Resensi Buku

Membaca Lompat Kapal ke Amerika dan Deadline: Kisah di Balik Liputan Jurnalis Kompas 

Kedua buku ini, meski ditulis dari pengalaman jurnalistik, merekam perjalanan eksistensial manusia yang sedang berjuang menjadi bebas dan otentik. 

|
Editor: Dion DB Putra
POSKUPANG.COM/ONONG BORO
PELUNCURAN BUKU - Romo Leo Mali (ketiga dari kiri), narasumber lain dan undangan saat meluncurkan dua buku karya jurnalis Kompas, Frans Pati Herin di kampus Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Kamis (9/10/2025). 

Oleh: RD. Leo Mali
Rohaniwan dan Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Sabtu malam, 4 Oktober 2025, Frans Pati Herin datang menemui saya dan meminta komentar atas dua bukunya: Lompat Kapal ke Amerika dan Deadline: Kisah di Balik Liputan Jurnalis Kompas. 

Malam itu, hingga menjelang subuh, saya menekuni kedua karya yang sederhana namun amat inspiratif ini. 

Sejak halaman-halaman awal, saya menangkap getaran batin yang kuat: kegelisahan, keberanian, dan kerinduan Frans untuk terus melompat melampaui batas-batas yang mendeterminasi diri dan lingkungannya. 

Kedua buku ini, meski ditulis dari pengalaman jurnalistik, merekam perjalanan eksistensial manusia yang sedang berjuang menjadi bebas dan otentik. 

Baca juga: Wapemred Kompas Sebut Frans Pati Herin Role Model Jurnalisme Kemanusiaan

Untuk itu Lompat Kapal ke Amerika dan Deadline dapat dibaca sebagai dua judul dari satu buku atau bahkan dua wajah dari satu drama manusia dalam membuat sejarah. 

Keduanya memuat tiga lapis makna lompatan: geografis, eksistensial, dan historis. 

Ketiga makna lompatan ini berpaut dalam satu poros: transendensi manusia—kemampuan untuk melampaui diri menuju makna yang lebih besar dari hidupnya. 

1. Lompatan Geografis: Dari Pinggiran ke Pusat—dan Kembali ke Pinggiran

Secara harfiah, Lompat Kapal ke Amerika menandai perpindahan geografis: dari desa Pandai di Adonara Barat menuju Jakarta, dan akhirnya ke kota-kota dunia seperti Singapura, Seoul, Honolulu, Washington, dan London. 

Nama-nama tempat itubukan sekadar titik di peta, melainkan ruang pembentukan diri—tempat di mana Frans Pati Herin menulis dan membentuk dirinya.

Perjalanan dari pinggiran ke pusat menghadirkan dua arah gerak yang saling menembus. 

Pertama, membawa suara pinggiran ke pusat: menghadirkan wajah-wajah yang lama disembunyikan dari peta besar bangsa. 

Kedua, membawa pusat ke pinggiran: mengajak pusat untuk menoleh pada kehidupan yang terlupakan. 

Dengan demikian, lompatan geografis menjadi dialektika ruang yang memperlihatkan bahwa martabat manusia adalah pusat sesungguhnya dari sejarah. 

Dalam perjalanannya, penulis memaknai setiap ruang sebagai panggung kemanusiaan universal. 

Ia menyingkap paradoks modernitas: bahwa pusat yang penuh fasilitas sering kehilangan makna, sementara pinggiran yang miskin justru menyimpan orisinalitas dan daya hidup. 

Dengan bergerak dari pinggiran, penulis mendekonstruksi pandangan lama tentang hubungan antara pusat dan pinggiran bahwa pusat lebih penting dan menentukan pinggiran dan menegaskan kembali bahwa keduanya, baik pusat maupun pinggiran hanyalah bentuk-bentuk pendefenisian ruang yang harus disatukan oleh solidaritas kemanusiaan yang melintasi waktu dan ruang. 

Karena itu, lompatan geografis ini bukan pelarian, melainkan perutusan: sebuah ziarah kemanusiaan untuk membawa kisah dari tepian republik ke jantung wacana global, agar dunia mengenal wajah manusia dari wilayah yang sering luput dari sorotan. 

Dalam pengertian ini, perjalanan geografis menjadi juga perjalanan batin: dari keterbatasan menuju keluasan makna, dari ruang sempit menuju cakrawala universal. 

2. Lompatan Eksistensial: Dari Fakta Diri ke Makna Diri

Dari makna geografis yang berakar pada ruang, kita beralih pada makna yang lebih dalam: lompatan eksistensial. 

Di sini manusia tidak lagi hanya berpindah tempat, melainkan berpindah kesadaran. 

Dalam perspektif fenomenologi transendental, setiap tindakan manusia bersifat intensional—selalu menyatukan titik noetis (kesadaran) dan titik noematis (fakta hidup). 

Lompatan eksistensial berarti keberanian untuk mengubah “apa yang terjadi padaku” menjadi “apa yang kupilih untuk dijalani.” 

Dalam Deadline, lompatan ini tampak nyata penuh risiko: dari Gunung Botak di Pulau Buru ketika Frans nyaris menjadi target operasi penambang emas ilegal; ke Laut Ternate yang nyaris menelannya; ke Pulau Babi ketika tersesat di laut Flores; hingga Asmat, ketika ia tumbang dihajar malaria. 

Semua pengalaman itu dijembatani oleh satu kata kunci: nekat. Namun “nekat” di sini bukan kebodohan, melainkan keberanian eksistensial yang lahir dari keyakinan akan sesuatu yang lebih besar dari
diri sendiri. 

Dalam bahasa Søren Kierkegaard, inilah the leap of faith — lompatan iman yang melampaui nalar menuju kedalaman makna. 

Lompatan yang dilakukan bukan karena kepastian rasional, melainkan karena harapan. 

Seperti Abraham yang meninggalkan Ur di tepi Sungai Efrat yang subur menuju tanah terjanji, atau Yosef yang percaya pada pesan dalam mimpi, manusia melompat karena percaya pada makna yang belum terlihat. 

Di sinilah dimensi transendensi tampak: manusia tidak berhenti pada “apa yang ada,” tetapi bergerak menuju “apa yang mungkin ada.”

Menegaskan hal ini Viktor Frankl dalam logotherapy-nya menunjukkan bahwa manusia dapat bertahan dalam penderitaan jika menemukan makna di dalamnya.

Frans menunjukkan kebenaran ini : ia tetap berakar pada kemanusiaan meski di tengah ancaman dan ketidakpastian. 

Eksistensinya menyejarah karena berpijak pada makna yang lahir dari kebebasan. 

3. Lompatan Historis: Dari Nasib Menuju Kebebasan

Jika lompatan eksistensial menyingkap kedalaman batin manusia yang sadar akan kebebasan, maka lompatan historis memperlihatkan bagaimana kesadaran itu menjelma menjadi tindakan yang menulis sejarah. 

Dalam pandangan filsafat sejarah, terutama Vico dan Hegel, sejarah bukan sekadar kronologi peristiwa, melainkan ekspresi dari spiritus humanus— roh manusia yang bergerak, mencipta, dan menata dunia. 

Bedanya, Hegel menekankan kesadaran rasional, sementara Vico menyoroti kekuatan imajinasi dan ketidaksadaran sebagai sumber cipta sejarah. 

Kedua cara pandang ini bertemu dalam diri Frans: ia seperti guru matematika yang mencari kepastian dalam rumus, sekaligus pelaut yang membaca tanda di tengah gelombang. 

Pilihan-pilihannya menggambarkan pergulatan manusia antara rasio dan imajinasi, kalkulasi dan intuisi, antara tunduk pada takdir dan menantangnya dengan kebebasan. 

Lahir di Pandai, sebuah desa kecil di Adonara Barat, Frans menulis dirinya keluar dari batas-batas itu. 

Dari pinggiran republik ia menjelma menjadi jurnalis yang bergerak hingga ke pusat peradaban dunia. 

Setiap liputannya adalah Tindakan historis—tindakan yang menulis sejarah dengan pena dan keyakinan. 

Lompatan geografisnya menjadi afirmasi martabat manusia yang mampu melampaui dirinya sendiri. 

Ia mengikuti hatinya, dan hati manusia, kata Ignatius Loyola, diciptakan untuk hal-hal besar, sebuah arah yang memberi keberanian untuk berkorban dan mengasihi. 

Inilah makna transendensi diri manusia. Transendensi historis tidak berarti lari dari dunia melainkan melampauinya dengan memberi makna. 

Imajinasi masa kecilnya - mendengarkan radio dari Surabaya di rumahnya di Pandai - menjadi bingkai bagi semua lompatan hidupnya. 

Ia menulis sejarah dengan menebus mimpi-mimpi masa kecil melalui tindakan nyata.

Langkah Menuju Diri Sendiri

Setiap keberanian untuk melompat, sebagaimana setiap liputan jurnalistik penulis, adalah respons terhadap panggilan hidup. 

Dalam arti ini, kedua buku Frans Pati Herin menandai perjalanan manusia untuk menjadi dirinya sendiri dalam arus dan kemelut sejarah. 

Dari lompatan geografis yang menyeberangi ruang, ke lompatan eksistensial yang menembus batin, hingga lompatan historis yang menulis arah baru bagi dunia—semuanya memperlihatkan satu hal: sejarah bergerak karena manusia berani melompat. 

Manusia menulis sejarah bukan karena ia kuat, tetapi karena ia percaya. 

Ia melompat bukan karena tahu pasti hasilnya, melainkan karena sadar bahwa hidup adalah panggilan yang harus dijawab. 

Luigi Giussani menegaskan: la naturadell’uomo è rapporto con l’infinito — hakikat manusia adalah relasi dengan yang tak terbatas. 

Amerika, dalam kisah Lompat Kapal ke Amerika, menjadi metafora horison tak terbatas yang terus memanggil manusia untuk bergerak. 

Dalam setiap lompatan manusia, sejarah dunia ikut bergerak. Dan dalam setiap keberanian manusia, rahmat Allah menemukan jalan untuk bekerja. 

Yang Tak Terbatas itu bukan hanya janji di ujung pandangan, tetapi berdiam di hati setiap orang yang tak henti mencari. 

Akhir Kata

Saya berterima kasih kepada Frans Pati Herin karena telah meminta saya membaca dan merefleksikan kedua bukunya. 

Saya menemukan di sana semangat yang tak patah - dari seorang anak manusia yang terus berjuang menjadi diri yang otentik.

Kierkegaard mengatakan, perjalanan terjauh dalam hidup ini adalah perjalanan menuju diri sendiri. 

Tidak semua orang sanggup menjalaninya, karena jalan itu sempit dan sepi. 

Namun, mereka yang berani melangkah akan menemukan kebebasan sejati. Itulah sebabnya Santo Carlo Acutis, pelindung generasi digital, pernah mengingatkan: “Semua orang lahir sebagai orisinal, tetapi banyak yang mati sebagai fotokopi.”

Kedua buku ini membuktikan sebaliknya: bahwa manusia yang berani melompat akan selalu hidup sebagai orisinal: karena ia terus mencari, percaya, dan melampaui batas. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved