Opini
Opini: 150 Tahun Serikat Sabda Allah, Api Misi yang Tetap Menyala di Era Digital
Refleksi 150 tahun juga membawa kita pada kesadaran bahwa NTT bukan lagi “tanah misi,” melainkan “tanah pengutus.”
Oleh: Vitalis Wolo
Awam Katolik, tinggal di Naimata Kota Kupang - Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Seratus lima puluh tahun Serikat Sabda Allah (SVD) bukan hanya sebuah perayaan usia, melainkan juga sebuah momentum reflektif bagi Gereja dan masyarakat, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sejak lahirnya kongregasi ini pada tanggal 8 September 1875 di Steyl, Belanda, oleh seorang imam projo visioner bernama Arnoldus Janssen, api misi telah menyalakan harapan di berbagai belahan dunia, termasuk tanah Timor dan Flores.
Melihat ke belakang, perjalanan misi ini penuh dengan ketekunan, pengorbanan, sekaligus tantangan yang membentuk wajah Gereja lokal di NTT hingga hari ini.
Baca juga: Opini: Sejarah Media Komunikasi SVD di Indonesia dan Nusa Tenggara Timur
Namun melihat ke depan, pertanyaan kritis muncul: bagaimana api misi itu bisa terus bernyala dalam konteks perubahan dunia yang ditandai globalisasi, digitalisasi, dan arus migrasi?
Arnoldus Janssen lahir dari situasi sulit Gereja Jerman abad ke-19 yang ditekan oleh politik Kulturkampf.
Ia menyadari bahwa Injil hanya bisa diwartakan jika ada orang yang berani melangkah keluar dari tembok kenyamanan, menyeberangi batas bangsa dan budaya.
Maka lahirlah Steyl sebagai pusat pengutusan misionaris. Ia mendirikan bukan hanya Serikat Sabda Allah, tetapi juga dua kongregasi misi untuk perempuan—SSpS dan SSpSAP—sebuah visi yang sangat progresif pada zamannya.
Dari rahim visi inilah lahir generasi misionaris tangguh, salah satunya P. Josef Freinademetz, imam Tirol yang kemudian diutus ke Tiongkok dan menjadi teladan inkulturasi.
Freinademetz menunjukkan bahwa misi bukan soal membawa budaya asing, tetapi soal menjelma menjadi saudara dalam bahasa, tradisi, dan kehidupan umat yang dilayani.
Semangat inilah yang kemudian dihidupi para misionaris SVD di tanah Timor dan Flores.
Kisah misi di NTT dimulai tahun 1913 di Lahurus, Timor, melalui karya P. Piet Noyen.
Kehadirannya membuka jalan bagi karya pastoral yang segera meluas ke berbagai wilayah, termasuk ke Flores pada tahun 1914.
Para misionaris SVD datang dengan semangat sederhana: membangun Gereja lokal dengan menanamkan iman sekaligus mengembangkan pendidikan dan kesehatan.
Tidak dapat disangkal, dalam kurun satu abad lebih, mereka telah mengubah wajah NTT secara fundamental.
Dari sekolah rakyat hingga seminari, dari rumah sakit hingga pusat-pusat karya sosial, SVD telah meletakkan fondasi pembangunan manusia di daerah yang kala itu dianggap tertinggal.
Flores, misalnya, tidak hanya menjadi pusat penyebaran iman, tetapi juga pusat pendidikan yang melahirkan imam-imam lokal, bruder, suster, bahkan kaum awam yang berpendidikan.
Keberadaan STFK Ledalero (saat ini berubah menjadi IFTK Ledalero) menjadi salah satu sumbangan terbesar SVD bagi Gereja universal.
Kampus filsafat itu bukan hanya mencetak calon imam, melainkan juga melahirkan pemikir, jurnalis, penulis, dan tokoh-tokoh sosial.
SVD juga mendirikan sekolah-sekolah menengah dan universitas. Semua ini menjadikan SVD bukan sekadar misionaris, tetapi juga motor penggerak kemajuan sosial di NTT.
Kontribusi lain yang tak kalah penting adalah di bidang antropologi dan ilmu sosial. Melalui Anthropos Institute, SVD menjadi pelopor dokumentasi budaya, bahasa, dan tradisi masyarakat NTT.
Karya-karya ini sangat penting untuk memahami identitas lokal dan menjaga warisan kultural yang rentan hilang. Namun, di sinilah juga muncul catatan kritis.
Tidak sedikit tulisan etnografis awal SVD yang masih sarat dengan bias kolonial, di mana budaya lokal dipandang dari kacamata Barat.
Refleksi 150 tahun ini harus berani mengakui bahwa misi bukan semata soal “membawa terang ke kegelapan,” melainkan juga proses dialog yang harus lebih mendengarkan suara lokal.
Kini, setelah 150 tahun, api misi itu diuji oleh tantangan baru. Dunia digital telah mengubah wajah komunikasi, pola hidup, bahkan cara manusia mencari makna.
Generasi muda NTT, yang dahulu terbentuk di sekolah-sekolah misionaris, kini lebih banyak dibentuk oleh gawai dan media sosial.
Di sinilah muncul pertanyaan kritis: apakah misi Gereja, khususnya SVD, masih relevan jika hanya bertumpu pada metode lama?
Bermisi di zaman digital berarti berani hadir dalam ruang maya sebagai tempat pewartaan, pengajaran, bahkan pembelaan martabat manusia.
Injil harus dikabarkan bukan hanya di mimbar dan kelas, tetapi juga di feed Instagram, di kanal YouTube, di ruang-ruang virtual tempat anak muda mencari identitasnya.
Lebih jauh lagi, misi zaman digital menuntut SVD untuk bersuara terhadap isu-isu global yang sangat dekat dengan NTT: perubahan iklim, krisis ekologi, migrasi tenaga kerja, dan ketidakadilan struktural.
NTT adalah wilayah yang subur dalam iman, tetapi rapuh secara ekonomi dan sosial.
Arus migrasi besar-besaran menunjukkan bahwa misi Gereja tidak bisa lagi hanya memelihara iman, tetapi juga memperjuangkan sistem sosial-ekonomi yang lebih adil.
Dalam konteks ini, warisan Arnoldus Janssen harus dibaca ulang: misi adalah “berdiri di celah” bagi mereka yang rapuh, bahkan bila itu berarti berhadapan dengan struktur kekuasaan yang menindas.
Refleksi 150 tahun juga membawa kita pada kesadaran bahwa NTT bukan lagi “tanah misi,” melainkan “tanah pengutus.”
Dari Flores, Timor, dan Sumba, banyak imam, bruder, suster, dan misionaris awam yang kini diutus ke seluruh dunia.
Gereja lokal yang dahulu dibangun oleh misionaris kini justru menjadi penyumbang tenaga misi terbesar bagi Gereja universal.
Inilah transformasi yang patut dirayakan, namun juga dijaga agar tidak berhenti hanya pada angka, melainkan tetap berakar pada kualitas kesaksian hidup.
Pada akhirnya, seratus lima puluh tahun SVD adalah sebuah undangan untuk menyalakan kembali api misi dengan cara baru.
Api yang sama yang membakar hati Arnoldus Janssen dan Josef Freinademetz kini harus menyala dalam konteks digital, global, dan interkultural.
Tugas SVD di NTT bukan lagi sekadar mendirikan sekolah atau perbengkelan, tetapi membentuk generasi muda yang mampu beriman di tengah dunia digital, berpikir kritis terhadap arus globalisasi, dan berani menjadi saksi kasih di mana pun mereka berada.
Misi di NTT telah menghasilkan banyak buah: Gereja yang hidup, umat yang berpendidikan, dan identitas lokal yang kuat.
Namun, perjalanan ini juga menantang SVD untuk tidak puas dengan nostalgia, melainkan terus memperbarui diri.
Sebab misi bukanlah museum, tetapi jalan ziarah yang selalu bergerak. Dan dalam ziarah itu, tantangan zaman digital menunggu untuk dijawab dengan keberanian, kreativitas, dan kesetiaan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.