Resensi Buku

Membaca Lompat Kapal ke Amerika dan Deadline: Kisah di Balik Liputan Jurnalis Kompas 

Kedua buku ini, meski ditulis dari pengalaman jurnalistik, merekam perjalanan eksistensial manusia yang sedang berjuang menjadi bebas dan otentik. 

|
Editor: Dion DB Putra
POSKUPANG.COM/ONONG BORO
PELUNCURAN BUKU - Romo Leo Mali (ketiga dari kiri), narasumber lain dan undangan saat meluncurkan dua buku karya jurnalis Kompas, Frans Pati Herin di kampus Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Kamis (9/10/2025). 

Dalam perjalanannya, penulis memaknai setiap ruang sebagai panggung kemanusiaan universal. 

Ia menyingkap paradoks modernitas: bahwa pusat yang penuh fasilitas sering kehilangan makna, sementara pinggiran yang miskin justru menyimpan orisinalitas dan daya hidup. 

Dengan bergerak dari pinggiran, penulis mendekonstruksi pandangan lama tentang hubungan antara pusat dan pinggiran bahwa pusat lebih penting dan menentukan pinggiran dan menegaskan kembali bahwa keduanya, baik pusat maupun pinggiran hanyalah bentuk-bentuk pendefenisian ruang yang harus disatukan oleh solidaritas kemanusiaan yang melintasi waktu dan ruang. 

Karena itu, lompatan geografis ini bukan pelarian, melainkan perutusan: sebuah ziarah kemanusiaan untuk membawa kisah dari tepian republik ke jantung wacana global, agar dunia mengenal wajah manusia dari wilayah yang sering luput dari sorotan. 

Dalam pengertian ini, perjalanan geografis menjadi juga perjalanan batin: dari keterbatasan menuju keluasan makna, dari ruang sempit menuju cakrawala universal. 

2. Lompatan Eksistensial: Dari Fakta Diri ke Makna Diri

Dari makna geografis yang berakar pada ruang, kita beralih pada makna yang lebih dalam: lompatan eksistensial. 

Di sini manusia tidak lagi hanya berpindah tempat, melainkan berpindah kesadaran. 

Dalam perspektif fenomenologi transendental, setiap tindakan manusia bersifat intensional—selalu menyatukan titik noetis (kesadaran) dan titik noematis (fakta hidup). 

Lompatan eksistensial berarti keberanian untuk mengubah “apa yang terjadi padaku” menjadi “apa yang kupilih untuk dijalani.” 

Dalam Deadline, lompatan ini tampak nyata penuh risiko: dari Gunung Botak di Pulau Buru ketika Frans nyaris menjadi target operasi penambang emas ilegal; ke Laut Ternate yang nyaris menelannya; ke Pulau Babi ketika tersesat di laut Flores; hingga Asmat, ketika ia tumbang dihajar malaria. 

Semua pengalaman itu dijembatani oleh satu kata kunci: nekat. Namun “nekat” di sini bukan kebodohan, melainkan keberanian eksistensial yang lahir dari keyakinan akan sesuatu yang lebih besar dari
diri sendiri. 

Dalam bahasa Søren Kierkegaard, inilah the leap of faith — lompatan iman yang melampaui nalar menuju kedalaman makna. 

Lompatan yang dilakukan bukan karena kepastian rasional, melainkan karena harapan. 

Seperti Abraham yang meninggalkan Ur di tepi Sungai Efrat yang subur menuju tanah terjanji, atau Yosef yang percaya pada pesan dalam mimpi, manusia melompat karena percaya pada makna yang belum terlihat. 

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved