Opini

Opini: Suara dari Ina Kasih, Kupang Melawan Kemiskinan Menstruasi 

Program Ina Kasih lahir dari komitmen kuat Pemerintah Kota Kupang menghadirkan kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil warganya. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI TRY SURIANI L TUALAKA
Try Suriani Loit Tualaka 

Oleh: Try Suriani Loit Tualaka
Edukator Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di Tenggara Youth Community

POS-KUPANG.COM - Berbicara tentang pembalut sering kali dianggap hal sepele, bahkan tabu untuk masuk ke ranah kebijakan publik. 

Namun, dari hal yang dianggap remeh inilah lahir sebuah terobosan penting: Ina Kasih, program Pemerintah Kota Kupang yang menyediakan akses pembalut gratis bagi perempuan prasejahtera. 

Lebih dari sekadar distribusi barang, inisiatif ini berani mengangkat persoalan mendasar yang jarang disentuh: kemiskinan menstruasi (period poverty). 

Isu ini bukan hanya urusan biologis perempuan, melainkan problem keadilan sosial. 

Baca juga: Wakil Walikota Kupang Luncurkan Program Pembalut Gratis Bagi Perempuan di Kota Kupang, Ini Tujuannya

Saat akses terhadap pembalut layak tidak terpenuhi, konsekuensinya menjalar luas dari kesehatan reproduksi yang terancam, meningkatnya absensi sekolah remaja perempuan, hingga terkekangnya ruang partisipasi sosial mereka. 

Dengan kata lain, Ina Kasih hadir sebagai langkah kecil dengan dampak besar: menantang akar ketidaksetaraan gender yang terlalu lama diremehkan.

Program Ina Kasih lahir dari komitmen kuat Pemerintah Kota Kupang menghadirkan kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil warganya. 

Wakil Wali Kota Kupang, Serena Francis, dalam peluncurannya menegaskan  gagasan ini berangkat dari kesadaran bahwa banyak perempuan di Kupang masih menghadapi kesulitan mengakses produk menstruasi yang layak. 

Menurutnya, isu menstruasi tidak boleh lagi ditempatkan sebagai urusan domestik yang tabu dibicarakan, melainkan harus menjadi bagian dari agenda pembangunan kota yang inklusif dan berkeadilan. 

Visi yang dibawa Serena melalui Ina Kasih adalah memastikan tidak ada lagi perempuan di Kupang yang kehilangan hak atas kesehatan, pendidikan, dan martabat hanya karena menstruasi.

Menstruasi Bukan Pilihan Tapi Keniscayaan

Menstruasi adalah realitas biologis yang tak terelakkan bagi setiap perempuan usia subur. Ia bukan pilihan, bukan pula sesuatu yang bisa ditunda atau dinegosiasikan, melainkan keniscayaan. 

Namun ironisnya, hal yang seharusnya dianggap wajar ini masih terjebak dalam stigma: dipandang sebagai urusan privat, tabu dibicarakan, apalagi diangkat ke ranah kebijakan publik.

Akibat dari sikap abai ini sangat nyata banyak perempuan terpaksa menggunakan kain bekas, tisu, bahkan potongan karung goni sebagai pengganti pembalut. 

Praktik darurat ini bukan sekadar tidak higienis, tetapi menempatkan kesehatan reproduksi mereka dalam risiko serius, sekaligus memperlihatkan bagaimana kemiskinan menstruasi adalah bentuk ketidakadilan gender yang paling sunyi, namun paling mendalam.

Di Nusa Tenggara Timur, persoalan ini semakin kompleks karena diperparah oleh krisis air bersih. Di banyak desa, baik di daratan Timor maupun di Sumba, akses terhadap air masih menjadi pergulatan sehari-hari. 

Dalam situasi ini, perempuan yang sedang menstruasi menanggung beban berlapis: tidak hanya kesulitan memperoleh pembalut yang layak, tetapi juga tidak dapat merawat organ reproduksi secara higienis akibat keterbatasan air. 

Kisah nyata menggambarkan situasi tersebut seorang perempuan di pedalaman Timor Tengah Selatan (TTS) hanya bisa membasuh diri sekali sehari karena air harus dijatah untuk seluruh kebutuhan rumah tangga, sementara remaja perempuan di Sumba memilih absen dari sekolah saat haid karena fasilitas air dan sanitasi di sekolah mereka tidak memadai. 

Kondisi ini menjerat perempuan dalam lingkaran kerentanan: kesehatan reproduksi terancam, akses pendidikan terhambat, dan martabat sebagai perempuan semakin terpinggirkan.

Kupang Mengambil Langkah Berani

Di tengah keterbatasan fiskal daerah, Pemkot Kupang berani menempatkan isu menstruasi sebagai prioritas kebijakan publik. Ini bukan hanya langkah progresif, tetapi juga simbol keberpihakan yang nyata. 

Tidak banyak daerah di Indonesia yang secara terbuka mengakui menstruasi adalah bagian dari persoalan kesejahteraan masyarakat. 

Keputusan ini menjadi terobosan penting, terutama jika kita melihat realitas NTT yang masih dibayangi krisis air bersih dan keterbatasan akses sanitasi. 

Artinya, kebijakan pembalut gratis ini tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan menjawab problem struktural yang selama ini membungkam suara perempuan.

Komitmen Pemkot Kupang terlihat jelas melalui upaya memastikan program Ina Kasih tidak berhenti pada seremoni, melainkan dirancang dengan mekanisme distribusi yang terukur, transparan, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari sekolah, fasilitas kesehatan, hingga komunitas basis. 

Dengan demikian, akses pembalut gratis bukan sekadar simbol, tetapi  menjangkau perempuan yang paling membutuhkan.

Kupang kini berdiri sejajar dengan sejumlah negara yang lebih dahulu mengakui menstruasi sebagai isu publik, seperti Skotlandia yang menggratiskan produk menstruasi bagi seluruh warganya. 

Namun konteks Kupang justru menghadirkan makna yang lebih mendalam: langkah ini ditempuh bukan dalam kondisi berlimpah sumber daya, melainkan dalam keterbatasan anggaran. 

Hal ini menegaskan bahwa keberanian politik dan perspektif gender jauh lebih menentukan daripada sekadar besarnya dana. 

Kupang menunjukkan bahwa daerah yang selama ini dipersepsikan terbelakang justru jadi pelopor, memberi teladan bagi kota-kota lain di Indonesia bahwa isu kesehatan menstruasi harus diletakkan sejajar dengan agenda kesehatan publik, pendidikan, dan kesetaraan gender.

Lebih dari Sekadar Bagi-bagi Pembalut

Penting untuk digarisbawahi bahwa pembagian pembalut hanyalah pintu masuk, bukan tujuan akhir. 

Tantangan  lebih besar justru terletak pada bagaimana memastikan program ini berjalan berkelanjutan, transparan, dan tepat sasaran, menjangkau perempuan yang membutuhkan, alih-alih sekadar program simbolis yang berhenti pada seremoni peluncuran.

Lebih jauh, intervensi ini tidak boleh berhenti pada distribusi produk. Ia harus disertai edukasi komprehensif tentang kesehatan reproduksi, sanitasi, dan upaya penghapusan stigma menstruasi

Tanpa itu, perempuan tetap akan menghadapi siklus diskriminasi yang sama: merasa malu saat haid, mengabaikan perawatan tubuh karena keterbatasan akses, dan akhirnya terjebak dalam risiko kesehatan yang lebih besar.

Seperti ditegaskan  Tata Yunita, Founder Tenggara Youth Community, sebuah organisasi remaja independen yang berdiri sejak 2016 dan menjadi pelopor isu kesehatan seksual dan reproduksi yang inklusif di Indonesia Timur: “Isu kemiskinan menstruasi bukan hanya isu perempuan, tapi isu kita semua. Menstruasi yang sehat adalah hak, dan pemerintah wajib hadir memastikan akses produk menstruasi yang aman bagi setiap perempuan.”

Pernyataan ini ia utarakan melalui akun Instagram pribadinya sebagai respons terhadap pro dan kontra di masyarakat terkait peluncuran Program Ina Kasih

Bagi sebagian orang, harga pembalut mungkin dianggap murah berkisar Rp5.000 atau Rp7.000 saja sehingga program ini dinilai berlebihan. 

Tetapi Tata Yunita menegaskan bahwa realitas di lapangan jauh lebih kompleks: bagi banyak perempuan yang hidup dalam keterbatasan, harga sekecil itu berarti pilihan sulit antara membeli pembalut atau kebutuhan pokok lain. 

Karena itu, menurutnya, program Ina Kasih bukan soal pemerintah memanjakan perempuan, melainkan kehadiran negara dalam menjamin hak dasar. 

Soal menstruasi tidak bisa dipandang sekadar urusan harga, melainkan menyangkut kesehatan reproduksi, martabat manusia, dan keadilan gender.

Ina Kasih: Menyalakan Obor Keadilan Gender dari Kupang

Program Ina Kasih adalah contoh nyata dari anggaran responsif gender. Negara hadir mengurangi beban tambahan yang hanya dialami perempuan. 

Ini bukan soal memanjakan perempuan, melainkan soal keadilan bahwa kebutuhan biologis khas perempuan harus diakui dan dijamin negara.

Kupang telah menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya pembicaraan tentang isu menstruasi yang selama ini sunyi dan terpinggirkan. 

Tugas kita bersama adalah memastikan lilin itu tidak padam, tetapi menjelma menjadi obor besar yang menerangi jalan perempuan menuju kesehatan, martabat, dan kesetaraan. 

Program Ina Kasih bukan sekadar bagi-bagi pembalut, melainkan pesan politik yang tegas: bahwa perempuan berhak hidup bermartabat, bahkan di hari-hari menstruasinya. 

Jika langkah berani ini terus dijaga dan diperkuat, Kupang bisa menjadi pelopor yang menunjukkan bahwa keadilan gender bukan utopia, melainkan kebijakan nyata yang bisa tumbuh dari wilayah yang kerap dipandang pinggiran. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved