Opini

Opini: Sudahkah Kita ke Perpustakaan Hari Ini?

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Edwin Yulisar

Akan tetapi, dampak dari gerakan literasi ini belum terlalu masif dalam membangkitkan semangat siswa bercengkrama dengan bahan bacaan di perpustakaan. 

Peran penuh orang tua dan guru masih belum terasa signifikan dalam menggerakkan dunia literasi dari lingkup terkecil seperti rumah dan sekolah untuk meramaikan perpustakaan. 

Guru dan orang tua bukan hanya menjadi motivator namun juga harus menjadi kolaborator menuntun siswa menjadi pembaca handal, berpikir kritis, logis dan dan dialektik.

Menanamkan dogma bahwa perpustakaan sebagai wadah mempertajam nalar dan daya pikir kritis kepada anak bukanlah hal yang mudah di zaman tap-tap layar smartphone  seperti sekarang ini. 

Ponsel pintar yang dimiliki anak bisa menjadi sahabat sejati bahkan mengalahkan kedekatan orang tua sekalipun. 

Mereka tahan seharian duduk menatap layar, scrolling media sosial, bermain game online ataupun melakukan hal sia-sia lainnya namun sangat bosan duduk bersama orang tua ataupun guru melatih literasi mulai dari sekadar ngobrol, diskusi ataupun membedah buku yang sudah dibaca. 

Anak seharusnya lebih literat dengan ponsel pintarnya bukan terjebak dalam kehedonisan sosial media dan tren-tren viral. 

Hal ini dikarenakan beberapa orang tua membiarkan tumbuh kembang anaknya jatuh ke dalam pelukan candu ponsel pintar. 

Sebagian orang tua mempercayakan pendidikan dan kemampuan akademik anaknya di tangan ponsel pintar bukan pada bacaan yang diberikan di rumah, sekolah ataupun perpustakaan sebagai media. 

Orang tua dan guru yang mampu menggerakan literasi adalah sosok yang memiliki tombol kendali anaknya secara moderat dalam penggunaan teknologi sebagai akses terbaik dalam mengelola serta melatih mereka berpikir kritis. 

Kolaborasi guru-orang tua juga harus mampu menanamkan persepsi bahwa kemampuan membaca yang baik adalah warisan terbesar dari tokoh-tokoh pendiri bangsa ini (founding fathers). 

Bangsa ini didirikan oleh founding fathers yang bersahabat dengan buku. 

Sebagai contoh Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, yang memiliki koleksi buku sebanyak tujuh kontainer. 

Bayangkan bagaimana beliau berjibaku meluangkan waktu dan mengolah pikiran dari ide-ide yang didapatkan dari tulisan-tulisan yang dibacanya.

Mohammad Hatta dikenal sebagai cendekiawan serta negarawan sejati  hingga namanya diabadikan di sebuah gedung perkuliahan, Hatta Building di Universitas Erasmus, Belanda. 

Halaman
123

Berita Terkini