Opini

Opini: Paradoks Cassandra dalam MBG

Kutukan Cassandra adalah tentang ketidakmampuan kolektif untuk menghadapi kebenaran yang tidak menyenangkan. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Inosensius Enryco Mokos 

Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi dan Filsafat ISBI Bandung

POS-KUPANG.COM - Dalam satu kesempatan saat saya sedang berselancar dalam media sosial Youtube, muncul video talkshow di sebuah acara TV yang menampilkan Rocky Gerung sebagai bintang tamu. 

Di situ dia menjelaskan tentang sebuah teori atau sebuah fenomena yang menarik untuk dibahas secara mendalam. Fenomena itu adalah Paradoks Cassandra

Lewat fenomena ini, saya merasa sangat cocok untuk dikaitkan dengan masalah Makan Bergizi Gratis atau MBG yang saat ini menjadi isu nasional karena keracunan massal siswa yang menyantap MBG; yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia.
 

Baca juga: Siswa SD Inpres SoE Mengaku Muntah Tiga Kali Usai Santap MBG

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh pemerintah Presiden Prabowo Subianto diusung dengan niat mulia untuk mengatasi masalah malnutrisi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. 

Namun, harapan akan manfaat besar ini segera dihadapkan pada kenyataan pahit: dalam beberapa minggu ini, laporan keracunan makanan massal yang menimpa siswa penerima MBG di berbagai wilayah mulai bermunculan. 

Fenomena ini, di mana sebuah inisiatif yang telah diperingatkan potensi resikonya ternyata benar-benar menimbulkan korban, dapat dianalisis secara mendalam melalui lensa konsep kuno: Paradoks Cassandra

Keracunan MBG bukan sekadar masalah logistik atau sanitasi biasa. Ia  mencerminkan kegagalan sistemik untuk mendengarkan peringatan ahli, dan bahkan lebih lanjut, mencerminkan penyangkalan terhadap bahaya yang sudah terjadi.

Paradoks Cassandra: Ketika Kebenaran Tidak Dipercaya

Paradoks Cassandra berakar dari mitologi Yunani, yang mengisahkan sebuah kisah tragis. 

Cassandra adalah seorang putri Raja Priam dari Troya; yang dianugerahi karunia bisa meramalkan oleh Dewa Apollo.

Namun, ketika ia menolak cinta sang dewa, Apollo mengutuknya dengan menambahkan syarat: meskipun ramalannya akan selalu benar, tidak akan ada seorang pun yang pernah mempercayainya. 

Nasib tragis Cassandra terlihat jelas ketika ia mencoba memperingatkan bangsanya tentang bahaya kuda kayu (kuda Trojan) yang ditinggalkan oleh bangsa Yunani, namun peringatannya diabaikan, yang berujung pada kehancuran total Troya.

Dalam konteks modern dan analisis sosial-politik, Paradoks Cassandra bertransformasi menjadi sebuah istilah yang menggambarkan kegagalan untuk menanggapi peringatan akurat, terutama yang berasal dari ahli atau pihak yang memiliki pengetahuan teknis, karena berbagai alasan seperti bias kognitif, kepentingan politik, atau kegagalan komunikasi. 

Paradoks ini beroperasi dalam dua fase. Fase pertama adalah kegagalan untuk mengantisipasi atau merencanakan mitigasi berdasarkan peringatan yang ada. Misalnya, pakar sanitasi telah memperingatkan bahwa program sebesar MBG rentan terhadap kontaminasi.

Fase kedua adalah kegagalan untuk bertindak cepat dan tegas setelah bahaya terwujud.

Kutukan Cassandra adalah tentang ketidakmampuan kolektif untuk menghadapi kebenaran yang tidak menyenangkan. 

Dalam program-program berskala besar yang dijalankan secara tergesa-gesa, seringkali ada tekanan politik untuk menunjukkan kemajuan dan keberhasilan, membuat suara-suara kritis atau peringatan teknis dianggap sebagai hambatan, sehingga mudah diabaikan. 

Ketika kegagalan terjadi, muncul kecenderungan untuk meminimalisasi dampaknya, yang menjadi manifestasi kedua dari kutukan tersebut: meskipun bahaya sudah nyata, tingkat urgensi tidak diakui secara proporsional.

MBG, Fenomena Penyangkalan, dan Solusi Sistemik

Program MBG, dengan target jutaan penerima yang melibatkan rantai pasok dan persiapan makanan yang sangat terdesentralisasi, secara inheren membawa risiko tinggi terhadap masalah keamanan pangan. 

Para ahli kesehatan masyarakat dan sanitasi sudah memberikan ‘ramalan’ sebelum program ini diimplementasikan secara massal: risiko kontaminasi mikroba meningkat tajam ketika penyiapan makanan dilakukan dalam volume besar dan distribusinya melewati waktu kritis tanpa pengawasan kualitas yang ketat. 

Inilah ramalan Cassandra modern, dan keracunan massal yang terjadi di sejumlah sekolah adalah bukti nyata kebenaran ramalan tersebut.

Setelah serangkaian kasus keracunan terjadi, tanggapan dari beberapa elemen pemerintah justru memperkuat alur naratif Paradoks Cassandra, yaitu fase penyangkalan dan peminimalan. 

Misalnya, pernyataan dari beberapa pejabat, seperti Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), yang menganggap kasus keracunan ini sebagai "hal yang biasa dan lumrah" dalam implementasi program makanan berskala besar. 

Respons semacam ini, yang melabeli keracunan anak sekolah sebagai 'risiko wajar', secara efektif menjadi 'ketidakpercayaan' terhadap fakta yang sudah terjadi. 

Ini adalah bentuk penyangkalan politik yang berusaha mempertahankan citra program, alih-alih berfokus pada keselamatan publik.

Akibat dari diabaikannya peringatan dan penyangkalan terhadap krisis ini sangat serius. 

Selain korban anak-anak, program MBG berisiko kehilangan modal sosial dan kepercayaan publiknya bahkan sebelum ia mencapai potensi sepenuhnya. 

Untuk mengatasi Paradoks Cassandra dalam konteks ini, diperlukan solusi yang bukan hanya bersifat korektif, tetapi juga transformatif dan sistemik.

Langkah pertama adalah menerapkan audit dan sertifikasi higiene pangan wajib (HACCP). 

Semua penyedia makanan MBG, dari tingkat pusat hingga lokal, harus menjalani pelatihan bersertifikat Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) dan lulus audit ketat dari otoritas kesehatan independen. 

Standar kebersihan tidak boleh ditawar, dan sertifikasi wajib diperbarui setiap bulan untuk memastikan kepatuhan yang berkelanjutan.

Selanjutnya, transparansi dan keterlibatan publik harus ditingkatkan secara drastis. Kerangka pengawasan tidak boleh hanya internal pemerintah. 

Penting untuk melibatkan Asosiasi Orang Tua Murid dan tenaga kesehatan Puskesmas setempat sebagai tim pengawas kualitas pangan independen. 

Setiap kasus keracunan atau temuan pelanggaran harus diungkap secara transparan dan ditindaklanjuti secara hukum, bukan dinormalisasi atau dianggap sebagai risiko wajar semata.

Pendekatan implementasi bertahap (phased rollout) berbasis kualitas juga krusial. Program ini perlu segera ditarik dari skala masif, dan diimplementasikan ulang dalam fase percontohan (pilot project) di daerah-daerah dengan infrastruktur pengawasan yang paling siap. 

Ekspansi ke daerah lain hanya boleh dilakukan setelah program percontohan tersebut menunjukkan nol insiden keracunan selama periode enam bulan penuh, yang membuktikan kelayakan dan keamanannya sebelum disalurkan secara luas.

Terakhir, penting untuk mendorong desentralisasi dan pemberdayaan menu lokal. 

Alih-alih pengadaan yang sangat terpusat, pemerintah harus memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pangan lokal dan katering yang sudah memiliki reputasi baik.  

Penggunaan menu berbasis pangan lokal dan segar dapat secara efektif mengurangi risiko kontaminasi yang sering kali berasal dari penyimpanan dan transportasi jarak jauh, sekaligus memberikan dorongan ekonomi lokal.

Krisis keracunan MBG adalah peringatan keras bahwa niat baik tanpa manajemen risiko yang cermat dapat membawa konsekuensi yang merugikan. 

Paradoks Cassandra mengajarkan kita bahwa ketika suara para ahli diabaikan, dan realitas yang tidak menyenangkan disangkal, konsekuensi terburuk akan menjadi kenyataan. Semoga! (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved