Opini

Opini: Ketika Komodo Disandera Kapital

Beginilah kisah Ketika Komodo bukan sekadar satwa purba, melainkan sandera dalam drama kapitalisme pariwisata.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI APRIANUS P TABOEN
Aprianus Paskalius Taboen 

Pulau Padar, bagi masyarakat adat, bukan sekadar ruang kosong untuk dikelola secara ekonomis, melainkan lanskap simbolik yang mengandung sejarah, nilai, dan spiritualitas. 

Maka, masuknya PT KWE tanpa persetujuan kolektif dianggap sebagai bentuk perampasan ruang hidup (land grabbing) dalam format yang dilegitimasi oleh hukum negara.

Dilema Pariwisata dan Konservasi

Pemerintah berdalih bahwa pembangunan resort dan sarana wisata akan meningkatkan daya tarik TNK sekaligus menjaga kualitas konservasi. 

Namun, pengalaman global menunjukkan bahwa intensifikasi pariwisata di kawasan konservasi sering berujung pada degradasi lingkungaan.

World Heritage Centre (WHC) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) bahkan menetapkan standar ketat agar investasi tidak menggerus Outstanding Universal Value (OUV) TNK sebagai situs warisan dunia UNESCO.

Ironisnya, prinsip pariwisata berkelanjutan justru menekankan keseimbangan antara tiga dimensi yaitu lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi. 

Di TNK, dimensi sosial-budaya tampak paling terabaikan. Penolakan dari DPRD Manggarai Barat, Forum Masyarakat Peduli Demokrasi (FMPD), hingga akademisi lokal memperlihatkan bahwa proyek PT KWE cenderung dipersepsi sebagai “enklaf eksklusif” untuk wisatawan berdaya beli tinggi, alih-alih pariwisata inklusif yang berpihak pada masyarakat. 

Jika ini dibiarkan, maka TNK berpotensi menjadi contoh green grabbing yakni praktik yang mengatasnamakan konservasi untuk membuka jalan bagi privatisasi ruang publik.

Hak Adat dalam Bayang-Bayang Kapitalisme Pariwisata

Konflik PT KWE menyingkap sebuah persoalan mendasar mengenai marginalisasi hak adat. 

Masyarakat adat di Pulau Padar dan Labuan Bajo sudah berulang kali menyuarakan keberatan atas proyek ini. Mereka menilai bahwa keputusan izin PT KWE tidak melalui mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). 

Padahal, prinsip ini diakui dalam Deklarasi PBB tentang Hak Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). 

Dalam praktiknya, kapitalisme pariwisata seringkali menjadikan masyarakat adat sekadar “ornamen budaya” untuk konsumsi wisata, bukan subjek utama pembangunan. 

Sosiolog Pierre Bourdieu akan menyebut kondisi ini sebagai bentuk dominasi simbolik yakni masyarakat lokal diposisikan inferior di hadapan kekuatan modal, sehingga nilai budaya mereka tereduksi menjadi
komoditas. 

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved