripada melapor. Budaya diam ini membuat pelaku merasa aman, terutama jika mereka memiliki kekuasaan atau pengaruh sosial.
Dalam banyak kasus, keadilan baru bergerak setelah isu viral di media sosial.
Padahal di balik setiap berita yang viral, ada puluhan kasus lain yang tenggelam tanpa suara.
Membangun Ekosistem Aman untuk Anak
Darurat predatorisme anak tidak akan berakhir tanpa perubahan sistemik. Langkah pertama adalah memperkenalkan pendidikan seksualitas dan literasi digital sejak dini.
Tujuannya bukan mengajarkan perilaku seksual, melainkan memberikan pengetahuan tentang batas tubuh, relasi sehat, dan bahaya dunia maya.
Langkah kedua, tokoh agama dan adat harus mengambil peran moral dalam pencegahan.
Dalam masyarakat NTT yang religius dan berakar kuat pada adat, suara moral dari mimbar dan bale bisa menjadi benteng sosial yang efektif.
Langkah ketiga, pemerintah daerah dan aparat hukum perlu memperkuat mekanisme pelaporan dan perlindungan korban.
Posko pengaduan, layanan psikologis, hingga pengawasan ruang daring harus diperluas sampai tingkat desa.
Tanpa perlindungan yang konkret, korban akan terus bungkam dan pelaku akan terus bebas berkeliaran.
Alarm yang Tak Boleh Diabaikan
Serangkaian kasus ini bukan sekadar deretan berita kriminal. Ini adalah cermin dari keretakan sosial dan kegagalan kolektif menjaga anak-anak kita.
“Alarm merah” sudah berbunyi keras di tanah Flobamora dan bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membangunkan kesadaran bahwa predatorisme anak adalah bentuk perbudakan modern yang tumbuh di depan mata.
Anak-anak NTT berhak tumbuh dalam ruang yang aman, bukan di bawah bayang-bayang ketakutan dan eksploitasi.
Jika masyarakat terus menutup mata, maka yang diwariskan kepada generasi berikutnya bukanlah tanah kasih, tetapi tanah luka.
Sudah saatnya NTT berhenti menjadi berita tentang korban. Sekarang waktunya menjadi berita tentang perlawanan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Dwison Andresco Renleeuw
Opini Pos Kupang
predator seks
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira
POS-KUPANG.COM
anak NTT korban kekerasan seksual
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
| MBG: Kualitas Atau Kuantitas Pendidikan |
|
|---|
| Opini: By Product Ikan Berpotensi Menyelamatkan Gizi Masyarakat dan Dompet Peternak |
|
|---|
| Opini: TKA Mendorong Terwujudnya Asesmen yang Obyektif dan Adil |
|
|---|
| Tumhiho: Membangun Kemandirian dan Kehormatan Bangsa |
|
|---|
| Opini: IKK NTT Terendah Ketiga, Harapan atau Tantangan di Tengah Pemangkasan TKD? |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Dwison-Andresco-Renleeuw.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.