Opini

Opini: Menguji Janji Konstitusi 1945 pada Isu Perempuan dan Stunting

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Helga Maria Evarista Gero

Oleh: Helga Maria Evarista Gero
Dosen Prodi Sosiologi Fisip Undana Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Pada Hari Konstitusi, 18 Agustus 2025, tepat delapan puluh tahun republik ini berdiri, kita perlu menakar ulang janji UUD 1945 di ruang paling sunyi: dapur keluarga, posyandu desa,
puskesmas yang jauh, dan rapat anggaran yang sering tanpa suara perempuan. 

Konstitusi memang menulis martabat, kesetaraan, dan keadilan sosial; namun praktik mudah berhenti pada seremoni. 

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), isu perempuan dan stunting memperlihatkan jurang antara hak tekstual dan hidup sehari-hari. 

Infrastruktur rapuh, air bersih musiman, budaya kerja yang menuntut perjalanan jauh, dan layanan kesehatan yang tidak merata membentuk kondisi yang kompleks. 

Baca juga: Tekan Stunting di NTT, BKKBN Dorong Ekonomi Keluarga Sebagai Kunci

Di sinilah konstitusi diuji: bukan pada pidato, melainkan pada berat badan bayi, kualitas gizi ibu, dan otonomi perempuan mengambil keputusan.

Deliberasi konstitusional yang sejati dimulai dari pertanyaan sederhana: apakah negarasungguh memampukan warganya menjadi sehat, berdaya, dan setara?

Konstitusi sebagai Janji Kapabilitas

Konstitusi bukan sekadar katalog hak, melainkan arsitektur institusi yang memampukan warganya. 

Pasal 28H UUD 1945 menjanjikan hak atas kesehatan; Pasal 34 memandatkan negara memelihara fakir miskin dan anak terlantar. 

Namun, seperti diingatkan Amartya Sen (1999), hak tanpa kapabilitas substantif hanya menjadi janji hampa: yang menentukan adalah kebebasan nyata untuk mencapai hidup yang berharga. 

Martha Nussbaum (2011) menambahkan daftar kapabilitas inti yakni tubuh sehat, integritas, afiliasi, yang dapat menjadi tolok ukur kebijakan publik. 

Nancy Fraser (2009) lalu menekankan bahwa keadilan menuntut tiga hal sekaligus: redistribusi sumber daya (misalnya pangan bergizi, air, transportasi kesehatan), pengakuan atas identitas dan pengalaman perempuan (menghapus stigma atas kehamilan remaja, pekerja informal, atau ibu tunggal), dan representasi yang bermakna dalam proses pengambilan keputusan (kursi perempuan yang efektif dalam musyawarah desa maupun parlemen daerah). 

Dengan kacamata ini, ukuran keberhasilan bukan hanya penurunan prevalensi stunting, tetapi juga meningkatnya otonomi perempuan menentukan pilihan reproduktif, akses pada dukungan sosial, dan rasa aman untuk menyuarakan kebutuhan.

Habermas (1996) mengingatkan pentingnya ruang publik deliberatif: kebijakan sah bila lahir dari partisipasi yang rasional dan inklusif. 

Artinya, perencanaan dan anggaran Kesehatan tidak boleh sekadar formalitas; ia harus mendengar suara ibu hamil yang menyeberang laut untuk kontrol, bidan kontrak yang berpindah-pindah, serta tokoh adat yang mengelola norma pernikahan. 

Interseksionalitas menolong kita melihat tumpang tindih kerentanan: perempuan muda, miskin, tinggal jauh, dan mengurus banyak anak menghadapi hambatan yang berbeda dibanding perempuan mapan di kota. 

Konstitusi, dibaca secara kritis, menuntut negara menjahit kebijakan yang peka pada perbedaan, bukan one size fits all, agar hak menjadi kapabilitas nyata.

Biopolitik dan Politik Perawatan: Mengubah Angka Menjadi Martabat

Foucault menyebut biopolitik sebagai cara negara “mengelola kehidupan” melalui statistik, tata laksana, dan disiplin. 

Program percepatan penurunan stunting, kartu layanan, dan dasbor angka adalah teknologi yang bisa membantu, tetapi juga berisiko mereduksi manusia menjadi target yang dikejar agar grafik menurun. 

Ketika angka menguasai Bahasa kebijakan, pengalaman perempuan dapat tersingkir. 

Joan Tronto (1993) menawarkan koreksi etis melalui politik perawatan: perhatian, tanggung jawab, kompetensi, dan responsivitas sebagai standar mutu kebijakan. 

Di banyak kampung NTT, jarak tempuh menuju puskesmas pembantu bisa berjam-jam; air bersih bergantung musim; harga pangan bergizi berfluktuasi mengikuti kapal dan cuaca. 

Dalam konteks ini, stunting bukan sekadar “kurang makan”, melainkan hasil dari struktur yang menata siapa yang berdaya membeli, bepergian, dan memutuskan.

Ketika program gizi datang tanpa memperhitungkan beban kerja domestik, jam pelayanan yang kaku, atau kebutuhan transportasi, maka kebijakan, betapapun berbiaya besar, tak menyentuh akar. 

Keadilan konstitusional mensyaratkan penguatan tata kelola: pengadaan pangan lokal yang transparan dan berantai dingin, penyediaan air yang berkelanjutan, layanan kesehatan keliling yang pasti jadwalnya, serta kaderisasi yang memberi honor layak. 

Pendekatan sensitif gender dalam perencanaan dan penganggaran (gender-responsive budgeting) bukan “bonus”, melainkan syarat konstitusional agar alokasi benar-benar menjangkau yang paling membutuhkan. 

Audit sosial, kanal pengaduan yang mudah diakses, dan publikasi anggaran dalam format sederhana menjadi bagian dari representasi yang bermakna. 

Dengan demikian, angka kembali menjadi alat untuk memuliakan martabat, bukan menggantikan manusia.

Bagaimana dengan NTT?

Ambil contoh yang mudah dibayangkan dari pedalaman Flores: bidan kontrak dating seminggu sekali, kapal barang bergantung cuaca, air tawar dibeli per jerigen. 

Program bantuan telur, sayur, dan ikan digagas, tetapi pengiriman tak menentu dan komoditas mudah rusak di dermaga tanpa rantai dingin. 

Ketika kelompok perempuan didampingi kader posyandu dan guru PAUD mendirikan dapur komunitas berbasis lumbung pangan lokal, situasi berubah: menu balita membaik, kelas memasak bergizi menjadi ruang belajar dua arah, dan pertemuan posyandu beralih dari ceramah menjadi dialog.

Di Timor, beberapa puskesmas menguji “jam ibu pekerja”, membuka layanan konsultasi gizi setelah matahari terbenam agar ibu yang berjualan atau mengurus kebun tetap bisa hadir. 

Musyawarah rencana pembangunan desa (musrenbang) mulai menempatkan perempuan sebagai perumus prioritas, bukan sekadar peserta; titik air, angkutan bersubsidi untuk rujukan ibu hamil, serta perbaikan gudang pangan menjadi usulan bersama. 

Praktik-praktik ini sejalan dengan gagasan Fraser (2009): redistribusi (subsidi transportasi, air, dan pangan), pengakuan (menghapus stigma pada kehamilan remaja atau keluarga dengan anak kurus), dan representasi (kuota bicara dan kepemimpinan perempuan dalam forum).

Mereka juga menubuhkan gagasan kapabilitas (Nussbaum, 2011): kebijakan diterjemahkan menjadi kemampuan nyata memasak pangan bergizi, mengakses bidan, dan mengambil keputusan keluarga. 

Kuncinya adalah kolaborasi lintas-aktor: pemerintah desa menata anggaran, gereja dan tokoh adat mengubah narasi, universitas lokal melakukan pemantauan partisipatif, dan LSM mengisi celah pelatihan. 

Ketika ekosistem ini bekerja, konstitusi terasa di sumur, dapur, dan ruang rapat desa; bukan lagi teks jauh di Jakarta, melainkan praktik yang memuliakan hidup.

Dari Janji ke Kapabilitas Nyata

Delapan puluh tahun merdeka mengundang kita bergerak dari seremoni menuju perbaikan institusi. 

UUD 1945 memberi bahasa harapan sekaligus alat untuk membedah dan memperbaiki praktik. 

Di NTT, isu perempuan dan stunting memperlihatkan kerja konstitusi pada tingkat keseharian: dari akses air dan transportasi hingga otonomi mengambil keputusan. 

Jalan keluarnya terang: gabungkan redistribusi presisi, pengakuan tanpa stigma, dan representasi bermakna dalam seluruh siklus kebijakan. 

Ukur keberhasilan dari pengalaman bermartabat, bukan sekadar kurva. Bila republik serius pada konstitusi, maka dapur setiap rumah, terutama rumah yang paling rapuh, akan menjadi ruang tempat janji negara ditunaikan sepenuhnya.

Selamat memperingati Hari Konstitusi Republik Indonesia. Mari kita wujudkan janji dan semangat konstitusi dalam setiap aspek kehidupan. (*)    
 
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

Berita Terkini